Membingkai Banyak Keresahan, Film Saat Menghadap Tuhan Jadi Penanda 25 Tahun Sutradara Rudi Soedjarwo Berkarya

Lanny Kusuma diperbarui 31 Mei 2024, 06:24 WIB

Fimela.com, Jakarta Menandai 25 tahun berkarya, sutradara kawakan Rudi Soedjarwo akan merilis film Saat Menghadap Tuhan yang akan tayang di bioskop pada 6 Juni mendatang. Lewat film ini, Rudi mengeksplorasi isu-isu yang menurutnya perlu banyak dibicarakan secara terbuka di masyarakat seperti di masyarakat, seperti soal perundungan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, trauma masa kecil, hingga self-love.

Diproduksi oleh production house rintisannya, RexCorp, Rudi menggandeng Rafi Sudirman, Abielo Parengkuan, Denisha Wahyuni, Dede Satria, Cindy Sebastiani, Gilbert Pattiruhu, Aryani Willems, dan Poppy Sovia untuk membintangi film ini.

Soal ide cerita, apa yang dihadirkan dalam film ini adalah cermin kegelisahan yang muncul dari pengalaman pribadi Rudi, yang kemudian ia kembangkan dan tulis naskahnya Bersama dengan Djemima. Dalam prosesnya, Rudi berangkat dari premis yang cukup sederhana: dari sekian banyak tindak kekerasan traumatis yang acap kali menimpa remaja, siapa yang palingbertanggung jawab melindungi dan membimbing mereka?

2 dari 4 halaman

Menuangkan Keresahan

Rudi Soedjarwo [Foto: Ist]

Menuangkan keresahannya lewat film, Rudi harap bahwa karyanya ini bisa mengajak penontonnya agar selalu berusaha mengenali diri sendiri juga kehidupan yang dijalani secara lebih dalam.

Film ini juga diintensikan sebagai pemantik dialog, untuk selalu mempertanyakan dogma-dogma yang dijejalkan oleh masyarakat secara sertamerta. Dengan mengadvokasikan berpikir kritis melalui tuturan kisah Saat Menghadap Tuhan, Rudi juga ingin mendorong penontonnya untuk berani bersuara, bertindak, hingga memutus rantai trauma dan luka batin yang disebabkan oleh generasi pendahulunya.

 
3 dari 4 halaman

Melahirkan Manusia Baru

Potongan scene 'Saat Menghadap Tuhan'. [Foto: Ist]

Di film ini penonton tak hanya akan melihat gaya sinematik Rudi yang khas, sutradara Mengejar Matahari ini juga konsisten menghadirkan bintang-bintang baru dalam filmnya, seperti yang ia lakukan sejak karya pertamanya, Bintang Jatuh yang dirilis tahun 1999.

"Kenikmatan dan kepuasan saya bikin film adalah bila mampu melahirkan manusia-manusia baru yang berbakat, baik di depan layar maupun di belakang layar dalam film saya. Jadi, karya saya bukan hanya filmnya, tapi juga manusia yang terlibat dalam pembuatannya. Hal itu yang membuat semua jadi layak diperjuangkan," kataRudi Soedjarwo.

Sebagai informasi, film Bintang Jatuh adalah debut layer lebar dari dua aktris kenamaan Indonesia, yaitu Dian Sastrowardoyo an Marcella Zalianty.

4 dari 4 halaman

Tokoh dalam Film 'Saat Menghadap Tuhan'

Potongan scene 'Saat Menghadap Tuhan'. [Foto: Ist]

Saat Menghadap Tuhan berpusat pada kisah empat remaja dengan masalahnya masing-masing yang disatukan oleh tali kenestapaan yang sama: penyesalan. Tiap kisah dari keempat protagonis ini, mewakili satu isu yang jamak ditemui di tengah masyarakat saat ini. Damar (Rafi Sudirman), seorang pemuda yang berangan ingin membahagiakan hidup ibunya, tumbuh dengan trauma dan kemarahan yang mengendap setelah menyaksikan ayahnya mati sia-sia di tangan seorang preman. Terbiasa diajarkan untuk tidak mengutarakan isi hatinya, gemuruh emosi dalam dirinya pun bak gunung berapi aktif yang bisa meletus kapan saja.

Gito (Abielo Parengkuan), adalah sahabat Damar yang lahir dari keluarga serba berkecukupan. Di balik hidupnya yang tampak tak bermasalah, tidak terciptanya komunikasi yang sehat antara ia dan orang tuanya membuat ia tumbuh menjadi pribadi yang kikuk secara sosial, dan membuatnya jadi sasaran perundungan.

Nala (Denisha Wahyuni) hidup di tengah keluarga yang gagal menjadi ruang aman dan lingkar pelindung utama bagi seorang remaja, di mana para lelaki di keluarganya tampak enteng saja menyakiti anggota keluarga perempuannya. Untungnya, Nala bisa menemukan ketenangannya dalam bermusik, yang ia gunakan sebagai pelarian dari pahitnya realita.

SedangkanMarlo (Dede Satria), adalah sosok jagoan di sekolah, berayahkan pria bertahta, dan tumbuh dengan bahasa cinta berwujud kekuasaan. Dibesarkan oleh ayah yang biasa membuatnya merasa kerdil, Marlo pun tumbuh menjadi remaja yang tak sungkan merundung dan membuat orang lain juga merasa kerdil hingga menciptakan rantai trauma yang diteruskan antargenerasi. Meskipun ingin bisa menjalani kehidupan normal seorang remaja, trauma dan luka batin yang mereka alami membuat keempatnya saling terkoneksi sembari bertarung dengan perangnya sendiri-sendiri.