Desainer muda yang selama beberapa tahun terakhir menaruh perhatiannya pada wastra itu, kali ini mengambil pendekatan berbeda dalam mengolah wastranya. [Dok/Fimela/Bambang E. Ros]
Ia mengangkat batik lawas yang sudah lapuk dan terlalu ringkih untuk digunakan. [Dok/Fimela/Bambang E. Ros]
Batik-batik lawas dari berbagai penjuru di Indonesia sejak tahun 60an-80an ini pun diprosesnya dengan cara modern. [Dok/Fimela/Bambang E. Ros]
Total ada 15 potongan siap pakai seperti blazer, rok, kemeja, cropped shirt, cropped jacket, dan mantel yang kesemuanya dipadukan dengan busana siap pakai seperti kaus, celana, kemeja, dan rok dengan sentuhan pinwheel khas Wilsen. [Dok/Fimela/Bambang E. Ros]
Seperti potret ini, penampilan formal dan elegan terpancar ketika rok batik high waist dipadukan dengan kemeja putih. [Dok/Fimela/Bambang E. Ros]
Ada juga busana siap pakai berupa dress dengan kerah dan rok ruffle, dipadu dengan outer batik coklat yang memberi kesan manis pada penampilan [Dok/Fimela/Bambang E. Ros]
Dalam koleksi ini, Wilsen juga terinspirasi dari teknik reparasi guci dan keramik khas Jepang, Kintsugi, dimana potongan keramik disatukan kembali dan dieratkan dengan logam mulia. [Dok/Fimela/Bambang E. Ros]
Wilsen pun menerjemahkan lelehan logam mulia pada Kintsugi dalam teknik payet dan bordir keemasan pada potongan batik-batik lawas, menciptakan tekstur baru yang modis, berani, elegan, dan mencuri perhatian. [Dok/Fimela/Bambang E. Ros]
“Tiap sobekan, lubang, ataupun ketidaksempurnaan pada sebuah kain batik itu mengandung banyak cerita. Kain-kain ini telah bermanfaat dan mempercantik pemakainya untuk waktu yang lama, dengan adanya aksen payet dan bordir ini justru menguatkan dan menambah keindahan perjalanan cerita batik lawas tersebut,” tutup Wilsen. [Dok/Fimela/Bambang E. Ros]