Fimela.com, Jakarta Menjadi lebih bugar dengan cara berolahraga tentunya dapat meningkatkan kualitas hidup seorang perempuan terutama dalam menjalankan aktivitas multi perannya. Namun, seringkali aspek tersebut terabaikan karena tergerus stigma dan stereotip yang seringkali melimitasi perempuan untuk mengejar apa yang menjadi mimpi atau passion-nya.
FIMELA People kali ini mengangkat kisah inspiratif dari tiga pelari perempuan Indonesia. Mereka membuktikan bahwa kesibukan sehari-hari dengan berbagai peran, tantangan, dan kondisi yang dialami, tidak menjadi hambatan untuk terus berolahraga.
Bahkan, mereka juga mampu berprestasi di bidang olahraga atletik. Yuk, kenalan dengan tiga sosok pelari perempuan tersebut yang ikut serta dalam ajang ASICS META:Time:Trials Malaysia!
1. Lia Lisnawati (ASICS Running Club)
Menjadi seorang ibu rumah tangga dengan berbagai tantangan dan kondisi yang dialami tidak menjadi penghalang bagi seseorang untuk meraih prestasi. Setidaknya itu yang telah dibuktikan oleh Lia Lisnawati.
Lia atau yang akrab disapa Achill merupakan seorang pejuang Talasemia. Bak sudah jatuh tertimpa tangga, Achill pertama kali mengetahui dirinya memiliki riwayat Talasemia adalah pada tahun 2010, tepat setelah ia kehilangan anak pertamanya. Karena itu, butuh waktu lama untuk Achill bisa berdamai dan menerima keadaan.
“Berdamai itu prosesnya cukup panjang, karena menerima suatu hal yang tidak normal itu saja adalah satu bab yang beda. Tapi seiring berjalannya waktu saya menerima dan bersyukur diberikan anugerah mengidap Talasemia oleh Allah adalah sebuah ketentuan yang sudah pasti baik untuk saya,” kata pemilik akun Instagram @achillz itu.
Achill sadar bahwa hidup terus berjalan. Ibu 2 anak itu pun akhirnya mencari cara untuk mengurangi gejala-gejala dari kondisinya, dan ternyata salah satu caranya dengan berolahraga. “Karena semakin sering sering berolahraga, berarti semakin lancar peredaran darahnya,” lanjutnya.
Tantangan Achill
Dengan kondisi yang dialami, menjadikan tantangan tersendiri untuknya mendengarkan “alarm tubuh”, Ketika mulai kambuh, maka ia tidak boleh memaksakan diri.
“Jadi yang terpenting adalah bagaimana cara me-maintain untuk tidak terlalu lelah adalah mendengarkan alarm tubuh sih, ketika tubuh sudah terlalu lelah ya sudah istirahat. Ada lelah yang harus di-push, ada lelah yg harus istirahat,” ujar dia.
Baginya, setiap hari adalah medan juang. Tak mungkin ia lewati tanpa keringat dan air mata. Sebelum terjun di bidang atletik, Achill menekuni olahraga fitness. Namun, langkahnya harus terhenti karena cedera bahu yang dialaminya.
Dokter pribadinya pun memberikan tiga opsi olahraga lainnya, seperti di antaranya sepeda, berenang, dan lari. Dari ketiga opsi yang ditawarkan, Achil jatuh hati pada olahraga lari.
Diakui oleh Achil, rasa cemas dan khawatir akan cedera berulang sempat terlintas di benaknya saat menekuni olahraga lari. Padahal sudah sepenting itu olahraga bagi hidupnya. Tak terbayangkan oleh Achill jika lagi-lagi hidupnya seakan ‘dibatasi’ oleh keadaan.
“Karena udah tahu cedera bahu, saya nggak mau ada kesempatan cedera yang lain. Kalau sampai kaki cedera, saya harus olahraga apa? Karena sudah sepenting itu olahraga untuk saya. Akhirnya saya melakukan latihan bersama coach lari,” ungkap Achill.
Dobrak Stigma Perempuan di Dunia Olahraga
Di samping itu, Achill mengaku masih menghadapi tantangan lain. Di mana dari stigma sosial yang beredar bahwa limitasi kontribusi perempuan di dunia ini hanyalah reproduksi dan caretaking. Sehingga dari kegemarannya berolahraga, Achill kerap menerima komentar negatif yang bahkan datangnya dari keluarganya sendiri dan sesama perempuan lain.
“Banyaklah (dapat komentar negatif). ‘Ngapain sih, merawat diri segitunya. Lari sampai segitunya, lari sampai keluar kota, lari sampai keluar negeri’. Saya kembalikan lagi ke orang tersebut, apakah dia sudah aware betapa pentingnya seorang ibu menjaga kebugaran tubuhnya?,”
“Karena mungkin mereka masih terkungkung stigma kalau ibu tidak ada waktu olahraga. Ada juga stigma ‘kan saya di rumah olahraga sudah mengepel, naik turun tangga’, padahal itu kegiatan rutinitas tapi tidak terukur dan tidak terarah bagian mana yang dilatih, otot mana yang berfungsi dan bisa membantu pergerakan kita jadi lebih luwes,” sambungnya.
Padahal perempuan jelas butuh bugar untuk menjalani multi perannya dalam kehidupannya. Ketika perempuan merasa bugar, dari rasa kuat itu maka kita akan berdaya. Karena ketika perempuan berdaya, maka banyak hal yang luar biasa diciptakan.
“Kita kan mesin domestik di rumah ya, kita yang mengatur semua itu supaya berjalan. Ketika kita sebagai ibu dengan tanggung jawab yang sebesar itu kurang bugar, itu akan merusak tatanan itu semua. Ketika tidak bugar, kita tidak bisa mengurus anak, suami, dan diri sendiri,” tuturnya.
Tips Ibu Multi Peran
Bagi Achil, menjadi sosok ibu multi peran berarti harus memiliki kemampuan untuk mengatur waktu. Seorang ibu harus bisa memanfaatkan semaksimal mungkin waktu dan membaginya sesuai dengan perannya.
Seorang ibu juga harus memegang teguh komitmen dan konsisten terhadap hal itu agar bisa menjalankan peran sebagai ibu, tanpa meninggalkan hobi atau passionnya.
“Saya menjadikan keduanya prioritas. Untuk latihan sendiri, saya memilih waktu latihan di pagi hari sebelum anak-anak bangun. Saya juga memilih ajang lari yang sekiranya digelar di hari-hari libur anak sekolah,” kata Achill.
Terbukti, Achill tetap bisa mengikuti berbagai kompetisi olahraga, bahkan berprestasi. Ia juga pernah memenangkan posisi 3 dalam kategori marathon putri di salah satu ajang yang digelar di Bandung pada tahun 2023 ini. Terbaru, Achill mewakili ASICS Running Club Indonesia berpartisipasi di ajang META:Time:Trials Malaysia kategori 10K.
Sebagai perwakilan ASICS dalam META:Time:Trials Malaysia ini, perasaan Achill bercampur aduk. Ada rasa tidak percaya, takut, namun juga bangga, mengingat ia membawa nama Indonesia di kancah internasional. Kerja keras tak mengkhianati hasil, Achill berhasil menyelesaikan tugasnya dengan tuntas hingga mencatat waktu terbaiknya di 47 menit 48 detik dengan menggunakan sepatu ASICS Metaspeed Edge+.
Lewat partisipasinya ini, Achill berharap dapat menginspirasi orang-orang, terutama perempuan untuk melawan stigma dan batasan perempuan di dunia olahraga.
“Jangan jadikan kekurangan sebagai penghalang, tapi bagaimana kita bisa memaksimalkan dengan kekurangan itu menjadikan diri bermanfaat tidak hanya diri sendiri tetapi orang lain. Sekecil apapun yang kita lakukan, pasti juga bermanfaat untuk orang lain,” pungkasnya.
2. Dev Anggraini (ASICS Running Lead)
Sosok berikutnya yang mendobrak stigma dan stereotip perempuan di dunia olahraga adalah Dev. Di tengah kesibukan sebagai seorang program business and manager dari salah satu kedutaan di Jakarta, Dev tetap bisa menekuni hobi larinya sembari mengemban tugas sebagai salah satu leader ASICS Running Club Indonesia.
“Peran kami adalah me-lead dan men-encourage para anggota dari ASICS Running Club Indonesia. Selain jadi pacer kalau ada acara, kami menyemangati teman-teman lain untuk mengumpulkan mileage dan meningkatkan performa lari mereka,” kata Dev.
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan olahraga terutama perempuan merupakan motivasi Dev menjadi salah satu ASICS Running Lead. Dev melihat tantangan perempuan di dunia olahraga saat itu berasal dari pola pikir perempuan itu sendiri. Tak sedikit perempuan yang merasa dibatasi karena adanya stigma sosial mengenai anggapan ketidakmampuan perempuan (dianggap lemah) di bidang olahraga tertentu.
“Kemungkinan kita cenderung membatasi diri kita dengan melihat ‘oh kayaknya saya nggak mampu nih kalau melakukan olahraga A, padahal kita nggak tahu kalau belum mencoba. Jadi tantangannya lebih kepada sudah takut duluan, bisa nggak ya lari marathon, ikutan bootcamp, panjat tebing dan lainnya,” ujar pemilik akun Instagram @devdevdevdevdevdevdev itu.
Di samping itu, Dev juga melihat perempuan dengan berbagai peran yang dijalani, memiliki kesulitan terkait manajemen waktu. Padahal, olahraga yang teratur menjadi salah satu faktor penting yang juga harus diprioritaskan untuk menjaga tubuh tetap sehat dan bugar. Ketika kita merasa bugar, maka kita akan kuat dalam menjalankan aktivitas multi peran.
“Sebenarnya tidak hanya perempuan, laki-laki juga sama. Jadi, bagaimana caranya kita memasukkan olahraga sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, meskipun 20-30 menit. Karena olahraga penting banget untuk menjaga kesehatan tubuh dan mental kita. Olahraga mampu meningkatkan hormon endorfin atau hormon kebahagiaan yang baik untuk kinerja otak. Olahraga juga dapat mengurangi hormon kortisol yang memicu stres dan adrenalin,” kata dia lagi.
Manajemen waktu juga menjadi tantangan tersendiri untuk Dev. Untuk itu, bagi Dev yang terpenting adalah bagaimana cara kita mengatur prioritas. “Kalau meeting-nya pagi, maka olahraga dilakukan sebelum meeting, atau mau tidak mau dipindahkan ke sore hari. Ini masalah klasik tinggal cara kita me-manage prioritas kita,” ungkap dia.
Menyoal FOMO Ajang Lari
Dev yang sudah sering mengikuti sejumlah ajang lari di dalam maupun luar negeri, tak memungkiri banyak masyarakat yang mengikuti ajang lari hanya untuk eksistensi di sosial media. Tapi mengabaikan persiapan-persiapan yang harus dilakukan untuk pemula, sehingga meningkatkan risiko cedera.
“Saya sendiri perjalanan di dunia olahraga lari berjalan pelan-pelan banget. Awalnya dari 5K, 10K, nggak langsung naik half marathon. Buat saya sarannya listen to our body, karena bagaimanapun olahraga itu khususnya marathon butuh persiapan fisik yang oke banget,” kata Dev.
Dev pun memberikan saran untuk pemula yang ingin menjajal ajang lari marathon, “Buat saya, nggak usah takut untuk mencoba marathon, tapi harus realistis. Misalnya menyiapkan setahun program atau 6 bulan. Kalau latihan badan kita pasti catch up dan akan siap ikut marathon,” lanjut dia.
Sama seperti Achill, tahun ini Dev berpartisipasi dalam ASICS META:Time:Trials Malaysia kategori 10K. Ia berhasil melintasi garis finish dengan catatan waktu 45 menit 10 detik dengan menggunakan sepatu ASICS Metaspeed Sky +.
Lewat partisipasinya ini, Dev berharap dapat menginspirasi lebih banyak orang agar lebih aware untuk kesehatannya sendiri, terutama perempuan yang masih merasa dibatasi karena adanya stigma sosial.
“Jangan jadikan stigma sebagai perempuan batasan. Olahraga tidak memandang batasan antara perempuan dan laki-laki. Semua olahraga sama bisa dilakukan perempuan dan laki-laki. Mungkin batasan-batasan tersebut muncul dari stigma sosial yang beredar di masyarakat, tapi yang menentukan diri kita sendiri, kita mau coba nggak sih,” kata Dev.
“Harapanku juga agar bisa menginspirasi banyak orang supaya lebih memprioritaskan kesehatan mereka di tengah jadwal sibuk, dimulai dari pencapaian kecil seperti olahraga 20 menit setiap hari,” harap Dev.
3. Eliza Chandra (Running Influencer)
Berprofesi di tiga bidang bisnis, yakni florist, beauty brand, content creator, Eliza Chandra jadi bukti perempuan bisa melakukan apa saja. Bahkan, di tengah kesibukan sebagai entrepreneur, perempuan yang akrab disapa Eliza itu tetap bisa berprestasi di bidang olahraga atletik. Ya, Eliza sempat mendapatkan ‘gelar’ sebagai pelari non-atlet perempuan tercepat untuk kategori marathon di Indonesia.
Perjalanan Eliza hingga bisa mendapatkan gelar tersebut tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, Sahabat Fimela. Dibutuhkan proses yang panjang dan konsistensi agar mendapatkan hasil yang memuaskan.
Sebenarnya, Eliza sendiri sudah gemar olahraga lari sejak masa sekolah. Namun, sempat hiatus karena fokus pada kuliah arsiteknya. Barulah di tahun 2017, Eliza kembali menekuni olahraga lari dan berpartisipasi di ajang marathon Indonesia.
“Aku mendapatkan gelar itu di tahun 2022. Bayangkan, perlu waktu 5 tahun konsistensi menjalani latihan non stop. Nggak cuman lari, tapi ada course training-nya, itu semuanya perlu dilakukan dan konsisten. Nutrisinya, vitaminnya, pola tidur itu semua benar-benar harus diperhatikan baru dapat hasil yang memuaskan,” ujar Running Influencer dengan pengikut sebanyak 52.2K itu.
Kamu mungkin penasaran, bagaimana Eliza bisa konsisten selama 5 tahun itu? Diakui oleh Eliza, dia sendiri merupakan sosok orang yang ambisius. Dia memiliki kebiasaan dari kecil yaitu “Kiasu”, merujuk pada istilah Hokkien populer yang artinya “takut kalah” atau “takut ketinggalan”.
“Dari sisi positifnya, itu yang mendorong aku harus tetap konsisten supaya mendapatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Semakin latihan, semakin kecanduan sama prosesnya. Soalnya dulu aku pernah kecewa karena kalah lomba lari, kekecewaan itu menghantui aku. ‘Wah aku nggak terima nih sama kekalahan, harus lebih baik berikutnya’,” kata Eliza seraya tertawa.
Mengelola FOMO Ajang Lari
Eliza mengakui, ajang lari seperti marathon sebaiknya tidak dijadikan ajang FOMO (Fear of Missing Out), karena agenda yang satu ini cukup berisiko jika dilakukan tanpa persiapan matang. “Aku sendiri dan keluarga rutin setiap tahunnya untuk melakukan medical check up, apakah ada penyakit-penyakit yang mungkin berisiko jika aku menekuni olahraga lari, jadi persiapan-persiapan itu perlu diperhatikan sih buat kamu yang ingin mengikuti ajang lari,” tutur Eliza.
Menurut Eliza, untuk masuk ke dalam tahap full marathon itu diperlukan persiapan secara bertahap. Harus berpengalaman di 5K, 10K, program half marathon, baru full marathon. “Soalnya setiap ikuti ajang lari itu ada risikonya. Semuanya ada proses latihannya nggak bisa langsung lompat kelas. Belum tamat SD, udah mau ke SMA, nggak bisa. Jadi ada program latihan larinya. Program latihan larinya juga nggak sesimpel itu, prosesnya kompleks,” kata Eliza.
Eliza menambahkan, persiapan untuk pemula yang ingin terjun ke ajang lari untuk pertama kalinya adalah mengenali badan diri sendiri terlebih dahulu. Selain itu, pelari pemula perlu mencari bantuan profesional untuk membimbing proses latihan lari.
“Saran aku langsung cari coach lari yang bisa bimbing dan cari arahan yang benar. Salah sepatu aja bisa cedera dalam berlari. Atau bisa cari komunitas lari untuk membantu kita memotivasi kita, dan sharing tips yang kalian perlu untuk keseharian lari,” saran Eliza.
Tips Pemula yang Ingin Ikut Ajang Lari
Tak hanya itu, pilihan outfit sebagai penunjang aktivitas olahraga lari juga jadi salah satu aspek yang wajib diperhatikan. Sebab, salah pilih sepatu saja bisa meningkatkan risiko cedera.
“Aku lumayan berpengalaman di dunia lari selama 6 tahun, berbagai brand pernah aku coba. ASICS itu paling cocok di aku. Semenjak aku pakai ASICS, nggak ada blister lagi, breathable, dan ringan, itu membantu performa lari kita. Yang aku suka sepatunya karena lengkap banget, dari pilihan sepatu untuk easy run, speed, hingga race,” lanjut dia.
Di tahun ini, Eliza mewakili ASICS Indonesia juga turut berpartisipasi dalam ajang ASICS META:Time:Trials Malaysia kategori 10K. Ia sukses melintasi garis finish dengan catatan waktu 45 menit 21 detik dengan menggunakan sepatu ASICS Metaspeed Edge.
Lewat partisipasinya ini, dia berharap dapat menginspirasi banyak orang untuk berolahraga, tidak hanya perempuan saja. Tapi juga mereka yang punya kesibukan padat agar tetap bisa melakukan yang terbaik dan berolahraga.
“Aku ingin menginspirasi teman-teman semua yang sering mengeluh tidak ada waktu, sebenarnya kita bisa aja sih sisihkan waktu dalam keseharian kita hanya untuk berolahraga, dan harapan saya masyarakat Indonesia makin bisa menyadari pentingnya berolahraga, karena kesehatan itu mahal. Break personal record juga tentunya,” tandas Eliza.
Tentang ASICS META:Time:Trials Malaysia
Untuk diketahui, ASICS META:Time:Trials Malaysia adalah ajang lari yang menantang pelari dari seluruh pelari Asia Tenggara untuk menunjukkan eksistensi mereka melalui jarak balapan 10 km. Tahun lalu, ajang ini diselenggarakan di Bangkok, Thailand. Kali ini, digelar di Cyberjaya, Malaysia pada 19 November 2023.
Secara khusus, ASICS Running Club Indonesia membawa pesan mengenai “Women Empowerment” di ASICS META:Time:Trials Malaysia melalui 3 sosok pelari perempuan inspiratif di atas. Dari keterlibatan Achill, Dev, dan Eliza di ajang lari ini, ASICS Indonesia ingin menunjukkan bahwa perempuan bisa melakukan berbagai hal yang disukai tanpa dibatasi oleh latar belakang, ketertarikan, preferensi, dan hal yang lainnya. Perempuan juga bisa dan mampu untuk meraih kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di bidang olahraga. Hal ini tentunya juga sejalan dengan tema Fimela tahun ini, yaitu “Breaking Boundaries”.
Para pelari ini melintasi garis start di ASICS META:Time:Trials bukan hanya tentang jarak atau waktu, tetapi tentang hati yang tidak pernah lelah mencoba menginspirasi orang untuk menunjukkan bahwa mereka bisa, mereka mampu mendobrak stigma dan batasan perempuan di dunia olahraga.
Ajang lari ini juga diikuti oleh Robi Syanturi yang merupakan pelari sekaligus ASICS Official Athlete untuk kategori Long-Mid Distance Runner. Ia bersaing ketat dengan Atlet ASICS dari Asia Tenggara, dan berhasil meraih posisi pertama dengan mencatatkan waktu 31 menit 21 detik.
#Breaking Boundaries