Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah thrifting. Berbelanja pakaian bekas impor belakangan ini sedang digemari oleh masyarakat Indonesia, terutama kalangan Gen Z. Tak hanya berbelanja, bahkan banyak juga yang menjadikan thrifting sebagai ladang bisnis.
Thrifting adalah kegiatan membeli barang-barang bekas seperti pakaian, perabotan, barang rumah tangga, dan barang-barang lainnya, dari toko-toko atau pasar barang bekas. Istilah "thrifting" berasal dari kata "thrift," yang berarti penghematan. Nah, tujuan utama dari kegiatan thrifting ini adalah untuk menemukan barang-barang yang masih dalam kondisi baik dengan harga yang lebih terjangkau daripada harga barang yang masih baru.
Thrifting bisa dijadikan alternatif bagi Sahabat Fimela yang ingin mencari barang-barang unik atau vintage dengan anggaran yang terbatas. Di era di mana konsumsi fesyen cepat semakin mendominasi, thrifting menawarkan pilihan berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan. Kegiatan berbelanja barang bekas ini membantu mengurangi tekanan produksi dan pembuangan barang baru dalam fast fashion (fesyen cepat).
Tak heran jika thrifting menjadi pilihan gaya hidup masyarakat saat ini yang peduli dengan keuangan pribadi, lingkungan, dan sosial. Jika Sahabat Fimela penasaran dengan asal-usul budaya thrifting, simak informasi berikut ini.
What's On Fimela
powered by
Asal mula budaya thrifting
Budaya thrifting memiliki akar sejarah yang panjang dan bervariasi. Dilansir dari The State Press, praktik thrifting sudah ada sejak Abad Pertengahan, di mana pakaian bekas digunakan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan sering kali diwariskan atau diperoleh melalui pertukaran. Perkembangan thrifting menjadi lebih terorganisir pada abad ke-19 sejak munculnya organisasi seperti Salvation Army dan Goodwill.
Ada masa di mana thrifting menjadi tidak relevan, yakni saat Revolusi Industri. Saat itu, muncul barang-barang baru yang lebih murah dan mudah dibuang. Thrifting jadi dianggap kurang bagus dan seringkali ditujukan ke komunitas imigran.
Namun, seiring waktu berjalan, thrifting tetap berkembang. Era 1970-an menjadi zaman keemasan untuk thrifting, terutama karena gerakan kontrabudaya. Pakaian bekas menjadi simbol kebebasan dan ekspresi diri.
Selama beberapa dekade, thrifting terus berkembang, tetap relevan dalam subkultur tertentu bahkan saat mode baru mendominasi pada era 1980-an. Popularitas thrifting kembali hidup dengan munculnya gerakan grunge di tahun 1990-an sebagai tindakan melawan establishment. Saat ini, di tengah dominasi fesyen cepat dan konsumsi besar-besaran, makna thrifting makin rumit untuk diidentifikasi.
Di Indonesia sendiri, pasar barang bekas sudah ada sejak lama, terutama di pasar tradisional dan pasar loak. Menurut studi yang dilakukan Feby Febriyadi Nur Rizka yang berjudul Fashion Thrifting sebagai Budaya Populer di Kalangan Mahasiswa, thrifting mulai tumbuh dan berkembang di Bandung pada tahun 1990-2000.
Seiring berjalannya waktu, tidak hanya di Bandung saja, pasar-pasar thrifting juga muncul di kota-kota besar lainnya, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Barang yang ditawarkan dalam budaya thrifting di Indonesia semakin beragam. Selain pakaian bekas, perabotan, aksesoris, barang-barang rumah tangga, dan bahkan barang-barang langka atau antik juga dapat ditemukan.
Perkembangan teknologi dan media sosial telah memainkan peran besar dalam menghidupkan budaya thrifting. Saat ini, toko thrift tidak hanya ada toko fisiknya, tetapi juga toko daringnya. Banyak orang menemukan daya tarik dalam mencari barang-barang unik, vintage, atau langka di pasar thrifting.
Seiring dengan peningkatan kesadaran lingkungan, masyarakat Indonesia semakin menerima dan menghargai barang-barang bekas. Selain karena harganya yang terjangkau, mereka melihat thrifting sebagai alternatif berkelanjutan untuk berbelanja dan mengurangi dampak negatif konsumsi barang baru terhadap lingkungan.
Penulis: Denisa Aulia