Fimela.com, Jakarta Perjodohan sering kali dilakukan untuk mempertahankan tradisi dan budaya yang telah ada dalam masyarakat. Hal ini dapat menjadi cara untuk menjaga keberlangsungan nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap penting dalam suatu komunitas. Perjodohan juga dipengaruhi oleh ajaran agama dan keyakinan tertentu yang menekankan pentingnya memilih pasangan hidup yang sejalan dengan nilai-nilai agama dan kepercayaan.
Dalam beberapa kasus, perjodohan dipertimbangkan sebagai upaya untuk memastikan kesejahteraan keluarga dan memperkuat hubungan antar-keluarga. Pemilihan pasangan hidup dapat dipandang sebagai keputusan yang melibatkan seluruh keluarga, bukan hanya individu yang bersangkutan.
Perjodohan juga dapat dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi dan sosial, seperti persatuan dua keluarga untuk memperkuat kedudukan sosial atau keuangan, atau untuk mempertahankan harta keluarga. Perjodohan juga dipandang sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis individu, seperti kebutuhan akan keamanan, stabilitas, dan dukungan dalam hubungan pernikahan.
Perjodohan dari Sudut Pandang Sejarah
Perjodohan telah menjadi praktik umum di seluruh dunia hingga abad ke-18. Biasanya, pernikahan diatur oleh orangtua, kakek-nenek, atau kerabat dekat dan teman terpercaya. Namun, ada pengecualian dalam sejarah, seperti pacaran dan ritus pertunangan pada periode Renaisans Italia dan Gandharya Vivah pada periode Weda India.
Seiring dengan perubahan zaman dan percampuran budaya, tradisi perjodohan bergeser menjadi perjodohan semu, di mana orangtua atau teman mengenalkan calon pasangan dan mereka bertemu sebelum pernikahan.
Seiring berjalannya waktu, pernikahan antara anak imigran tersebut bergeser menjadi pernikahan otonom yang didorong oleh keputusan individu, preferensi kencan dan pacaran, serta meningkatnya pernikahan antar-ras.
Dinamika sejarah serupa juga diklaim terjadi di berbagai bagian dunia. Gary Lee dan Lorene Stone mengusulkan bahwa sebagian besar pernikahan dewasa dalam sejarah modern berada antara perjodohan konsensual dan pernikahan otonom, sebagian karena pernikahan adalah sebuah lembaga sosial.
Perjodohan dari Sudut Pandang Agama
Dalam Islam, perjodohan dianggap sah dan dianjurkan, dengan catatan bahwa calon pasangan harus memenuhi kriteria agama yang baik. Islam menekankan pentingnya mencari pasangan yang shalih dan memiliki keyakinan agama yang kuat.
Namun, Islam juga menghormati kebebasan individu dalam memilih pasangan hidupnya. Dalam beberapa kasus, perjodohan dapat dilakukan oleh orang tua, tetapi persetujuan dan kehendak kedua belah pihak tetap menjadi faktor penting.
Sementara dalam beberapa tradisi Yahudi, perjodohan sedarah pernah umum dilakukan sebelum abad ke-20. Namun, saat ini prevalensinya menurun menjadi kurang dari 10%. Perjodohan dalam tradisi Yahudi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kebiasaan pernikahan anak, tradisi, budaya, agama, kemiskinan, dan pilihan yang terbatas.
Adapun dalam beberapa agama lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, perjodohan tidak diatur secara khusus dan lebih banyak didasarkan pada keputusan individu. Agama-agama ini cenderung memberikan kebebasan kepada individu untuk memilih pasangan hidup mereka sendiri.
Perjodohan dari Sudut Pandang Tradisi dan Budaya
Di beberapa negara Muslim dan di antara migran dari negara Muslim ke wilayah lain, perjodohan sedarah umum dilakukan dan merupakan preferensi budaya. Namun, perjodohan sedarah dilarang atau tidak diinginkan dalam sebagian besar masyarakat Kristen/Katolik, Hindu, dan Buddha
Sementara di Kamboja, suku Kreung memiliki tradisi perjodohan unik. Ayah yang memiliki anak perempuan akan membangun sebuah gubuk yang disebut "gubuk cinta" untuk anaknya. Gubuk ini dibuat dari bambu dan menjadi tempat anak perempuan tersebut bertemu dengan calon suami yang akan menjadi jodohnya.
Di Jepang, meskipun merupakan negara maju yang sangat modern, budaya perjodohan masih populer. Pada zaman dulu, orang tua dari pria dan wanita muda di Jepang mengatur pernikahan untuk anak mereka sendiri, atau dengan menggunakan mak comblang yang disebut "nakodo".
Beberapa negara memiliki tradisi pasar perjodohan, di mana pria dapat menawar wanita yang mereka pilih. Keputusan sepenuhnya berada di tangan orang tua wanita. Contohnya adalah tradisi pasar perjodohan di Indonesia yang disebut "pasar jodoh".
Di Madura ada tradisi perjodohan bernama abhekalan. Abhekalan adalah istilah dalam bahasa Madura yang merujuk pada tradisi perjodohan di masyarakat Madura, Indonesia. Tradisi ini sering kali melibatkan orang tua yang menjodohkan anak-anak mereka. Dalam abhekalan, dua orang yang berbeda jenis (remaja bahkan anak-anak) diikat dalam sebuah ikatan yang mirip dengan tunangan.
Proses abhekalan dimulai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, yang biasanya dilakukan oleh orang tua atau keluarga dari calon pengantin. Setelah kesepakatan tercapai, kedua belah pihak akan melakukan upacara adat yang melibatkan pertukaran cincin atau simbol lainnya sebagai tanda komitmen mereka.
Tradisi abhekalan ini merupakan bagian dari warisan budaya dan tradisi yang dianggap penting di masyarakat Madura. Namun, penting untuk dicatat bahwa pandangan dan praktik perjodohan dapat berbeda-beda di setiap budaya dan masyarakat.
Beberapa masyarakat mungkin mengikuti tradisi perjodohan dengan keyakinan bahwa hal itu merupakan bagian dari identitas budaya mereka, sementara yang lain mungkin lebih memilih untuk memilih pasangan hidup mereka sendiri.