Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, pernahkah kamu mendengar mengenai sosok ispiratif, Maria Ulfah? Kalau belum, sini-sini jangan beranjak dari artikel ini. Dilahirkan di Serang pada 18 Agustus 1911, Maria Ulfah adalah putri dari Raden Adipati Arya Mohammad Ahmad, seorang Bupati Kuningan, dan R.A Hadidjah Djajadiningrat. Dari keluarga yang terhormat ini, Maria Ulfah tumbuh bersama dua saudara perempuan, Iwanah dan Hatnan.
Namun, keistimewaan Maria Ulfah tidak hanya terletak pada latar belakang keluarganya. Ia mencatat sejarah sebagai tokoh perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar sarjana hukum dari Belanda, mencapai prestasi tersebut pada usia yang mengesankan, 33 tahun. Kiprahnya tidak berhenti di situ, Maria Ulfah juga menjadi Menteri Perempuan pertama di Indonesia. Kecintaannya pada tanah air tercermin dalam perjuangannya yang meliputi bidang pendidikan dan emansipasi wanita.
Penasaran tentang kisah sosok inspiratif ini? Simak artikel ini yang akan membahas perjalanan pendidikan, awal mula karir hingga menjadi seorang menteri, serta jejak emansipasinya yang berpengaruh hingga sekarang. Melansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id dan esi.kemdikbud.go.id.
Perjalanan Pendidikan Maria Ulfa
Maria Ulfah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat peduli terhadap pendidikan. Ayahnya, seorang lulusan Hogere Burger School (HBS), dan ibunya sendiri juga memiliki latar belakang pendidikan yang cukup langka pada masa itu.
Pendidikan Maria Ulfah dimulai ketika ayahnya dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1917. Dia pertama kali bersekolah di Sekolah Dasar di Jalan Cikini sebelum pindah ke SD di Willemslaan (sekarang Jalan Perwira). Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Maria Ulfah melanjutkan ke Sekolah Menengah Koning Willem III pada tahun 1924.
Melanjutkan belajar di Belanda
Pada tahun 1929, Maria Ulfah melanjutkan pendidikannya ke Belanda, di mana ia mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden. Pada usia yang masih muda, 22 tahun, Maria Ulfah berhasil meraih gelar sarjana hukum pada 21 Juni 1933, menjadikannya wanita Indonesia pertama yang memperoleh gelar tersebut.
Selama di Belanda, Maria Ulfah merasakan kebebasan yang belum pernah dirasakannya di tanah air. Dia aktif bersosialisasi dengan mahasiswa Indonesia lainnya dan terlibat dalam aktivitas politik, terutama setelah bertemu dengan Sutan Syahrir, yang mengajaknya ke pertemuan-pertemuan politik seperti Liga Anti Kolonialisme di Leiden.
Mengawali Karir dan Perjuangan untuk Pendidikan Perempuan
Setelah kembali ke Indonesia, Maria Ulfah terlibat dalam berbagai bidang profesi, dari menjadi guru di sekolah Muhammadiyah hingga terlibat dalam pembangunan Kantor Berita ANTARA bersama Adam Malik. Selain itu, dia juga memberikan kursus informal dalam bidang menjahit sebagai bentuk kepeduliannya terhadap pendidikan perempuan.
Maria Ulfah juga aktif sebagai guru dalam upaya memberantas buta huruf di kalangan perempuan. Keahliannya dalam bidang hukum membuatnya sangat peka terhadap isu-isu yang dihadapi oleh perempuan, terutama dalam ranah hukum. Dia menyadari bahwa perempuan Indonesia seringkali terpinggirkan dalam sistem hukum, terutama terkait dengan pernikahan dan perceraian, karena adanya kecenderungan hukum yang mendukung pria.
Tidak hanya terbatas pada pendidikan, Maria Ulfah juga aktif dalam isu-isu sosial dan politik. Dia bekerja sebagai asisten untuk Mr. Soepomo di sekolah hukum di Leiden selama masa pendudukan Jepang, dan setelah kemerdekaan Indonesia, dia menjadi penghubung antara pemerintah Republik Indonesia dengan pasukan Sekutu.
Terpilih Menteri Sosial, Menjadi Langkah Baru Bagi Maria Ulfa
Ketika Sutan Syahrir membentuk kabinet keduanya pada 12 Maret 1946, Maria Ulfah diangkat sebagai Menteri Sosial. Peran barunya ini memberinya kesempatan untuk terlibat langsung dalam pelaksanaan proyek repatriasi tawanan perang Jepang yang masih tinggal di wilayah Republik Indonesia. Pada saat ibukota dipindahkan ke Yogyakarta, Maria Ulfah bersama seluruh anggota kabinet turut serta, memperkuat komitmen mereka terhadap pembangunan dan kesejahteraan bangsa.
Sebagai Menteri Sosial di bawah kepemimpinan Sutan Syahrir, Maria Ulfah menunjukkan perhatian yang besar terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perempuan, keluarga, pernikahan, dan anak-anak. Dengan jabatannya yang baru, ia melanjutkan perjuangannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia, khususnya dalam hal kesejahteraan sosial dan hak-hak perempuan.
Jejak Emansipasi Maria Ulfah dalam Pergerakan Kaum Perempuan Indonesia
- Memberantas buta huruf dan memperbaiki kondisi hidup perempuan Indonesia.
- Maria Ulfah terlibat dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) ke-2 pada 1935 di Jakarta, di mana dia memimpin Biro Konsultasi yang membantu permasalahan wanita dalam hukum perkawinan Islam.
- Usulan-usulannya dalam kongres tersebut, termasuk menyusun Undang-undang Perkawinan untuk umat Islam, memberikan kontribusi signifikan terhadap perjuangan hak-hak perempuan.
- Maria Ulfah juga memainkan peran penting dalam menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, keputusan yang diambil dalam KPI ke-3 di Bandung pada tahun 1938.
- Maria Ulfah mengusulkan Hari Ibu dijadikan Hari Nasional Bersejarah, bukan hari libur pada Tahun 1959.
- Sebagai Ketua Sekretariat Kongres Wanita Indonesia, Maria Ulfah mengusulkan agar Hari Ibu dijadikan Hari Nasional Bersejarah, bukan sekadar hari libur.
- Selain itu, Maria Ulfah turut memperjuangkan kesempatan bagi kaum wanita untuk bergabung dalam Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad).
- Usahanya dalam menghadap Jenderal A.H. Nasution membawa hasil pada 22 Desember 1961, ketika Kowad akhirnya diwujudkan, memberikan kesempatan bagi wanita untuk berperan aktif dalam angkatan bersenjata.
Penulis: Naela Marcelina
#Unlocking The Limitless