Para Ahli Menyarankan Vaksinasi untuk Melindungi Keluarga dan Lingkungan dari Bahaya Demam Berdarah Dengue

Anisha Saktian Putri diperbarui 24 Jun 2024, 13:36 WIB

Fimela.com, Jakarta Demam Berdarah Dengue (DBD) yang disebabkan oleh empat serotipe virus dengue, berpotensi menjangkit seseoranglebih dari sekali, dan infeksi berikutnya berisiko lebih para. Secara umum, vaksinasi dapat menurunkan risiko terkena penyakit dan tingkat keparahan apabila terjangkit.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), DBD adalah salah satu ancaman utamakesehatan masyarakat di dunia. Insiden DBD meningkat secara signifikan di seluruh dunia dalam beberapa dekadeterakhir, dengan kasus yang dilaporkan kepada WHO naik dari 505.430 kasus pada tahun 2000 menjadi 5,2 juta padatahun 2019. Jumlah kasus demam berdarah tertinggi tercatat pada tahun 2023, yang memengaruhi lebih dari 80negara di seluruh wilayah WHO.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat hingga minggu ke-23 tahun 2024saja, terdapat 131.501 kasus DBD dengan kematian sebanyak 799 kasus. Angka kasus kejadian tersebut lebih tinggidari kumulatif kasus DBD di tahun 2023 yaitu 114.720 kasus, dan mendekati total kasus kematian sepanjang tahun2023 yaitu 894 kasus. 

dr. Imran Pambudi, MPHM, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Direktorat Jenderal P2P,Kementerian Kesehatan RI, mengatakan, sampai saat ini, pencegahan dan pengendalian DBD di Indonesia berfokuslebih berat pada pengendalian vektor yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat. 

Sejak tahun 1980-an, kita telahmenjalankan Gerakan 3M Plus secara berkelanjutan, dilanjutkan dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J), danbaru-baru ini, memperkenalkan teknologi nyamuk ber-Wolbachia sebagai bagian tambahan dari program yangada. Meskipun semua upaya ini telah dilakukan, kasus demam berdarah di Indonesia masih menunjukkan peningkatanyang signifikan. 

“Kami yakin bahwa pendekatan inovatif lainnya diperlukan untuk mengatasi tantangan ini. Karenaitulah, Kementerian Kesehatan terus menguatkan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuksektor swasta, dan berkomitmen menerapkan pendekatan-pendekatan inovatif, termasuk melalui vaksinasi. Hal inisejalan dengan pilar kelima dan keenam dari Strategi Nasional Penanggulangan Dengue yang telah kami canangkan ditahun 2021, kata dr. Imran dalam acara Indonesia Dengue Summit yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta (IDAI JAYA) didukung oleh PT Takeda Innovative Medicines

dr. Imran menambahkan bahwa selain keterlibatan masyarakat, setiap tingkatan pemerintahan harus bersatu untuk mengimplementasikan strategi ini, di mana pemerintah daerah memegang peran yang sangat penting dalam upayapencegahan DBD di Indonesia. 

2 dari 2 halaman

Pentingnya Imunisasi Cegah DBD

Indonesia Dengue Summit yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta (IDAI JAYA) didukung oleh PT Takeda Innovative Medicines. dok. Istimewa

Sementara itu, Prof. Dr. dr. Rismala Dewi, Sp.A(K), Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta, menuturkan, menyadari pentingnya pencegahan DBD yang terintegrasi dan komprehensif. Oleh karena itu, organisasi profesi, termasuk salah satunya adalah IDAI, merekomendasikan imunisasi DBD kepada anak-anak usia 6- 18 tahun.

“Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memberikan perlindungan optimal kepada anak-anak, yang merupakan kelompok paling rentan terhadap infeksi dengue, tetapi juga untuk secara signifikan mengurangi risiko kematian akibat penyakit ini,” katanya.

Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), memaparkan bahwa dengue atau yang sering disebut sebagai DBD merupakan penyakit yang dapat menjangkit siapa saja tanpa memandang usia, di mana mereka tinggal, maupun gaya hidup.

“Di negara atau wilayah dengan tingkat penularan DBD yang tinggi, anak-anak dan orang dewasa muda cenderung menjadi yang paling terkena dampaknya, dengan angka kematian lebih tinggi pada anak-anak. Sayangnya, di masyarakat kita masih banyak terjadi miskonsepsi tentang DBD dan menganggap penyakit ini tidak berbahaya. Masih banyak orang yang berpikir bahwa apabila sudah pernah terkena DBD, maka mereka aman dan menjadi kebal. Padahal, tidak begitu,” katanya.

Lebih lanjut Prof. Sri menjelaskan, untuk itu, tindakan pencegahan yang terintegrasi sangat diperlukan untuk melawan DBD, seperti melalui pengendalian vektor. Selain itu, kita juga perlu untuk mencegah infeksi dan melakukan upaya untuk mengurangi keparahan penyakit apabila sampai terjangkit. Salah satu inovasi yang saat ini direkomendasikan oleh beberapa organisasi profesi di Indonesia, baik oleh IDAI, PAPDI, maupun PERDOKI adalah melalui program vaksinasi.

“Dalam tatalaksana DBD yang diterbitkan UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI tahun 2023 juga disebutkan bahwa pasien setelah terinfeksi dan rawat inap akibat dengue dapat diberikan vaksinasi 1-3 bulan kemudian. Dengan meningkatkan kekebalan masyarakat, akan sangat membantu menurunkan tingkat keparahan serta risiko kematian akibat DBD,” kata

Prof. Sri menambahkan bahwa baru-baru ini WHO telah mengeluarkan rekomendasi untuk mengenalkan inovasi vaksinasi dengue bagi negara atau wilayah dengan intensitas penyebaran DBD yang tinggi ke dalam program imunisasi nasional.