Review Buku Novel Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut

Endah Wijayanti diperbarui 02 Jun 2024, 12:15 WIB

 

Fimela.com, Jakarta Memperjuangkan keadilan tidak selalu mudah. Ada hal-hal yang harus direlakan. Ada banyak persoalan yang harus dikompromikan bahkan dikorbankan. Apalagi dalam memperjuangkan keadilan untuk mempertahankan ruang hunian dan tempat tinggal melawan perusahaan besar kapitalis, pastinya ada banyak problema yang harus dihadapi. Hal inilah yang dihadapi dan diperjuangkan oleh Shalom dan Mirah, dua perempuan tangguh yang menjadi tokoh paling vokal dalam novel Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut.

Mirah bekerja di sebuah lembaga dan ditugaskan ke Sangihe selama tiga tahun. Dalam kesehariannya bekerja di lembaga tersebut, Mirah dekat dengan Shalom. Mirah pun tak menyangka dirinya bisa memiliki ikatan yang begitu kuat dengan Sangihe dan terkagum-kagum dengan perjuangan para masyarakat mempertahankan tempat tinggal mereka. Shalom sendiri merupakan warga asli Sangihe yang sangat gigih berjuang berusaha menyelamatkan Sangihe. Meskipun dilanda rasa sedih yang mendalam karena ayahnya menghilang saat melaut, Shalom tak lantas tenggelam dalam rasa getir. Ketika ada perusahaan tambang biongo yang berusaha untuk mengeskploitasi pulau tempat tinggalnya tersebut, Shalom berani maju di gada terdepan memperjuangkan keadilan.

 

 

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut

Novel Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut./doc. Endah

Judul: Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut

Penulis: Dian Purnomo

Editor: Ruth Priscilia Angelina

Penyelia Naskah: Karina Anjani

Sampul: Bella Ansori

Foto: Dian Purnomo dan Jhonlihar Mamuka

Penata Letak: Bayu Deden Priana

Cetakan kedua: Maret 2024

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Shalom Mawira kehilangan ayahnya yang tak kembali dari melaut. Bertahun-tahun setelah itu, dia terus menunggu. Dengan gigih dia menjaga Sangihe, merawat lorong-lorongnya, supaya ayahnya dapat menemukan jalan pulang. Sayang, sebuah perusahaan asing mengendus kekayaan emas di perut bumi Sangihe. Dengan keras kepala orang-orang yang berlindung di balik kekuasaan itu berusaha mengeruk dan mencemari tanah subur yang menjadi ruang hidup rakyatnya.

Shalom menolak untuk diam. Bersama warga Sangir lainnya, dia berjuang. Segalanya dia pertaruhkan. Waktu, uang, tenaga, kebebasan. Berbaring di aspal, dijebloskan ke penjara, hingga mengikuti upacara menambah nyawa. Sebutlah dia perempuan gila. Namun, Shalom barangkali adalah kita, perempuan dan rakyat yang hanya ingin menyelamatkan tanahnya. Mampukan Shalom mempertahankan lorong menuju laut tempat dia menunggu ayahnya, atau tanah Sangihe akan musnah ditelan ketamakan?

***

"Yang paling sengsara adalah perempuan. Dulu Kampung Bulraeng dikenal sebagai surga air bersih. Oma Tulas sering mengibaratkan jika telunjuk kita dicucuk ke dalam tanah sedalam sepuluh senti saja, sudah menyembur air bersih dari sana." (hlm. 41)

"Aku menghela napas panjang membayangkan bahwa dalam waktu dekat, jika perlawanan masyarakat Sangihe yang diwakili ke-45 perempuan ini gagal, maka Sangihe akan menjadi pulau kecil yang penuh lubang seperti ini dan nantinya akan menjadi danau-danau hijau pembawa petaka." (hlm. 77)

"Seluruh hidup mereka ada berkat tanah Sangihe. Jadi, biarpun diberi uang setara dengan biaya yang mereka butuhkan hingga mati nanti, tetap saja semua itu tidak sepadan menggantikan ruang hidup yang direnggut." (hlm. 89)

"Uang dan kekuasaan yang ada di sekitar mereka seperti selaput pelindung tak kasatmata yang selalu mengamankan posisi orang-orang itu. Sementara masyarakat kecil tidak memiliki apa pun untuk melindungi diri. Benar pun bisa jadi salah." (hlm. 131)

"Tak ada yang sulit di negeri ini selama uang ada di tangan. Semua bisa dibeli. Termasuk keadilan." (hlm. 165-166)

"Orang Sangir ini punya semboyan Somahe Kai Kehage. Semakin keras badai menerjang, semakin gigih kita harus menghadapinya. Jadi jangan menyerah hanya karena ada badai di depan mata." (hlm. 259)

Mencegah dan menghentikan aktivitas tambang jelas tidak mudah. Terlebih karena lawannya adalah perusahaan besar dengan sokongan kuat dari pihak-pihak berwenang. Namun, itu tak lantas menyurutkan semangat Shalom, Eben, Santiago, Bertho, dan para warga dalam mempertahankan tanah kelahiran dan tempat tinggal mereka. Berbagai macam cara dan upaya pun dikerahkan untuk menyelamatkan ruang hidup mereka.

Uang mungkin bisa memudahkan banyak hal, tetapi bukan berarti bisa membeli segalanya. Air dan tanah yang rusak tidak akan bisa diperbaiki dengan mudah hanya dengan uang. Penambangan jelas akan memberi dampak yang signifikan terhadap kelangsungan hidup semua makhluk dan unsur hara di sekitarnya. Para perempuan pun harus berjuang lebih keras lagi ketika lingkungan dan tempat tinggal mereka rusak.

Shalom harus menghadapi banyak konsekuensi dari perjuangannya tersebut. Bahkan ketika dia dijebloskan penjara, itu tidak menghambat perjuangannya sama sekali. Malah waktu yang ia habiskan di penjara ia manfaatkan untuk membaca lebih banyak buku, membuat strategi baru untuk memukul mundur perusahaan tambang.

Mirah sendiri memang bukan warga asli Sangihe, tetapi hati nuraninya tergerak dan dirinya ikut aktif terjun memperjuangkan keadilan di Sangihe. Walaupun dia sempat mengalami kejadian yang menakutkan bahkan sulit untuk dinalar, itu tak serta merta menyurutkan langkahnya untuk ikut memperjuangkan keadilan.

Membaca novel ini membuka wawasan kita lebih luas lagi soal betapa pentingnya menjaga dengan baik ruang hidup yang kita tinggali. Melalui sosok seperti Mirah dan Shalom, kita bisa ikut merasakan betapa tangguh dan luar biasanya seorang perempuan dalam memperjuangkan sesuatu.

Kritik sosial yang disampaikan melalui novel ini juga ikut menyadarkan kita bahwa hidup di negeri ini memang tidak mudah. Berjuang dengan gigih kadang menjadi sesuatu yang seakan hanya sia-sia untuk dilakukan. Meskipun demikian, hati nurani dan kepedulian akan kelangsungan hidup generasi mendatang bisa menjadi motivasi kuat untuk terus menyuarakan keadilan.

Percakapan-percakapan dalam novel ini banyak menggunakan bahasa daerah. Namun, tak perlu khawatir sebab ada glosarium yang bisa kita jadikan rujukan untuk memahami kosakata-kosakata penting dalam percakapan yang digunakan.

Unsur-unsur budaya yang disertakan dalam novel ini juga memberi tambahan wawasan baru. Sungguhlah Indonesia ini sangat kaya akan banyak keindahan bahasa, keelokan alam, dan keragaman kuliner yang perlu dijaga dan dilestarikan dengan baik.

Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut, novel ini bisa menjadi rekomendasi bacaan yang penting. Apalagi bagi Sahabat Fimela yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan kelestarian alam, membaca novel ini akan memantik semangat untuk bisa melakukan berbagai macam usaha terbaik dalam menjaga ruang hidup bisa tetap lestari.