Fimela.com, Jakarta Industri fesyen saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kini, industri fesyen rutin mengeluarkan model terbaru dengan perputaran barang yag sangat cepat, sekitar lebih dari empat kali dalam satu tahun untuk mengikuti tren dan memenuhi kebutuhan pasar. Orang-orang terus membeli pakaian dengan mengikuti tren. Hal ini lah yang dikenal juga dengan industri fast fashion.
Dilansir dari leed-initiative.org, fast fashion merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena di industri pakaian yang mulai populer sejak awal tahun 2000-an. Fast fashion adalah produksi massal pakaian secara cepat, murah, dan umumnya berkualitas rendah.
Kualitas dan daya tahan pakaian tidak terlalu dipedulikan dalam fast fahion, pakaian lebih berkaitan untuk bergaya dan mengikuti tren fesyen. Industri ini cenderung menjiplak brand fesyen kelas atas dan diproduksi kembali dengan bahan berkualitas rendah. Model produksi fast fashion yang murah dan cepat menimbulkan banyak pertanyaan tentang sustainability dan etik industri fesyen tersebut.
Fast fashion menyembunyikan banyak sisi gelap. Beberapa orang mungkin berpikir bahwa fast fashion adalah pilihan yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak mampu membeli pakaian mahal. Faktanya, fast fashion lebih dari itu.
What's On Fimela
powered by
Penyumbang Limbah dan Kerusakan Lingkungan
Walaupun fast fashion hadir mengikuti tren dan murah, umumnya industri fast fashion menggunakan bahan yang berkualitas rendah seperti poliester. Hal ini membuat pakaian yang diproduksi tidak bertahan lama dan mudah rusak. Bahkan, industri fast fashion menyumbang sekitar 92 juta ton limbah tekstil setiap tahunnya yang berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar. Produksi dan konsumsi berlebihan ini menjadikan fast fashion sebagai industri dengan polusi terbesar kedua di dunia.
Fast fashion juga didasarkan pada konsumsi sumber daya yang berlebihan. Deforestasi skala besar yang dapat merusak hutan serta pemborosan air secara besar-besaran untuk produksi kain. Berdasarkan video World Wildlife Fund, dibutuhkan 2.700 liter air untuk memproduksi satu kaos katun atau setara dengan konsumsi air minum dua orang selama dua setengah tahun.
Berdasarkan data Union for the Conservation of Nature, industri tekstil menghasilkan 35 persen mikroplastik yang berakhir di laut. Limbah-limbah ini juga mengandung zat beracun seperti timah, merkuri, dan arsenik. Pada beberapa pabrik limbah ini dibiarkan langsung terbuang tanpa melalui proses pengolahan. Industri ini juga menjadi salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia. Hal tersebut tentu sangat berdampak pada pencemaran lingkungan dan mengancam kesehatan manusia.
Perbudakan di Era Modern
Produksi fast fashion diketahui memiliki pabrik di sejumlah negara berkembang seperti India, Vietnam, Tiongkok, Bangladesh, dan negara lain yang memiliki upah tenaga kerja yang murah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait dengan eksploitasi pekerja yang bekerja dalam kondisi tidak aman dan tidak layak dengan upah yang rendah. Fast fashion juga mencakup kerja paksa dan pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam beberapa laporan juga mengungkapkan bahwa pekerja garmen fast fashion sering kali menggunakan anak kecil atau imigran yang dipaksa bekerja selama 12-16 jam per hari dengan upah yang sangat rendah dan tidak layak. Tidak heran jika industri fast fashion dikaitkan sebagai perbudakan di era modern.
Sebagai konsumen fesyen seharusnya dapat lebih sadar akan konsumsi fesyen yang tidak berlebihan dan mendukung industri pakaian yang lebih lambat serta berkelanjutan. Untuk menggantikan model fast fashion saat ini, perlu memperjuangkan model fesyen yang berkelanjutan, tahan lama, berkualitas, dan ramah lingkungan.
*Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di tautan ini.
Penulis: Maritza Samira
#BreakingBoundariesOktober