Fimela.com, Jakarta Pengelana, Penjaga, dan Pengantin, tiga hal itu diramalkan akan menjadimperan yang akan dimainkan oleh ketiga cucunya. Nenek Victoria membuat ramalan itu sebelum ketiga cucunya: Muti, Maya, dan Annisa tumbuh menjadi perempuan dewasa. Ketika diramal seperti itu, sambutan dan hal yang dirasakan oleh ketiga cucunya, Tiga Dara, berbeda-beda. Ada yang penuh tanya, ada yang menganggapnya sebagai sesuatu yang menakutkan, tetapi ada juga yang menyambutnya dengan penuh harap. Benarkah itu ramalan? Atau justru sebuah kutukan?
Hingga pada suatu hari, di suatu momen yang tak pernah disangka, sebuah kejadian membuat dara yang tersisa harus mengurai kembali masa lalu. Mencoba untuk merajut kembali momen-momen penting di kehidupan mereka. Mereka berusaha mencari jawaban atas keputusan yang diambil oleh saudaranya sendiri. Walaupun itu artinya mereka harus berusaha untuk membuka luka lama, mengungkap rahasia-rahasia yang selama ini menjadi misteri, hingga mengumpulkan keberanian untuk terhubung kembali dengan sosok-sosok yang berpengaruh dan bersilangan di kehidupan mereka.
Novel Malam Seribu Jahannam
Judul: Malam Seribu Jahannam
Penulis: Intan Paramaditha
Penyelia naskah: Mirna Yulistianti
Desain dan ilustrasi sampul: Wulang Sunu
Desain isi: Mulyono
Proofreader: Muhammad Zuhairi, Shafira
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan pertama: Juni 2023
Ini dongeng tiga dara. Bukankah selalu saja tentang mereka, sebab siapa yang tak kenal cerita rumah, keluarga, kita. Tapi ini juga dongeng yang tak kau minta, tentang yang tak terlihat, tak terdengar, terlupa.
Di tahun 1991, Hajjah Victoria binti Haji Tjek Sun meramal ketiga cucunya: satu cucu berkelana, satu menjaga, dan satu lagi menjadi pengantin. Ketika salah seorang berkhianat, dara yang tersisa terperangkap dan menoleh ke belakang, menelusuri dapur berisi kuali-kuali raksasa dan sumur terlarang di Rumah Victoria (kata orang jalan menuju rumah Nenek tak berujung), berhadapan dengan rahasia dan mimpi-mimpi yang macet di tengah jalan. Saat perjalanan dan kitab suci tidak lagi memberi perlindungan, dara yang lain hadir. Ia tak diundang dan menuntut penjelasan.
Malam Seribu Jahanam adalah novel kedua dari Intan Paramaditha. Mengolah kisah-kisah Islami dan mitos nusantara, novel ini merupakan dongeng gelap tentang sesal, malu, dan hantu—sebuah renungan tentang praktik beragama, retakan dan reruntuhan kelas menengah, serta rapuhnya persaudaraan.
***
"Aku ingin melanjutkan hidupku, hidup yang tertunda karena pilihanku sendiri, tapi aku tak tahu lagi sekarang. Bagaimana cara berlanjut? Aku terus bertanya kenapa, bukan mau ke mana." (hlm. 77)
"Tulisan adalah perahu yang berkelana menuju abadi. Ini mimpiku, jangan ambil, sebab cuma ini yang aku punya." (hlm. 111)
"Bagaimana memahami masa lalu bila kau tak punya masa depan?" (hlm. 212)
"Cuma ujian, sebentar lagi berlalu. Aku bertanya, kalau cuma ujian, kenapa rasanya sakit sekali Mami?" (hlm. 267)
"Orang-orang macam kami, mati pun tak ada yang peduli." (hlm. 279)
"Aku ingin tahu apa sesalmu." (hlm. 302)
Dara yang paling sulung menjadi yang paling diandalkan oleh mamanya. Dia tumbuh menjadi pribadi yang lebih keras dan berusaha lebih tegar dibandingkan adik-adiknya. Sang ibu menekankan beberapa nasihat yang secara khusus ditujukan padanya. Menjalani kehidupan dengan berbagai tuntutan jelas tak mudah baginya. Apalagi ketika dia merasa tidak pernah merasa cukup, dia pun tumbuh menjadi pribadi yang keras juga kepada diri sendiri. Menjadi yang harus paling bisa diandalkan, ada kalanya dia juga merasa lelah. Namun, dia adalah seorang Penjaga. Hanya saja mau sampai kapan dia kuat untuk menahan dan berjuang mengatasi segalanya sendirian sembari menjaga orang-orang penting di dalam hidupnya sendiri?
Dara yang menjadi anak tengah sering merasa dilupakan. Putri yang lain, begitu ia menyebut dirinya ketika mulai merasa kehadirannya diragukan. Keberadaannya seakan tak pernah dianggap ada oleh orang yang semestinya menjadi sosok paling dekat dengannya. Dia diramalkan akan menjadi seorang Pengelana. Seseorang yang akan berlayar jauh sekali. Hubungannya dengan sang kakak tak bisa dibilang benar-benar hangat, tetapi kehidupannya justru bersinggungan dan beririsan dekat dengannya.
Dara yang paling bungsu menjadi kesayangan Papa. Dia yang paling cantik, dan paling mudah menerima pujian dan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya karena keelokan parasnya. Hal ini pun memicu kecemburuan sendiri, atau bisa dibilang semacam ada kecenderungan pilih kasih, yang membuat kakak-kakaknya merasa tak sepenuhnya menyayanginya. Nenek meramalnya akan menjadi seorang Pengantin. Siapa yang tak bahagia dan penuh harap ketika diramal akan menjadi Pengantin? Dengan gaun putih dikelilingi orang-orang yang mencintainya, siapa pun pasti ingin mendapatkan peran tersebut. Dia juga punya kebiasaan menulis buku harian. Ada tulisan-tulisan yang memuat perasaannya terhadap seseorang, rahasia-rahasia yang ia pendam sendiri, hingga mimpi yang seakan menjadi proyeksi akan sesuatu yang bakal terjadi di dimensi kehidupannya yang lain.
Kehidupan Muti, Maya, dan Annisa tak sepenuhnya indah. Ada rahasia yang disimpan oleh Neneknya. Kasih sayang yang dipertanyakan dari orang-orang terdekat mereka. Pilihan dan keputusan yang diambil oleh masing-masing dari mereka. Pilihan dan konsekuensi atas semua hal yang mereka pilih dan kaitannya dengan diri mereka yang dilahirkan sebagai perempuan. Serta, sosok yang dulu sangat dekat tetapi terluka dan dilukai begitu dalam, kemudian hadir kembali ketika mereka sedang berusaha untuk mencari jawaban dan kepastian akan sebuah tragedi yang menimpa keluarga mereka.
Balutan kisah religius agama Islam, kisah nabi-nabi, hingga cerita tentang hantu-hantu membuat novel ini memiliki kompleksitas yang begitu menarik untuk diikuti. Ada momen yang membuat bulu kuduk merinding, ada juga yang terasa begitu mencekam. Bahkan ada yang menghadirkan perasaan begitu sedih seakan hati ditusuk sembilu.
Ditulis dari sudut pandang empat karakter, novel ini membuat pembaca seakan bisa memiliki ikatan yang begitu personal dengan masing-masing dari mereka. Ikut merasakan kesedihan, kemarahan, hingga pergolakan batin yang ada. Ada "kunci" kamar rahasia di Rumah Victoria yang menghadirkan banyak tanya, dan jawabannya baru bisa ditemukan setelah mengikuti satu demi satu kisah yang dimiliki oleh setiap karakter utama novel ini. Kucing hitam yang dihadirkan di novel ini juga menghadirkan kesan tersendiri.
Malam Seribu Jahannam, novel ini menghadirkan pengalaman membaca yang begitu berkesan. Ada perasaan terluka yang kemudian terurai dan terajut kembali dengan menghadirkan sesuatu yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Tiga cucu perempuan, tiga ramalan, keluarga yang tidak bisa dibilang sempurna, dan dengan banyak rahasia serta misteri kehidupan yang menyertai kehidupan mereka terangkai dalam kisah yang begitu solid.