Fimela.com, Jakarta Pemerintah dan swasta banyak belajar dari pandemi COVID-19 dengan banyaknya adaptasi teknologi yang diaplikasikan pada layanan kesehatan di Indonesia. Meski sudah banyak mengadaptasi teknologi di layanan kesehatan, nyatanya masih banyak tantangan yang dihadapi oleh pasien maupun tenaga medis.
Dalam laporan Philips Future Health Index 2023 ditemukan tiga permasalahan utama yang menggambarkan situasi dunia medis, terutama di Indonesia saat ini. Mulai dari permasalahan kekurangan tenaga medis hingga akses kesehatan itu sendiri. Hal ini membuat adaptasi teknologi yang lebih optimal menjadi urgensi bagi layanan kesehatan di Indonesia.
"Laporan Philips Future Health Index 2023 Indonesia kali ini memperkuat urgensi perlunya adopsi teknologi untuk membangun sistem kesehatan yang lebih tangguh dan berorientasi pada pasien. Laporan ini juga menekankan kekuatan transformatif inovasi digital dalam meredefinisi pemberian layanan kesehatan guna menangani kompleksitas lanskap kesehatan di Indonesia serta mengakomodasi kebutuhan pasien yang semakin berkembang," kata Astri Ramayanti, Direktur Utama Philips Indonesia.
Dalam laporan yang sama, terungkap permasalahan layanan kesehatan yang membutuhkan perhatian khusus dari perspektif pasien maupun tenaga medis. Dari permasalahan yang ada, masing-masing membutuhkan adaptasi teknologi yang lebih optimal. Seperti apa gambarannya?
1. Teknologi guna mengurangi tekanan nakes
Menurut data dari Kementerian Kesehatan, Indonesia kekurangan sekitar 160ribu dokter jika dibandingkan dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia. Berdasarkan standar WHO, setidaknya diperlukan satu dokter untuk setiap 1000 orang pasien, atau 1:1000. Sementara di Indonesia, jumlah dokter yang ada perbandingannya 0,6 :1000.
Untuk mengatasi hal tersebut, lebih dari tiga perempat atau 77% layanan kesehatan Indoensia menggunakan solusi teknologi kesehatan digital untuk mengurangi dampak kekurangan tenaga kerja kesehatan. Selain itu, penetrasi teknologi dalam layanan kesehatan juga didorong oleh nakes muda yang menginginkan rumah sakit atau tempat praktik yang menggunakan AI di bidang kesehatan.
2. Teknologi AI untuk meningkatkan pelayanan pasien
Telemedicine yang diandalkan sepanjang pandemi COVID-19 membentuk kebiasaan baru di industri kesehatan. Terbukti dari 89% layanan kesehatan yang sudah memiliki fasilitas perawatan virtual jenis tertentu.
Laporan ini menyoroti minat bersama dalam kecerdasan buatan di antara kedua kelompok, baik pemimpin maupun profesional muda. Kedua kelompok memprioritaskan penggunaan kecerdasan buatan untuk memprediksi hasil pasien, mendukung keputusan klinis, dan mengoptimalkan efisiensi operasional.
3. Teknologi untuk membuka akses kesehatan yang lebih luas
Meski teknologi sudah berkembang, nyatanya masih banyak masyarakat yang belu mendapatkan layanan kesehatan yang mumpuni. Pun jika sudah berada dalam lingkup layanan kesehatan, masyarakat harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk ke pendaftaran, konsultasi, hingga mendapatkan obat.
Ke depannya, para pemimpin berencana untuk fokus pada perluasan akses ke laboratorium berbasis kantor (47%), pusat layanan tanpa janji (43%), dan tenaga kesehatan masyarakat (41%) dalam tiga tahun mendatang. Namun, para profesional muda lebih memprioritaskan implementasi tenaga kesehatan/perawat (79%), pusat layanan tanpa janji (78%), dan program literasi atau edukasi kesehatan (74%).