Fimela.com, Jakarta Saat ini media sosial tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Pada awalnya, media sosial digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Namun kini bertambah fungsi menjadi media ekspresi atau mencurahkan isi hati.
Curhatannya pun bermacam-macam, mulai dari masalah pertemanan, pekerjaan hingga yang marak terjadi di kalangan artis Tanah Air adalah mengumbar masalah rumah tangga ke media sosial. Sebenarnya boleh nggak sih kita curhat di media sosial?
Psikolog dari RS EMC Sentul, Melvi Rosilawati, menjelaskan, pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan untuk membicarakan kondisi yang dirasakan atau yang disebut dengan curhat.
“Kalau kita analogikan manusia seperti selang air. Jika selangnya mampet dan nggak berusaha untuk dikeluarkan sumbatannya lama-lama bisa putus selangnya dan airnya ke mana-mana. Makanya kita perlu yang namanya curhat,” kata Melvi dalam Fimela Talks di Instagram Live, (2/8/2023).
Pada awalnya, banyak orang curhat melalui temannya atau buku diary. Namun seiring berkembangnya teknologi, banyak orang yang memilih curhat di media sosial. Menurutnya, curhat di media sosial punya sisi baik dan buruk, tergantung dengan tujuan masing-masing individu.
“Tergantung tujuannya. Curhatnya hanya untuk didengarkan saja, atau mencari sudut pandang dari orang lain, membutuhkan validasi, atau hanya ingin populer?,” kata Melvi.
“Kalau dampaknya positif berarti harapannya tercapai. Ketika kita ingin didengarkan ternyata banyak yang baca, banyak yang kasih semangat, merasa nggak sendirian dan akhirnya kita punya confidence,” lanjutnya.
Efek Negatif Curhat di Media Sosial
Menyalurkan Isi kepala dan perasaan memang menjadi jalan yang positif bagi kesehatan jiwa. Akan tetapi, hal ini bisa menjadi boomerang saat reaksi khalayak luas tidak seperti yang diharapkan. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Masalah pribadi yang ada belum terselesaikan, mereka harus siap menghadapi masalah baru yaitu penghakiman publik luas.
“Tapi dampak negatifnya kita tidak bisa memprediksi semua orang merespon sama yang kita harapkan. Akhirnya yang terjadi itu malah jadi boomerang untuk kita. Banyak yang menyerang kita. Kalau seperti itu, kesehatan mental kita akan terganggu. Kita sudah siap belum menghadapi hal seperti ini?,” kata Melvi.
Mengungkapkan masalah personal di media sosial sebenarnya juga tidak akan membuat orang merasa lebih baik pula. Dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior and Social Networking pada Februari 2013, seorang profesor psikologi di Universitas Wisconsin-Green Bay, Ryan Martin mengamati efek pelepasan emosi di situs-situs yang diperuntukkan bagi pengguna internet yang ingin melontarkan unek-unek. Hasilnya, ia menemukan bahwa pelepasan emosi di sana hanya berefek sementara.
Alih-alih emosi mereda, orang yang membaca kembali ekspresi kemarahannya yang diunggah di internet justru cenderung makin marah. Sementara, menurut John Suler, pakar psikologi dari Rider University, keluhan-keluhan yang dilontarkan di dunia online bisa berujung pada emosi negatif di kemudian hari seperti rasa malu dan bersalah.
“Ketika orang mengoceh, itu mengarah pada perasaan malu dan bersalah karena begitu marah dan lepas kendali. Bagi banyak orang, mengomel adalah jalan buntu. Tidak ke mana-mana,” kata John, seperti yang dikutip dari PBS.
Terlebih, apa yang pernah kita bagikan ke media sosial bisa menjadi rekam jejak digital kita selamanya. Apa yang sudah kita hapus di akun media sosial kita belum tentu akan benar-benar hilang, karena kecanggihan teknologi siapapun bisa screenshot dan merekam layar.
Lantas, Adakah Cara Sehat untuk Mengeluarkan Unek-unek?
Banyak tempat untuk mengutarakan emosi dari curhat yang menumpuk. Misalnya berbicara dengan orang terpercaya.
Melvi menyarankan untuk berdiskusi dengan keluarga atau sahabat terdekat dan menyatakan tujuan curhat itu sendiri ‘hanya untuk didengarkan’ atau ‘meminta masukan’.
“Lingkungan kita seperti apa? Kita punya keluarga atau sahabat bisa dipercaya gak? Kayaknya lebih baik ke mereka dulu sih. Mereka yang lebih paham kita. Kalau kita nggak ingin di judgement, bisa diomongin tujuannya curhat apa. Jadi orang nggak langsung merespon dengan penilaiannya juga,” tutur Melvi.
“Kalau mau kasih masukan ke teman kita bisa bilang ‘gimana rasanya? Kalau saya mau kasih masukan dari sudut pandang saya boleh nggak?’ kalau dia bilang ‘hanya ingin didengarkan dan belum butuh masukkan’ itu kan lebih nyaman ya,” sambungnya.
Cara sehat lainnya adalah dengan menulis ungkapan hati melalui buku diary, journalling, atau bantuan profesional sesuai bidangnya. “Misalnya kalau ada masalah keuangan, bisa konsultasi dengan konsultan keuangan,” tandas Melvi.