3 Dampak Psikologi hingga Hubungi yang Bisa Dialami Seseorang dengan Inner Child yang Terluka

Fimela Reporter diperbarui 15 Okt 2024, 14:05 WIB

Fimela.com, Jakarta Ketika seorang secara emosional terluka, diabaikan atau disalahgunakan, hal itu akan membekas selamanya. Sama artinya dengan anak-anak. trauma atau luka tersebut tidak akan pernah sembuh begitu saja. Hal ini disebut sebagai inner child.

Pada fase inner child, jiwa kekanak-kanakan kita biasanya akan keluar mulai dari amarah, kesulitan dalam membuat teman, dan selalu curiga dengan sesama atau singkatnya tidak mudah percaya dengan orang lain. Biasanya pemicu ini terjadi karena ada banyak tekanan, stres, atau kewalahan. 

Namun, munculnya inner child mungkin bisa terjadi karena membutuhkan perhatian dan rasa kepemilikan yang belum pernah mereka rasakan. Dilansir oleh Psychologytoday.com, orang dengan inner child yang terluka bisanya akan secara terus menerus menoleransi perilaku hubungan yang negatif, merusak, bahkan disalahgunakan. 

Nah, Sahabat Fimela berikut adalah tiga dampak dari inner child yang terluka.

 

 

2 dari 4 halaman

Dampak psikologi

(Foto: Unsplash/Annie Spratt)

Dilansir oleh Lumohealth.care, orang yang memiliki inner child yang terluka biasanya akan merasakan perasaan kronik dalam kesepian, ketidakberdayaan dan kesepian. Bahkan orang tersebut akan merasakan kalau sebagian dirinya hanyalah topeng dan hidupnya tidak memiliki semangat atau spontanitas. Selain itu, orang yang mengidap inner child merasa dirinya tidak memiliki koneksi dengan orang lain. 

Masalah kesehatan mental seperti ganguan kecemasan, depresi, kecanduan, gangguan makan, dan C-PTSD juga dapat muncul dan dikaitkan dengan trauma yang pernah terjadi saat masih kecil (inner child). Selain itu kondisi fisik seperti migran, sindrom kelelahan kronis, fibromyalgia juga merupakan salah satu dampak dari inner child.

 

3 dari 4 halaman

Permasalahan dalam hubungan

(Foto: Unsplash/Afif Ramdhasuma)

Ingin memiliki suatu hal memang bukanlah hal yang salah. Namun, jika rasa kepemilikan terhadap suatu hal itu tinggi tidaklah bagus untuk kesehatan mental dan fisik. Orang yang memiliki masalah dalam inner child mereka akan selalu memanipulasi atau mengajarkan sesuatu tindakan entah itu dalam pertemanan atau hubungan.

Contohnya, ketika orang yang mengidap inner child ada dalam hubungan percintaan yang toksik. Meskipun orang-orang sekitar selalu berkata hubungan mereka tidak sehat, orang yang mengalami inner child yang terluka akan selalu mencari alasan dan memanipulasi suatu hal agar terlihat tidak apa-apa.

Hal ini biasanya terjadi karena orang tersebut pernah ditinggalkan oleh orang tercinta mereka saat masih kecil.

Dilansir oleh Psychologytoday.com, orang yang memiliki masalah inner child sering sekali memanipulasi pikiran dan emosi orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. 

Selain itu, mereka cenderung untuk menutupi emosi dan selalu berpura-pura untuk menerima suatu keadaan, meskipun mereka tidak suka dan kesal dengan keadaan tersebut. Dalam beberapa kasus hal ini terjadi karena mereka ingin perhatian dan persetujuan dari orang lain.

 

 

4 dari 4 halaman

Mekanisme menghadapimasalah

(Foto: Unsplash/Annie Spratt)

Dilansir oleh Lumohealth.care, coping mechanism adalah cara yang dilakukan orang untuk mengelola emosi atau kejadian yang menyakitkan. Orang-orang yang mengalami masa kecil yang tidak baik ini biasanya mekanisme dalam menghadapi permasalah dengan mengkonsumsi narkoba, minum minuman beralkohol, atau mengeksult dirinya dari realitas dengan menggunakan media sosial atau game. 

Selain itu, mereka akan terjun kedalam dunia kesibukan demi menghindari perasaan mereka yang selalu mengganggu mereka. Reaksi ini mungkin bisa dikatakan lebih sehat daripada menyakiti diri sendiri atau mencoba hal tidak baik. 

Namun, jika anda dalam situasi ini cara yang terbaik adalah dengan duduk diam dengan aman dan mulailah dengan latihan pernapasan, kesadaran, dan terapi. Yong Kang Chan selaku psikologi spiritual mengatakan, rasa sakit harus kita sadari. itu perlu disadari dan diketahui untuk dilepaskan. menghindari rasa sakit tidak akan membantumu merasa lebih baik.

“Your pain needs to be recognized. It needs to be acknowledged and then released. Avoiding pain is the same as denying it,” ujar Yong Kang Chan.

 

Penulis: Sherly Julia Halim