Fimela.com, Jakarta Gulai Daging Chiang Mai, Nasi Goreng Tuk Tuk, Nasi Ayam Oseng Horapa, sampai Sop Buntut Pattaya jadi menu tetap sekaligus andalan di Warung Pak Chandra. Banyak orang menyebut Warung Pak Chandra sebagai hidden gem, mengingat lokasinya terletak di dalam kompleks ruko Grand Wijaya, melting pot anak hipster Jakarta selatan di masanya yang kini bergeliat kembali.
Melihat menu-menu tersebut, banyak orang kecele, jika Warung Pak Chandra hanya menjual masakan Thailand. Padahal, warung yang punya signage dengan keterangan ‘Goyang Lidah Sejak 2002’ ini juga menjual menu ramesan khas Indonesia.
Fimela berkesempatan ngobrol bareng Chandra, salah seorang founder yang juga koki Warung Pak Chandra. Mulai dari rahasia kelezatan menu makanan sampai cerita di balik berdirinya Warung Pak Chandra setelah 20 tahun dihitung dari Chandra mulai memasuki industri kuliner di Manchester, Inggris pada tahun 2002.
“2002 adalah awal saya bekerja di restoran Thailand di Manchester selama setahun. Meski hanya setahun bekerja, tapi pengalaman dapur pertama sangat memengaruhi hidup saya sampai sekarang,” ujar Chandra membuka ceritanya ditemui di Warung Pak Chandra, beberapa waktu lalu.
Tak hanya memberikan upah layak dan makan malam Thailand gratis, sang pemilik restoran bernama Tum juga menjadi mentor pribadinya. Selain belajar mengolah dan memasak makanan, Tum juga membuka mata Chandra akan kekuatan magis berbagai bumbu dan rempah-rempah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang kini menjadi fondasi dan bahan baku esensial di Warung Pak Chandra.
Membuat Usaha Katering di Belanda dan Indonesia
Chandra pun ketagihan untuk memasak dan kerja di restoran. Menurutnya, banyak faktor kala itu, dari kesenangan sampai kebutuhan. Chandra yang membiayai kuliahnya sendiri, butuh pekerjaan untuk bertahan, dan selalu didapatkan dari dapur ke dapur restoran.
Dari Inggris, ia pindah ke Belanda dan menetap selama sembilan tahun. Ia juga sempat membuat usaha katering masakan Indonesia seperti gulai dan rawon.
“Nah, pas tinggal di Eropa, aku orang yang harus makan nasi. Jadi dari situ terus belajar cara bikin masakan Indonesia. Bisa aja beli bumbu jadi, tapi aku lebih senang meraciknya sendiri, dan basic masak dari resto Thailand kepakai banget dan jadi dasar gaya masakku,” lanjut Chandra.
Chandra pun akhirnya kembali ke Jakarta pada tahun 2012. Saat itu, ia tak langsung masuk dapur lagi, melainkan sempat menjajal posisi copywriter di advertising agency.
Baru pada tahun 2015, ia kembali memasak sebagai head chef di restoran milik Gwen Winarno. Bertahan setahun, ia pun memutuskan untuk membuat usaha katering dengan nama FFONZ & SONS pada tahun 2016.
Katering harian yang disebut semi-premiumnya pun berjalan baik dan lancar dengan market terbesar orang kantoran. Sampai akhirnya, memutuskan untuk menutup sementara saat pandemi.
“Pas pandemi, kantor pada tutup dan orang-orang work from home. Orang-orang parno juga makan di luar dan saingan tiba-tiba banyak dengan jualan makanan pre-order. Strugling dan susah banget saat itu, sampai kami memutuskan untuk menutup sementara dan akhirnya ditawari tempat ini (Warung Pak Chandra),” jelas pria berkumis yang identik dengan apron dan celana pendeknya ini.
Adopsi Makanan Thailand dengan Sentuhan Personal
Fimela sempat mencoba Gulai Daging Chiangmai yang populer. Semangkuk gulai dengan topping daun ketumbar pun disajikan, lalu habis dilapah dalam sekejap.
Pantas saja orang-orang ketagihan dan ingin balik lagi untuk mengulangi sensasinya. Sensasi segar yang rupanya berasal dari kulit jeruk purut dan akar ketumbar.
“Gulai Daging Chiang Mai ini perpaduan kari Thailand dan gulai Indonesia. Kami pakai akar ketumbar yang sangat Thai sekali, karena kalau Indonesia, kan common-nya pakai biji ketumbar. Lalu ada juga kulit jeruk purut sama cabainya kering bukan basah,” rinci Chandra tentang adopsi makanan Thailand yang di-twist dengan sentuhan personalnya.
Akar ketumbar juga jadi rahasia keunikan dan kelezatan Sop Buntut Pattaya sebagai bumbu dasarnya. Atau Nasi Goreng Tuk Tuk, memiliki basis nasi goreng ala Indonesia dengan campuran basil Thailand atau Horapa.
Namun, meski semua masakan kaya rasa dan rempah, hasil akhir di lidah tetap ringan. Jadi, rasanya akan cocok untuk selera semua orang.
“I hope so. Jadi memang ini ciri khas Pak Chandra, tetap light, enggak heavy. Karena bumbu dan rempat itu buat rasa aja, bukan dibuat medok atau berat,” timpalnya lagi.
Impian Dicapai Dalam 20 Tahun
Yang tak kalah menggugah selera adalah menu ramesan khas Warung Pak Chandra yang dibuat berbeda setiap harinya. Namun, jika kamu baru akan mencoba makan untuk pertama kalinya di Warung Pak Chandra, sang kokinya sendiri merekomendasikan menu-menu signature ini.
“Ada sayur daun kunyit, ini kayaknya enggak ada yang jual, deh. Sisanya, kurang lebih makanan harian, aku juga suka riset resep baru dan resep dari Fimela sering banget aku pakai. Aku cepat bosan kalau masak yang sama,” sambung Chandra.
Menariknya lagi, nih, Chandra berkomitmen untuk standby ‘jaga warung’nya, nih. Jadi, Warung Pak Chandra selalu ada Pak Chandranya.
“Aku senang untuk bantu customer jelasin dan pilih menu yang paling tepat, karena punya sebuah tempat adalah dream aku sejak tahun 2002 dan terwujud di tahun 2022,” tutup Chandra.
Chandra pun menemukan dirinya sendiri dengan kembali ke awal di mana semua berawal hingga akhirnya bermuara dengan membuka tempat makan. Di mana semua impian tercapai setelah mengarungi masa 20 tahun kehidupan. Selamat dan Salute!