Fimela.com, Jakarta Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang melibatkan mantan atlet anggar, Cut Intan Nabila, kini memasuki babak baru. Usai ditetapkan sebagai tersangka, sang suami yang merupakan pelaku KDRT, Armor Toreador disebut ingin menempuh jalan damai untuk menyelesaikan kasus KDRT yang menjeratnya.
Dikutip dari Liputan6.com, kuasa hukum Armor Toreador, Irawansyah menjelaskan pihaknya berusaha menjalin komunikasi agar berakhir damai dengan Cut Intan Nabila melalui proses restorative justice.
Kami berkomunikasi intens dengan keluarganya Armor. Cuma kita belum komunikasi dengan pihak korban," ujar Irawansyah.
Bisa ditiru anak-anak
Disebutkan oleh Irawansyah, keputusan Armor Toreador untuk meminta maaf dan berakhir damai adalah untuk kepentingan istri dan anak-anaknya. Terlepas dari kelanjutan kasus KDRT yang terus bergulir secara hukum, publik turut menyoroti perilaku tersangka yang masih berusaha meminta jalur damai setelah tindak kekerasan yang dilakukannya.
Dikutip dari The Hotline, tindak kekerasan sendiri menjadi perilaku yang dipelajari sehingga anak-anak pun bisa meniru dinamika sosial orang-orang di sekitar mereka. Ketika anak tumbuh dalam lingkungan yang seringkali menunjukkan dominasi, anak-anak mungkin percaya bahwa tindak dominasi dan kekerasan tersebut adalah sesuatu yang normal.
Oleh karena itu, korban kekerasan seperti Cut Intan Nabila perlu mewaspadai apabila pelaku kekerasan berusaha meminta maaf. Menurut ahli, bukan tidak mungkin pelaku melakukan minta maaf palsu sehingga berpotensi kembali melakukan aksi kekerasan yang nantinya ditiru-tiru anak-anak.
Lantas, tanda-tanda apa saja yang patut diwaspadai korban kekerasan ketika pelaku berusaha meminta maaf?
Tanda minta maaf palsu
Dikutip dari laman Kantor Hukum Molly B. Kenny yang berbasis di Amerika Serikat menyebut penting bagi korban KDRT untuk memahami bahwa banyak pelaku kekerasan akan mengatakan bahwa mereka menyesal atau bertindak seolah-olah mereka menyesal, padahal sebenarnya mereka hanya melanjutkan siklus klasik kekerasan fisik dan emosional. Berikut tanda-tandanya,
- Alasan atas tindakan kekerasan mereka.: "Saya mabuk" atau "Saya marah" bukanlah alasan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Jika Anda tidak mendengar orang tersebut berkata, "Tidak ada alasan untuk apa yang saya lakukan," mereka tidak akan berubah.
- Meremehkan apa yang terjadi: Pelaku kekerasan ingin Anda berpikir bahwa apa yang terjadi bukanlah masalah besar, tetapi memang demikian. Jangan percaya ketika mereka mengecilkan kejadian tersebut.
- Mengalihkan atau berbagi kesalahan.: Apakah pelaku kekerasan baru saja meminta maaf – tetapi kemudian menyebutkan sesuatu tentang bagaimana Anda seharusnya menghentikan situasi tersebut atau bagaimana Anda membuatnya melakukannya? Berhati-hatilah dengan pernyataan-pernyataan ini.
- Mengabaikan detail: Jika pelaku kekerasan dapat meminta maaf – tetapi tidak mengatakan apa yang telah dilakukannya dengan lantang – mereka sama sekali tidak memahami sepenuhnya beratnya peristiwa tersebut. Jika pelaku kekerasan tidak memperhatikan bagian-bagian yang paling keras dari insiden tersebut, itu adalah tanda bahaya.
Pelaku kekerasan dapat berubah setelah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, tetapi perubahan ini sering kali memerlukan bantuan terapis profesional, pengakuan dan kesadaran penuh atas apa yang terjadi, dan banyak introspeksi. Hal ini tidak terjadi dalam semalam.