Fimela.com, Jakarta Fenomena work from home (WFH) pasca pandemi COVID-19 semakin menguatkan bahwa istilah jompo yang dialamatkan untuk orang yang sudah tua dan lemah fisiknya, juga bisa dialami oleh kaum muda. Beberapa ciri masih muda tapi sudah tua, di antaranya mudah merasa pegal dan nyeri, sakit leher, nyeri pinggang sampai punggung, sering pusing, menempel koyo, sampai pakai minyak angin.
Ternyata semua kebiasaan yang diidentikan dengan orang yang sudah tua tersebut erat kaitannya dengan cervical syndrome atau kumpulan gejala karena gangguan di leher. Penyebab cervical syndrome sendiri adalah perubahan degeneratif atau penuaan yang banyak dialami usia 40 tahun ke atas.
Namun, kenyataannya, kini cervical syndrome banyak diidap usia produktif mulai dari 20-30 tahun. Seperti temuan yang didapati oleh dokter spesialis neurologi dr. Zicky Yombana Sp. S saat WFH kala pandemi.
Sayangnya, banyak orang salah kaprah dan keburu menaruh stigma yang salah pada kasus cervical syndrome. Untuk itu, dr. Zicky dari Neuro Care by Klinik Pintar yang berlokasi di Jl. Wijaya 1 No. 1, Petogogan, Jakarta Selatan pun mengungkapkan fakta tersebut. Apa saja? Yuk intip
What's On Fimela
powered by
1. Cervical Syndrome Vs Kolesterol, Asam Urat, dan Angin
Cervical syndrome adalah kumpulan gejala akibat gangguan di leher. Kumpulan gejalanya meliputi sakit kepala, nyeri belikat, pegal-pegal di tangan yang menjalar, kesemutan, dada tidak nyaman, sampai oleng.
“Tapi di masyarakat dibilangnya kolesterol, karena rasa nyeri, keras, dan kaku pada area belakang leher. Banyak yang bilang juga itu asam urat dan akibat angin. Padahal tidak ada hubungannya sama semua itu,” ujar dr. Zicky menjelaskan.
2. Cervical Syndrome Hanya Menyerang Usia Tua
Penyebab cervical syndrome terjadi karena proses aging. Di mana jika suatu organ dipakai dan dibebani terus-menerus, lama-lama menjadi haus. Namun, dr. Zicky menemukan bahwa kasus gangguan di leher tersebut banyak dialami oleh usia 20-30 tahun, terutama saat WFH.
“Usia 20-30 tahun itu biasanya ada di jajaran staf yang harus standby online dan offline. Nah, kalau WFH yang penting oncam tapi posisi kerja tengkurap atau gelosor enggak ergonomis. Makanya penyebab cervical syndrome ini cuma dua. Posisi duduk dan kebiasaan,” lanjut dr Zicky.
Menurut dr. Zicky, kita tak perlu stretching setiap 30 menit sekali, jika posisi duduk benar. Yaitu pinggang menempel pada bagian belakang tempat duduk atau kursi, jangan ada celah. Sementara itu, hindari postur kerja yang keliru dan jadi kebiasaan seperti bungkuk dan menunduk.
“Jadi menunduk itu bisa membebani leher setara 27 kg. Anak SMA juga banyak yang kena karena hobi main game online, lebih muda lagi, kan usianya dari 20-30 tahun,” sambungannya.
3. Akumulasi Menahun
Selain posisi dan postur duduk serta kebiasaan menunduk lama, ada sederet penyebab cervical syndrome lainnya. Seperti orang yang suka mengkretek leher, membawa tas selempang, pakai bantal tinggi atau bantal keras, pakai high heels, dan orang yang jarang olahraga. Tak perlu menunggu akumulasi menahun untuk terkena cervical syndrome jika kita banyak melakukan kebiasaan di atas.
“Yang disebut akumulatif juga beda-beda tergantung kebiasaan dan kelenturan otot dan olahraganya. Bahkan seminggu bisa kena, karena kebiasaan di tempat kerja banyak nunduk, makan siang dipakai check out belanja online, pakai hak tinggi, tas dicantel bawa perabotan lenong, di rumah tidur pakai bantal tinggi, nah, akan semakin komplit akan semakin cepat mengalami cervical syndrome,” beber dr. Zicky.
4. Masyarakat permisif dengan sakit yang disebut ‘enteng’
Seringnya, kita jadi masyarakat yang terlalu permisif dan ujungnya ‘ngentengin’ penyakit. Apalagi dengan gejala yang awalnya ringan dan biasa dialami sehari-hari.
“Tapi, kalau sakit kepalanya berulang, nyeri belikat berulang, pegal-pegal, dan tangan pegal kesemutan nggak jelas penyebabnya, buru-buru, deh, dicek,” saran dr. Zicky.
Untuk semakin menjangkau dan memudahkan kita memeriksa saraf, kini telah hadir Neuro Care by Klinik Pintar, klinik spesialis saraf yang memiliki 13 dokter spesialis saraf serta peralatan canggih yang lengkap. Seperti alat pemeriksaan fisik yang mendeteksi aliran darah ke otak sampai alat untuk mendeteksi gangguan saraf kejepit.
“Untuk kasus ‘remaja jompo’, ada pemeriksaan EMG atau elektromiografi. Alat ini untuk melihat seberapa jauh gangguannya, apakah di tulang belakangnya kah? Sampai sarafnya, kabelnya, atau ototnya. Setelah itu baru menentukan terapi yang tepat, jadi enggak serabutan, tapi segmented,” paparnya lagi.
5. Pengobatan Berkali-Kali
Setelah mendapatkan hasil diagnosis, mendapatkan jenis terapi yang tepat akan meminimalisir durasi minum obat sampai bolak-balik klinik atau rumah sakit.Pilihan untuk terapi gangguan leher pun beragam. Dari obat-obatan saja, obat dan fisioterapi, memakai penyangga leher sementara, injeksi di area leher jika diperlukan, penyuntikan botoks, sampai Transcranial Magnetik Stimulation atau TMS untuk merangsang saraf.
“Misalnya untuk kasus cervical syndrome mau pakai terapi suntik. Suntik anti inflamasi atau anti peradangan ini berfungsi untuk melemaskan otot. Suntik di sini bukan kayak stigma beranggapan akan bolak-balik, justru berharap selesai dan jangan balik lagi (ke klinik),” jelas dr. Zicky.