Fimela.com, Jakarta Anak-anak korban kekerasan tidak hanya memiliki bekas luka di tubuhnya, tapi juga luka emosional, perilaku menyimpang, hingga penurunan fungsi otak. Jangan anggap remeh dampak kekerasan terhadap anak. Gangguan fisik dan mental, penyalahgunaan narkoba, hingga penurunan kualitas hidup bisa mereka alami hingga dewasa, bahkan terkadang seumur hidup. Kekerasan terhadap anak dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, psikis, verbal, eksploitasi, penjualan anak, hingga penelantaran atau penelantaran kesejahteraannya. Hal ini rentan terjadi di rumah, sekolah, dan di masyarakat.
Kekerasan emosional yang sering diterima anak akan mempengaruhi perkembangan otaknya, karena lingkungan menjadi salah satu faktor yang menentukan bagaimana perkembangan otak anak. Kekerasan yang disebabkan oleh rasa sakit dan ketakutan akan dipukul dapat mempengaruhi perkembangan dan fungsi otak anak, menghambat pertumbuhan dan dan kesulitan untuk bisa melakukan inisiatif.
Baik kekerasan verbal maupun fisik terhadap anak, tentu mempunyai dampak seumur hidup pada kesehatan dan kesejahteraan anak. Di bawah ini adalah 7 dampak kekerasan verbal dan fisik pada perkembangan otak anak, yang dikutip melalui laman Australian Institute of Family Studies.
What's On Fimela
powered by
1. Trauma pada otak
Studi yang membahas hubungan antara trauma dan perkembangan kognitif umumnya berbentuk studi neuroimaging atau studi neuropsikologis. Studi neuroimaging fokus pada pertumbuhan struktur otak yang penting, dan seberapa efisien otak merespons rangsangan emosional, misalnya gambar wajah marah. Studi di bidang neuropsikologi menggunakan kinerja pada tugas-tugas yang sudah mapan untuk menyimpulkan fungsi otak, misalnya dengan mengukur memori dan rentang perhatian selama tugas-tugas tertentu dan membuat kesimpulan tentang fungsi dan perilaku dari hasil ini (untuk tinjauan studi neuroimaging dan neuropsikologis).
Secara kolektif, penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan otak anak-anak yang berada dalam pengasuhan kemungkinan besar akan dipengaruhi oleh pengalaman awal mereka. Namun, dampak neuropsikologis dari kesulitan bisa sangat bervariasi, dan tidak semua anak yang mengalami kesulitan terus mengalami kesulitan terkait pembelajaran, ingatan, dan perhatian. Dampak kesulitan terhadap perkembangan otak mungkin bergantung pada apakah anak-anak pernah mengalami perampasan atau ancaman selama masa pra-pengasuhan mereka, yang mengakibatkan keterlambatan perkembangan kognitif atau disintegrasi keterampilan kognitif.
2. Disregulasi hormon stres
Trauma dan kesulitan umumnya digambarkan menyebabkan hipereksitasi pada sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (sumbu HPA) yang mengakibatkan perubahan pada perkembangan otak. Pada kenyataannya, hal ini hampir pasti merupakan penyederhanaan berlebihan antara hubungan antara trauma dan sistem hormon stres. Meskipun ada konsensus bahwa stres dini menyebabkan disregulasi sistem respons stres sumbu HPA tubuh, sifat sebenarnya dari disregulasi ini masih diperdebatkan.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa sistem respons stres dapat menjadi terlalu aktif atau kurang responsif seiring berjalannya waktu di respons terhadap berbagai faktor kompleks (termasuk kronisitas dan waktu terjadinya pelecehan) yang saat ini masih belum jelas. Oleh karena itu, meskipun temuan ini mendukung gagasan bahwa trauma masa kanak-kanak dikaitkan dengan gangguan pada respons sumbu HPA, temuan tersebut tidak sepenuhnya mendukung gagasan hiperaktivasi kronis, seperti yang diasumsikan secara umum.
Meskipun disregulasi sistem respons stres dikaitkan dengan perubahan dalam perkembangan struktur utama otak (misalnya hipokampus), hubungan tersebut tidak sesederhana seperti yang dikemukakan oleh laporan populer. Saat ini, bukti yang mendukung hubungan ini terutama berasal dari penelitian terhadap orang dewasa yang secara retrospektif melaporkan adanya riwayat pelecehan, bukan dari penelitian terhadap anak-anak, yang berarti bahwa pengaruh lain tidak dapat diabaikan. Hubungan yang tepat antara waktu dan sifat kesulitan, disregulasi sumbu HPA, dan gangguan perkembangan otak masih belum jelas, dan hanya dapat ditentukan melalui penelitian longitudinal yang sedang berlangsung.
3. Perubahan struktur dan fungsi otak
Sebagian besar penelitian pencitraan otak yang menyelidiki hubungan antara trauma dan perubahan dalam perkembangan, regulasi, dan daya tangkap otak anak dari waktu ke waktu didasarkan pada penelitian terhadap orang dewasa yang melaporkan riwayat kekerasan pada masa kanak-kanak, bukan pada penelitian yang melacak perkembangan anak dari waktu ke waktu.
Sebaliknya, studi neuropsikologis umumnya memberikan bukti kuat adanya hubungan antara trauma dan fungsi otak. Studi neuropsikologis lebih berguna dari pada studi neuroimaging dalam menilai fungsi anak sehari-hari karena studi ini memberikan kita wawasan yang lebih langsung mengenai kesulitan yang dialami anak-anak. Secara keseluruhan, studi neuropsikologis cenderung menunjukkan bahwa anak-anak yang pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan, trauma, pelecehan atau penelantaran memang mengalami kesulitan kognitif dalam satu atau lebih bidang, bila dibandingkan dengan anak-anak yang belum mengalami kesulitan tersebut.
4. Keterlambatan kognitif dan bahasa secara umum
Secara keseluruhan, anak-anak yang terlantar mungkin lebih rentan terhadap keterlambatan umum dalam perkembangan kognitif dan bahasa. Anak-anak yang terlantar dan mereka yang dibesarkan dalam kemiskinan mungkin lebih berisiko mengalami keterlambatan kognitif dibandingkan anak-anak yang mengalami kekerasan.
Di antara anak-anak yang mengalami kekerasan, semakin parahnya kekerasan dikaitkan dengan rendahnya IQ dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sama. Penelitian-penelitian ini umumnya tidak mengontrol faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi skor IQ, seperti tingkat pendidikan dan adanya gangguan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau depresi, yang berarti temuan ini tidak dapat digeneralisasikan untuk semua anak yang berada dalam pengasuhan.
Paparan terhadap kekerasan dalam rumah tangga ditemukan juga berhubungan dengan IQ dan cara yang bergantung pada dosis, yaitu semakin parah paparan traumatisnya, semakin besar dampaknya. Nilai IQ anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga ternyata delapan poin lebih rendah dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan, setelah mengendalikan dampak genetika dan bentuk penganiayaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa riwayat paparan kekerasan dan PTSD mungkin memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan kognitif.
5. Masalah dengan memori
Ada bukti masuk akal bahwa ingatan dipengaruhi oleh trauma dan kesulitan. Struktur otak yang berhubungan dengan konsolidasi memori ditemukan berbeda pada orang dewasa (tetapi tidak pada anak-anak) yang melaporkan riwayat kekerasan. Misalnya, orang dewasa dengan riwayat kekerasan terbukti memiliki volume hipokampus yang lebih kecil, yakni area otak yang berhubungan dengan konsolidasi memori. Dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan, anak-anak dengan PTSD yang terkait dengan kekerasan juga mungkin menunjukkan aktivasi yang kurang efektif pada area otak ini selama tugas mengingat kembali.
Studi neuropsikologis pada anak-anak juga mendukung gagasan bahwa ingatan dipengaruhi oleh paparan trauma dan kesulitan lainnya. Penelitian terhadap anak-anak yang telah didiagnosis dengan PTSD dalam konteks kekerasan juga menunjukkan bahwa mereka mungkin mengalami kesulitan ingatan, namun temuan ini bergantung pada cara ingatan diukur.
Meskipun beberapa penelitian tidak menemukan perbedaan dalam kinerja memori antara anak-anak dengan dan tanpa PTSD terkait kekerasan, penelitian lain yang menggunakan tes memori “sehari-hari” yang lebih realistis menunjukkan bahwa anak-anak dengan PTSD sekunder terhadap trauma memang memiliki ingatan yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami PTSD. Secara umum ada alasan kuat untuk meyakini bahwa anak-anak yang mengalami PTSD terkait kekerasan akan mengalami kesulitan dalam berbagai tugas memori.
6. Bias dalam pemrosesan informasi sosial atau emosional
Terdapat beberapa bukti bahwa informasi sosial dan emosional diproses secara berbeda di antara anak-anak yang pernah mengalami pelecehan. Amigdala, area otak yang berhubungan dengan pemrosesan informasi emosional secara otomatis (pra-sadar), telah terbukti terlalu responsif terhadap rangsangan emosional, misalnya wajah marah. Anak-anak yang mengalami trauma mampu mengidentifikasi wajah-wajah marah lebih cepat dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami trauma, hal ini menunjukkan bahwa mereka ‘siap’ untuk mendeteksi ancaman.
Anak-anak yang terpapar lingkungan traumatis juga mengalami penurunan ketebalan di area otak yang bertanggung jawab untuk pemrosesan informasi sosial secara emosional, menunjukkan bahwa di bidang ini kurang berkembang pada anak-anak dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami kekerasan.
7. Kesulitan menjalankan fungsi eksekutif
Terdapat beberapa bukti bahwa kesulitan dalam menjalankan fungsi eksekutif dapat berkembang sebagai akibat dari kesulitan yang terjadi pada tahap awal. Fungsi eksekutif adalah seperangkat keterampilan kognitif terkoordinasi yang mencakup 2 domain luas: keterampilan metakognitif (menguras tugas, perencanaan, pengorganisasian, fleksibilitas kognitif) dan keterampilan pengaturan perilaku (penghambatan respons, pengaturan emosi).
1) Keterampilan metakognitif
Penelitian neuropsikologis menunjukkan bahwa anak-anak yang pernah mengalami penelantaran dan kekerasan fisik dapat mengalami masalah dalam perhatian pendengaran dan fleksibilitas kognitif (pemecahan masalah dan perencanaan).
Anak-anak dengan PTSD terkait kekerasan ditemukan memiliki perhatian dan fungsi eksekutif yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan sampel anak-anak yang tidak mengalami penganiayaan, misalnya mereka membuat lebih banyak kesalahan dalam tugas-tugas yang memerlukan perhatian berkelanjutan, dan lebih mudah teralihkan serta lebih impulsif dibandingkan teman sebayanya. Sebuah penelitian menemukan bahwa pengalaman PTSD dalam konteks trauma keluarga mungkin memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap fungsi eksekutif dibandingkan trauma non-keluarga.
2) Regulasi perilaku
Dibandingkan dengan anak-anak yang tidak terabaikan, anak-anak yang terabaikan secara emosional mungkin memiliki aktivitas otak yang kurang efisien selama tugas-tugas yang memerlukan kontrol penghambatan. Hal ini menunjukkan bahwa pengabaian dikaitkan dengan kemampuan yang buruk untuk mengatur diri sendiri dan menghambat respons.
Penulis: Miftah DK
#Unlocking The Limitless