Fimela.com, Jakarta Marcello Tahitoe atau Ello menjadi salah satu musisi populer tanah air yang penampilannya selalu dinantikan banyak orang. Bicara tentang sosok Ello, pria 40 tahun itu menyimpan banyak kisah menarik dan penuh makna di hidupnya.
Ya, pengalaman pahit dan manisnya kehidupan pun terjadi di tengah popularitasnya sebagai seorang musisi, mulai dari cinta, kehilangan, hingga akhirnya bangkit lagi karena cinta.
Soal pahitnya kehidupan, seperti diketahui di awal tahun 2017 Ello sempat terjerat narkoba dan menjalani rehabilitasi selama sembilan bulan. Kejadian itu pun telah mengajarkannya banyak hal, termasuk dalam penerimaan diri dan berdamai dengan kesalahan di masa lalu. "Aku menjalani dengan hati yang lapang dan pikiran terbuka. Aku tuh sekarang sudah bisa lebih berserah, bersyukur karena aku merasa bahwa setiap kesalahan yang pernah aku bikin dan menyebabkan beberapa masalah itu hanyalah proses untuk membuatku jadi orang yang lebih baik," tutur Marcello Tahitoe saat berbincang dengan Fimela pada 12 Oktober 2023 di Jakarta.
Lebih lanjut Ello menjelaskan hal lain yang membuatnya bisa bertahan dan menghadapi masa itu adalah cinta dari sang ayah, Minggus Tahitoe. "Yang membuat aku bertahan dan bisa menjalani itu dengan hati yang terbuka adalah cinta kasihnya papa saya," ujar Ello. "Aku merasa, 'okay i can face the world'," lanjutnya.
Meski terdengar klasik, namun Ello meyakinkan bahwa cinta menjadi sesuatu yang amat penting dalam hidupnya dan membantu dirinya bertahan menghadapi kerasnya dunia. "Buat aku (cinta) itu penting dan itu kebawa sampai sekarang bahwa cuma love yang bisa bikin kita bertahan. Orang bisa skeptis tentang love, tapi kalau aku enggak. Aku adalah fans terbesarnya love," ujarnya meyakinkan.
Bicara soal kehidupan Ello, penyanyi yang baru merilis single Do Over itu juga berbagi tentang bagaimana ia meleburkan egonya saat sudah berkeluarga. Ya, Ello mengaku kehidupannya berubah begitu drastis setelah menikah dengan Cindy Maria pada 2022 dan memiliki seorang putri yang diberi nama Dunia Tahitoe.
Menariknya, Ello mengaku jika dirinya tak pernah menyangka jika dirinya bisa menikah dan memiliki anak. "Aku enggak pernah menyangka memiliki kesempatan untuk merasakan hal seperti ini, berkeluarga, punya anak, melihat track record yang dulu ya gitu, kayaknya enggak, enggak kebayang," kata Ello bercerita.
Soal perubahan dirinya, Ello menyebut dirinya kini tak lagi egois seperti dulu. Ia bahkan telah menggeser prioritas dirinya dan sangat memerhatikan kebutuhan istri dan putrinya.
"Buat aku, seorang seniman itu harus ada egoisnya. Maksudnya, misalnya kita menulurkan sebuah karya gitu ya, harus ada sisi egonya kita untuk bilang karya kita ini nih keren nih, ini gue banget gitu, dan itu kebawa ke kehidupan aku sebelumnya," ucap Ello.
"Sekarang setelah ada mereka, hidup aku tuh udah bukan aku lagi gitu. Aku udah fokusnya ke mereka banget banget bangetan. Dari situ aku bisa ambil hikmahnya bahwa kehadiran mereka berdua membuat aku menjadi orang yang lebih baik. Enggak egois in personal life. Enggak yang semaunya sendiri," aku Ello.
Cerita di atas hanyalah secuil keseruan yang ada di hidup Marcello Tahitoe. Kepada Fimela, Ello pun menurutkan banyak hal tentang musik, hidupnya, juga bayangan dirinya sebagai seorang ayah yang begitu mencintai dan ingin melindungi putrinya, Dunia Tahitoe. Berikut ini adalah kutipan wawancara seru Fimela dengan Ello yang tak boleh Anda lewatkan.
Kehidupan Baru
Menikah dan memiliki anak, Ello menyebut dirinya mengalami perubahan drastis yang mengubah dirinya. Meski begitu ia mensyukuri hal tersebut karena kehadiran istri dan putrinya telah mengantarkan Ello menjadi sosok yang lebih baik.
Seperti apa kehidupan seorang Marcello Tahitoe setelah menikah dan memiliki anak?
Berubah, berubah banget karena ini pengalaman yang baru. Ini anak pertamaku, ini pernikahan pertamaku, aku enggak pernah menyangka memiliki kesempatan untuk merasakan hal seperti ini, berkeluarga, punya anak gitu, melihat track record yang dulu ya gitu, kayaknya enggak kebayang.
Tapi ternyata perubahan yang aku alami setelah adanya Dunia dan istriku, ini perubahan yang baik karena aku orang yang egois banget sih. Maksudnya, buat aku seorang seniman itu harus ada egoisnya. Misalnya kita menulurkan sebuah karya gitu ya, harus ada sisi egonya kita untuk bilang karya kita ini nih keren nih, ini gue banget gitu. Itu kan self-centered banget kan, itu kebawa ke kehidupan pribadiku di sebelumnya.
Sekarang setelah ada mereka, hidup aku tuh udah bukan aku lagi. Aku fokusnya ke mereka banget banget bangetan. Apalagi ke istriku ya, aku udah kalah sama dia.
Kalah dalam artian?
Analoginya, ilustrasinya, dia kasih jempol aku kasih telunjuk lah. Dia kasih telunjuk aku kasih kelingking, sudah pasti. Semua hidupku hanya untuk dia. Itu udah kalah tuh. Terus ada Dunia, makin kalah lagi aku, double combo kalahnya.
Di situ mungkin aku bisa ngambil silver lining-nya, hikmahnya adalah ya memang dengan kehadiran mereka berdua, aku menjadi orang yang lebih baik. Enggak yang egois, in personal life. Enggak yang semaunya sendiri.
Biasanya aku tuh mageran parah, ada beberapa kesempatan, misalnya kayak pulang dari tour lama gitu, terus tiba-tiba istriku bilang “Eh kita harus ini maternity shoot," gitu. "Bro ini gue baru pulang empat hari nih bro, please lah ya kalau boleh, bisa enggak sih lusa gitu, gue diem dulu di sini gitu”. Tapi dia udah excited banget dan aku kayak “Oh oke”.
Apa yang membuat istriku senang, aku senang, gitu. Karena buat aku prinsipnya, happy wife, happy life. Jadi kayaknya aku berubah menjadi orang yang lebih baik sih.
Setelah menggeser prioritas diri dan menomorsatukan anak dan istri, apakah hal Ello merasa mendapatkan kebahagiaan yang sepadan?
Terbayar, karena aku melihat mereka senang, aku senang. Jadi sebenarnya aku melakukan itu untuk diriku lagi sebenarnya. Buat aku menjalani ini kayak ada purpose of life yang baru. Kayak ya semua buat dia, aku sudah enggak bisa mikirin hal-hal yang enggak penting lagi.
Aku tuh sempet skeptis soal cinta dan pernikahan, dan skeptisnya itu muncul waktu mamaku meninggal. Aku sempet kayak enggak percaya, ah ngapain sih gitu. Terus aku lihat papaku sendirian sedih gitu kayak, "Lo ngapain sih, lo melakukan ini (jatuh cinta dan menikah) nanti ujung-ujungnya ditinggal juga". Norak sih memang pemikiran itu, bodoh lah. Tapi itu nyata di kepala aku dan aku kayak "gak mau ah". Karena buat apa lo mencintai kalau ujung-ujungnya lo harus berpisah juga? Itu rada keras tuh di kepala aku, rada kental tuh waktu itu.
Akhirnya aku enggak pernah berpikiran untuk menikah, awalnya. Tapi pas ketemu nih perempuan ya, istri aku ini, kayak kangen terus, kayak pengen bercanda terus, pengen ngobrol terus. Jarang tuh seorang Marcelo Tahtoe pengen ngobrol dalam sebuah hubungan, itu jarang sebenernya. Tektokannya nyambung, itu yang paling penting dalam setiap hubungan. Kalian harus perhatikan itu, tektokan dulu yang penting. Kelihatannya sih kecil ya, tektokan itu kan enggak yang vital gitu, tapi itu penting banget loh, karena you will deal with this person for the rest of your life.
Sebagai seorang ayah, Marcello Tahitoe itu seperti apa?
Aku mencoba santai. Aku ingin menjadi orang yang santai dan kayaknya sih aku ada bakat untuk kesitu, kayaknya yah melihat rekam jejak. Tapi enggak kebayang sih kalau misalnya tiba-tiba ada anak cowok datang terus tiba-tiba di tangannya ada tato 4:20 juga kayak gue, bingung banget sih gue pasti “Aduh gimana nih, aduh bro”. Gitu deh.
Tapi aku percaya kita enggak bakalan bisa membawa kebaikan untuk anak kita kalau 24/7 tuh kita perhatiin terus, karena aku pasti akan nolak juga. Waktu aku masih kecil yah, butuh dilepas gitu, butuh ruang.
Pesan untuk Dunia saat ia dewasa?
Aku akan kasih pesan dari pesan mamahku. Dunia harus ingat, kalau kamu enggak bisa bikin semua senang, tapi kamu harus baik sama semua orang. Itu pesan dari aku.
Penerimaan Diri
Di usia yang kini menginjak 40 tahun, hal apa yang selalu ingin Ello rasakan?
Layaknya kaya orang normal ya, saya ingin terus merasakan kasih sayang, ingin merasakan adrenalin saya, kejutan kejutan saya. Saya rasa sih itu yang hampir semua orang butuh ingin selalu ada dalam kehidupan.
Sejauh kehidupan yang dijalani, perubahan diri seperti apa yang dirasakan?
Kalau masalah pembaharuan yang ada di pikiran saya adalah, aku tuh sekarang sudah bisa lebih let go lah gitu, aku udah bisa lebih berserah, bersyukur karena aku merasa bahwa setiap kesalahan-kesalahan yang pernah aku bikin dan menyebabkan beberapa masalah, buatku itu hanyalah satu proses untuk aku jadi orang yang lebih baik.
Jadi aku masuk ke sana (rehabilitasi) dengan penuh hati terbuka, dengan tangan terbuka untuk merangkul apapun yang bisa membuat aku menjadi lebih baik. So aku ngejalanin program dengan baik, aku lumayan jadi murid teladan lah ya, kata konsuler ku “Lo itu anomali, jarang masuk ke sini terus segitunya sama program". Aku segitunya selama 9 bulan, jadi ya benar-benar dipakai sampai sekarang.
Jadi buat aku yang paling penting adalah let go dari semua. Apapun masalahnya, lo berdamai, dan itu yang benar-benar membuatku bisa bertahan sekarang. Kalau masalah dihujat bisa dibilang aku sudah enggak terlalu mikirin sih. Maksudnya aku juga pernah dihujat satu Indonesia waktu itu, jadi buat aku udah nggak penting lagi sih. Aku nggak hidup hanya karena opini orang saja.
Namun setiap orang biasanya butuh waktu dan sesuatu untuk membuatnya bisa berdamai dengan keadaan. Apa yang membuat Ello menerima dan bertahan kala itu?
Yang membuat aku bertahan dan bisa menjalani itu dengan hati yang terbuka adalah cinta kasihnya papa saya. Aku merasa, 'okay i can face the world'. Buat aku (cinta) itu penting dan itu kebawa sampai sekarang bahwa cuma love yang bisa bikin kita bertahan. Orang bisa skeptis tentang love, tapi kalau aku enggak. Aku adalah fans terbesarnya love.
Kemudian, prinsip apa yang selalu Anda pegang dalam hidup?
Berserah, berserah tuh beda sama pasrah ya. Kalau pasrah itu lebih pasif, yaudahlah bodo amat gitu, tapi kalau berserah tuh tetap bergerak. Kita tetap usaha, tapi outcome atau resault-nya kita serahkan dan itu yang aku jalani sampai sekarang.
Menjalani hidup, melewati pandemi susah banget itu. Melewati jual gitar, (yang mana itu adalah) hal favorite aku, terpacul lah istilahnya, karena aku kerja dari situ tapi aku harus merelakan itu, ada banyak yang dijual untuk bertahan. Tapi kalau memang harus jalannya itu ya sudah, jadi enggak ngoyo lagi, sampai akhirnya ketemu deDewa19, ketemu istriku, punya anak juga, itu benar-benar berserah saja.
Kedepan soal musiknya akankah seorang Marcello Tahitoe mengikuti pasar dan mengabaikan idealisme saat berada dalam keadaan terpojok?
Ya itu dia, kalau memang harus seperti itu dan memang sudah jalannya seperti itu ya sudah. Pernah dengar istilah you are your own worst enemy nggak? Nah struggling-nya di situ tuh. Kalau bisa diakalin, gimana supaya setidaknya bisa menemukan apa yang aku inginkan dan sesuai dengan selera pasar, ya mungkin masih bergumul di situ. Tapi untungnya, aku seleranya nggak yang terlalu aneh-aneh banget sih, masih nyambunglah sama orang-orang.
Tapi sudah merasa bahagia kah di titik saat ini dengan Do Over yang baru dirilis? Sudah cukup mewakili idealismenya?
Sangat-sangat, jadi pas bikin lagu ini tuh aku enggak terlalu mikir ini tebus pasar atau enggak, karena aku sudah melewati tujuh tahun, sudah bodo amat juga gitu, enggak terlalu mikirin soal pasar. Lagu ini agak khusus karena aku sesimpel ingin membuat lagu yang enak didengar tanpa harus orang merasa berisik, orang ngecilin volumenya, itu dasar utamanya.