Lady Boss: Konsistensi Devy Natalia Rintis Bohopanna, Hobi yang Kini Mengubah Hidupnya

Nizar ZulmiSyifa Ismalia diperbarui 09 Jun 2023, 16:16 WIB

Fimela.com, Jakarta Perempuan-perempuan hebat Indonesia di sektor bisnis semakin banyak muncul ke permukaan. Salah satunya Devy Natalia, sosok di balik apparel bayi dan anak yang mulai memiliki peminat di pasar internasional, Bohopanna.

Proses lahirnya Bohopanna sendiri rupanya bermula dari keresahan. Seperti musisi yang mengandalkan kegalauan untuk membuat karya yang menyentuh hati jutaan orang, formula serupa juga terjadi di balik sukses brand yang mulai beroperasi tahun 2017 tersebut.

"Sebenarnya karena susah cari baju anak sih waktu itu, jadi kayak di mana-mana nggak ada gitu yang aku inginkan, yang range harga yang aku inginkan, trus look yang aku inginkan, gitu sih. Sesimple itu. Jadi bisa dibilang, ini kegelisahan pribadi," tutur Devy Natalia, Founder dan CMO Bohopanna dalam sesi wawancara khusus dengan FIMELA di kawasan Jakarta Selatan belum lama ini.

Devy punya keyakinan kuat dalam hal yang ia lakukan. Ia mengingat kembali momen saat merintis bisnis ini pertama kali, di mana ide yang ia miliki harus segera dieksekusi. Devy punya intuisi yang positif dalam menggagas Bohopanna sebagai penyedia basic clothes untuk bayi dan anak.

"Kebanyakan orang pertimbangannya lama, dipikirinnya lama, business proposal 100% udah cantiknya ampun-ampun tapi nggak maju-maju. Kalau aku business proposal baru 10% tapi yakinnya udah 100% lebih gitu, nggak ada ragu. Jadi aku super jarang punya keraguan dalam hidup, termasuk di awal Bohopanna," terangnya.

What's On Fimela
Lady Boss: Devy Natalia (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Keberanian melangkah, mengambil keputusan dan memicu ide-ide segar membuat Bohopanna makin dikenal. Ia dan tim juga konsisten melakukan kreasi dan inovasi menarik, seperti koleksi kolaborasi dengan Wearluca hingga Disney yang cukup mencuri perhatian.

Semua proses itu dilakukan bukan semata-mata karena ingin sukses secara finansial, melainkan karena kecintaan yang tumbuh secara natural dalam dirinya. Devy menganggap Bohopanna seperti playground yang membuatnya bahagia dan ingin terus bertumbuh.

"Menurutku, Bohopanna itu seperti Ikigai, ketika passion kamu menghasilkan uang, tapi itu juga bisa jadi hobi kamu. Di Bohopanna aku mau effort lebih ya karena happy. Ini bener-bener bisnis yang kayak playgroundku sih, Jadi waktu berangkat kerja itu bukan kayak mau berangkat kerja, kayak mau main aja, sama serunya sama meet up, lunch meet up sama temen gitu, bahkan lebih seru ke kantorku," ungkap perempuan kelahiran 9 Desember 1989 tersebut.

Di sesi wawancara eksklusif ini Devy Natalia juga mengungkap suka duka berbisnis, pengalaman seru hingga cara uniknya menjalin chemistry dengan karyawan. Simak kutipan wawancara selengkapnya berikut ini.

2 dari 3 halaman

Percaya pada Kemampuan Diri Kembangkan Bisnis

Lady Boss: Devy Natalia (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Sebelum sukses dengan Bohopanna perjalanan bisnis Anda dimulai dari mana?

Jadi, emang aku tuh nggak pernah kerja kantor, jadi dulu pertama kali lulus kuliah itu iseng-iseng ikut EO, ikut EO tapi yang freelance gitu jadi apa ya, usher, itu sambil bikin scrapbook. Pernah tau nggak scrapbook? Jadi yang kertas, yang pigura yang bikin buat ucapan ulang tahun, kadang orang mau kasih idolanya di Korea itu bikin scrapbook juga buat anniversary, buat mahar nikah, kayak gitu, itu, setelah itu apa lagi ya, furniture. Terus pernah bikin dessert table, dan terakhir bikin Bohopanna.

Dari banyak bisnis yang dijalani, bisa dibilang Bohopanna ini menjadi bisnis fashion pertama Anda ya? Yang menarik dari bisnis ini apa sih?

Kalau Bohopanna ya? Sebenernya karena susah cari baju anak sih waktu itu, jadi kayak di mana-mana nggak ada gitu yang aku, yang aku inginkan, yang range harga yang aku inginkan, trus look yang aku inginkan, gitu sih. Sesimple itu sih. Jadi bisa dibilang kegelisahan pribadi.

Sempat ada keraguan saat memulai bisnis ini? Momen apa yang akhirnya meyakinkan Anda untuk membuat Bohopanna?

Kalau ragu nggak, jadi memang rada beda sama orang-orang yang kalau kebanyakan orang kan pertimbangannya lama, dipikirinnya lama, business proposal 100% udah cantiknya ampun-ampun tapi nggak maju-maju. Kalau aku business proposal baru 10% tapi yakinnya udah 100% lebih gitu, jadi nggak ada nggak ragu. Jadi aku super jarang punya keraguan sih, jadi dalam hidup emang super jarang punya keraguan, cuma begitu aku ragu biasanya aku nggak jadi ngelakuin sesuatu karena ada ragu itu. Tapi kalau untuk di Bohopanna, nggak sama sekali ragu Kalau ragu itu kayak intuisinya kayak berarti ada apa nih, mulai dipikirin kenapa nih, apa sih yang bikin ragu gitu. Jadi kayak sebenernya big picturenya tuh langsung tahu ragu, tapi biasanya aku bakalan dive deeper sih, apa nih yang bikin ragu dan biasanya ketemu, dan ketemu itu pasti itu tuh bukan sesuatu yang bisa dilewatin gitu aja, berarti itu tuh sesuatu yang lumayan penting gitu.

Sesulit apa membentuk identitas Bohopanna sendiri?

Nggak sulit karena udah tahu pasti pengennya kayak apa. Kalau awal dulu kan, sebenernya kita tuh menurutku kita lumayan game changer ya, soalnya waktu itu baju anak yang produk local dan luar berbeda jauh harganya. Contohnya saja model sleep suit lokal itu harganya Rp 45 ribu. Terus kalau yang di mall, itu nggak ada yang Rp 100 ribu itu nggak ada, langsung Rp 300 ribu atau Rp 200 ribu lebih. Dari situ kita lihat, tidak ada harga yang di tengah-tengah, sekalinya pun ada, kita harus PO dari US, Cuma kan harus nunggu 1 bulan dan cari yang terpercaya. Kadang, yang terpercaya saja suka habis barangnya. Jadi, menurutku aku tuh masuk di saat yang tepat dan dengan produk yang tepat dan dengan harga yang tepat. Jadi, waktu itu aku bener-bener tau kalau aku pengen, kalau aku sebagai mamah, aku mau beli agak lumayan nggak mikir kalau harganya Rp 70 ribu. Jadi ya udah aku jual sleep suit Rp 70 ribu gitu.

Untuk desain Bohopanna, apakah Anda terlibat atau terima jadi dari karyawan?

Kalau awal banget ya sekitar baru setengah tahun berdiri, aku bener-bener yang mengerjakan dari gambar sampai pola. Nah, setelah setengah tahun atau 1 tahun berdiri, kita baru punya designer. Tapi, yang desainer ini juga bukan lulusan fashion, jadi desain yang dibuat juga belum tentu langsung jadi baju, biasanya nunggu setengah tahun. Sampai HRD kami nanya ke aku, kebetulan kami punya HRD setelah 2 atau 3 tahun berdiri. Misalnya HRD nanya ke aku “Ci ini Navia, nggak bagus ya ci? Kok nggak, designnya dia nggak ada yang dijadiin baju?”. Terus aku jawab “Oh tenang aja, emang disini kayak gitu, paling 6 bulan baru designnya dia bakalan kepakai”. Kenapa begitu? Karena memang harus mengerti Boho tuh seperti apa sih, jadi wajar lama, apalagi desainer yang awalnya bukan fashion. Even fashion pun juga untuk kayak dapetin DNA-nya Boho emang rada lama, karena kan kita kan lumayan nggak mainstream ya di Indonesia, kayak gitu sih. Terus, cuman makin kesini mereka yang bikin collectionnya, aku cuman approval, tapi ada juga beberapa yang by requestku, kayak gitu.

Strategi pemasaran Bohopanna ini apakah dimulai dari orang terdekat?

Nggak, jadi ini memang antimainstream juga cara jualannya. Jadi, menurutku orang Semarang itu sungkanan, beneran orang Jawa Tengah itu katanya kan sopan, ya beneran memang sopan, tapi saking sopannya kalau ditanya ini kamu mau bikin barang ya baju kan, bagus nggak, mereka bilang bagus, nggak bakalan udah 1 tahun kemudian ditanyain bagus nggak, mereka bakalan tetep bilang bagus. Jadi menurutku nggak bisa jualan sama temen-temen sendiri, orang Semarang, nggak bisa, harus beneran yang obyektif, nggak bisa orangnya yang subyektif, harus dijualnya di Instagram, lewatnya marketplace karena sebelumnya aku juga pernah kerja yang lainnya kan. Jadi, sama marketplace yang warna-warni itu udah ngerti banget lah, jadi orang-orang belum pakai, aku udah pake semua itu marketplace gitu. Jadi, ya dari awal udah pake marketplace jadi kita beneran dapet feedback yang obyektif sih. Jadi, kita untuk improve juga cepat. Jadi, memang nggak jualan ke temen terdekat, keluarga gitu nggak, tapi temen dan keluarga itu dimintain tolong jadi model. Jadi, nggak disuruh beli tapi dimintain tolong jadi model, kayak gitu. Terus kalau misalnya anaknya jadi model kan pasti dia post hahaha, jadi kan ya kan, kita udah nggak bayar model, mereka juga happy juga, dapet foto-foto bagus tanpa sewa studio, tanpa sewa fotografer, free baju-baju juga ya kan.

Lady Boss: Devy Natalia (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Sudah makin dikenal, banyak yang meniru desain Bohopanna?

Banyak banget lah, nggak cuman bajunya yang ditiru. Dari modelnya, venue untuk fotonya, fotografernya. Jadi dulu orang-orang kalau photoshoot kan di Jakarta, kita di Bali, sekarang semua brand photoshootnya di Bali. Nggak cuman itu doang, cara jualannya, discount levelingnya, bikin quiz, bikin giveaway, nanti paling seminggu dua minggu ada yang niru. Yah gapapa sih berarti terbukti kalau itu bagus kan.

Tanggapan Anda saat ide ditiru?

Dulu awal-awal mah sebel, terus kan kita tau lah ya, design itu susah banget. Tapi di satu sisi jangan sampai kita nge-story, ngasih panggung juga ke mereka. Jadi sebel aja, udah di dalam hati aja. Aku juga punya cerita. kita jualan pajamas Rp 95 ribu, di satu sisi ada yang jual Rp 65 ribu. Nah, ada 2 bulan yang penjualan kita lumayan stuck padahal biasanya kan grafiknya naik terus tuh. Setelah itu pas tahu ada competitor yang jual harga produk seperti itu, akhirnya kita lihat, pegang dan bilang “Kayaknya ini dia nggak bakalan lama deh”. Dan beneran, orang-orang stockist-stockist beli, tapi sell outnya nggak bagus ya kan mereka nggak bakalan beli lagi kan, customer juga begitu. Jadi, kita balik lagi, setelah 2 bulan kayaknya customer nggak terlalu satisfied sama kompetitor, ya balik lagi, terus ngopy itu kan selalu dibelakang ya, ya jadi gapapa asal kita punya produk baru terus, ada inovasi terus, kayak gitu-gitu bakal selalu di depan sih.

Sebagai CMO, apa strategi pemasaran yang efektif yang membuat Bohopanna tuh semakin dikenal dan dicintai sama ibu-ibu sih khususnya?

Dari uang yang dikeluarin kayak dapet lebih gitu. Jadi, mungkin ngeluarinnya Rp 70 ribu, tapi kayak dapet produk 200rb gitu, ya pasti kan kamu pasti nggak akan pernah menyesal buat beli lagi, beli lagi, beli lagi, itu sih. Nggak cuman kualitas sih sebenernya, visual juga kan. Jadi sebenernya kalau baju ya kualitas emang ya tapi sebenernya kalau baju itu kan visual banget, tapi nyaman juga sih. Kalau ngomongin bisnis, banyak yang nanyain ke kita mau keluarin yang second brandnya nggak. Kita kayak waduh udah nggak bisa, second brand itu mau dikasih bahan yang kayak apa udah, kalau nggak bisa deh kayaknya kalau nggak cotton 100%, kayak gitu. Jadi, kalau kualitas itu harga mati, terus paling jangan sampai lengah di trend, di trend ya, warna, style, kayak gitu-gitu sih, sama yang penting reliable, jadi jadi brand yang reliable, jadi kayak “Oh besok aku ke Bali nih, ya ampun anakku belum punya (barang-barang anak)”, “Kok nggak punya ya ternyata pajama, udah kekecilan semua,” terus cari deh. Jadi, jam 11 malem aja cari barang itu ada, itu yang penting. Ada toko yang bisa gosend-in atau besok paginya bisa gosend-in, kayak gitu jadi channel distribusinya harus kuat banget.

Bicara soal channel distribusi, kan Bohopanna nggak cuman dijual di Indonesia, ada juga yang diluar Indonesia, apakah Bohopanna ingin go internasional?

Gini sih sebenernya, ya go international iya cuman belum yang scale internasional, bisa dibilang masih super baby. Cuman visinya sih pengennya beneran scale ya, beneran yang dia jadi revenue stream yang besar. Jadi aku pengen nggak cuman asal oh go international, ternyata dari 100% revenue, yang internasional cuman setengah persen. Walaupun mungkin sekarang masih under 5% atau lebih kecil ya, cuman kemdepannya itu pengennya lebih kayak bener-bener nggak mau yang ya tau lah kebanyakan brand bilang udah go international, padahal go internationalnya setengah persen. Jadi, sebenernya kalau sekarang itu kalau kita udah dibilang global ya menurutku masih super jauh lah.

Di Bohopanna sendiri ada juga yang kolaborasi sama Disney, nah itu bisa diceritain nggak sih, itu bisa dibilang go international?

Nggak, aku nggak ngelihat itu as go international sih, si Disney-nya emang kayak internasional apa ya brand kayak gitu, cuman belom sih. Yang menurutku ntar beneran go international kalau misalnya kita punya toko di Jepang, Korea, US, di Europe, dan tokonya itu bukan yang cuman ada toko dan nggak ada orang yang masuk, beneran pengen kasirnya harus super busy. Kebanyakan brand tuh bilang sudah go ingternasional, toko ada di luar cuman pas kita ke sana sepi. Ini kayak cuman branding jatuhnya, kita nggak pengen kayak gitu, kita pengennya kalau misalnya oh aku mau masuk nih di Jepang. Ya harusnya sih nggak cuman buka 1 toko di Jepang, kita harus beneran urusin logistiknya ke Jepang, gimana supaya harus masuk tuh 1 container, berarti dengan masukin 1 container harus paling nggak punya 3 toko nih di Jepang.

3 dari 3 halaman

Perempuan Menjadi Decision Maker

Lady Boss: Devy Natalia (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

 

Apakah Anda setuju jika perempuan lebih melibatkan perasaan dalam mengambil keputusan?

Kebanyakan perempuan iya. Kalau aku agak tidak berperasaan soalnya, hehe. Jadi, sebenernya menurutku kebanyakan perempuan itu kebanyakan main feeling, aku rada nggak perempuan soalnya. Hal itu bisa diliat dari jarang ghiba. Nah, cuman harus 50% feeling 50% logic karena kalau kita logic-logic aja bisa jadi kejam, kalau main feeling runyam, feeling sungkan kayak gitu bisnisnya nggak jalan sih menurutku. Apalagi kita berpartner, kita ketemu sama orang kayak gitu, kalau mainnya feeling terus sungkan mau apa ada sungkan untuk ngomong kayak gitu, aduh bisnis nggak jalan sih. Jadi, menurutku harus harus balance, pakai logic sama feelingnya cuman menurutku kalau misalnya cowo itu kan lebih ngelihat fakta sama logic. Kalau perempuan itu lebih liat big picturenya terus dia juga kayak instingnya lebih tajam dan emang aku lebih ngikutin insting dan sense. Menurutku insting sama feeling beda, aku lebih pake insting dan sense untuk bisnis, gitu. Nggak hanya bisnis, kehidupan pribadi juga seperti itu.

Apa yang bisa Anda sarankan agar bisa jadi decision maker yang baik?

Yang penting harus yakin kita maunya apa, kayak sebenernya leader itu, decision maker kan biasanya leader nih ya, biasanya sih leader itu banyak maunya karena orang udah banyak maunya, untuk decide sesuatu kayaknya nggak susah, menurutku kayak gitu. Dan sebenernya yang penting juga adalah harus fair, jadi waktu decide sesuatu juga harus. Untuk mikirin bisnisnya kayak profit itu harus juga, jadi untuk jadi decision maker yang baik harus jadi leader yang baik. Menurutku ya harus tau banget apa yang kita mau, makanya, biasanya leader itu banyak maunya dan tahu banget apa yang dia mau. Jadi untuk decide sesuatu super gampang

Siapa saja dan sejauh apa peran support system dalam kesuksesan Anda?

Menurutku seorang perempuan, apalagi seorang Mama, kalau support systemnya nggak bagus nggak mungkin bisa kerja. Nggak mungkin bisa kerja, nggak mungkin karena hamil. Maksudnya kita nggak usah kerja aja ya, hamil itu aduh hormon yang bekerja itu aneh-aneh gitu, hormon, kita nggak usah hamil aja 1 bulan sekali ada period time yang bikin kita marah-marah nggak jelas kayak gitu, itu kalau kita cuman di rumah itu aja bikin masalah apalagi kalau kita kerja, makin bikin masalah. Jadi kayak support system penting banget sih apalagi saat merintis bisnis Bohopanna itu bener-bener waktu hamil dan melahirkan, hamil lagi dan melahirkan, ada tengah-tengahnya ASI nih, itu kan ASI itu kan bukan proses yang gampang juga. Maksudnya, hamil itu bukan proses yang gampang dan surprisenya lagi ternyata untuk mama-mama baru, setelah melahirkan itu masalahnya makin banyak gitu. Jadi, kalau support systemnya nggak super bagus nggak mungkin bisa kerja, kayak gitu sih. Jadi, kayak misalnya dikasih kebebasan buat kerja, dibolehin untuk misalnya punya suster, dibolehin untuk misalnya kalau waktu ASI-nya nggak keluar ya udah deh gapapa nggak usah ASI dulu, sufor dulu gapapa misalnya suami ngomong kayak gitu atau misalnya mamahnya kita atau mertuanya kita ngomong gapapa lah sufor dulu aja, itu aja kan sudah support. Even aku waktu ngerintis kerjanya masih di dalam rumah ya, tapi walaupun sama-sama di rumah pun, itu kan yang pegang anak bukan aku, orang lain kan, mbak, suster, mamah, kayak mereka mau buat bantuin kayak gitu aja udah oke banget, apalagi misalnya kalau kitanya butuh untuk pergi, kitanya butuh untuk keluar kota kayak gitu.

 

Value atau prinsip apa sih yang dipegang Anda dalam berbisnis?

Harus sama-sama menguntungkan. Jadi, waktu mau berbisnis, orang biasanya kalau mau berbisnis, mikirinnya untungnya dia sendiri, kalau aku, aku pasti mikirin untungku tapi juga mikirin orang lain tuh untung nggak. Misalnya, kita nih punya banyak stockist, stockist untung nggak? Terus misalnya kita kan punya investor juga, misalnya kadang investor punya kebijakan baru gitu kan, kita juga mikir “Oh aku kalau jadi investor aku juga bakalan gitu kok,” menempatkan diri di posisinya orang. “Oh aku kalau jadi customer aku juga bakalan gitu,” “Oh aku juga kalau jadi stockist aku juga akan ambil keputusan itu,” kayak gitu, itu sih dan dalam bisnis mungkin mikirin itu sih berkesinambungannya. Jadi jangan cuman yang mikirin jangka pendeknya sekarangnya gitu harus mikirin jangka panjangnya sih gitu.

Apa saja tantangan yang dirasakan Anda saat mengelola bisnis?

Sebenarnya yang paling susah karena kita berpartner itu beda pendapat sama partner ya di awal. Lumayan sering berantem tuh, konflik di awal-awal apalagi biasanya kalau, biasanya sih kalau pebisnis tuh lumayan keras kepala, aku juga keras kepala, partnerku menurutku juga lumayan keras kepala juga. Jadi, dan biasanya cewe nggak diomongin, apalagi kalau orang Jawa Tengah itu 5 tahun nggak diomongin beneran nggak diomongin, tapi baik-baik aja, pertemanannya, bisnisnya yang stop, beneran. Nah, cuman kalau kita karena waktu itu kayak aku udah punya anak , kayak kayaknya penghasilannya harus naik, kayak apa-apa mahal gitu kan, kerasa kan setelah punya anak.

Terus modal sih, modalnya juga kayak apa yang aku punya semua dijadiin modal gitu, terus akhirnya kan nggak mungkin dong kita main-main, orang kayak udah dipertaruhkan semua. Jadi, ada masalah apa sama partner walaupun rada nggak enak buat diomongin, tetep diomongin, walaupun kita ada debat, ada beda pendapat, ya kadang sampai nangis. Sebenernya masalah mah banyak, seru tapi masalah itu.

Apa yang paling Anda syukuri sepanjang perjalanan bisnis Bohopanna?

Happy banget waktu orang kayak keinginannya terjawab, maksudnya waktu dulu itu kan kita kalau mau dapet baju yang gemes kan harus PO Korea, PO Cina, PO US, harganya mahal, kalau sekarang kan nggak, harganya murah. Terus harganya kita itu emang bener-bener di middle, jadi bener-bener kalau yang dibawah, kalau yang budgetnya dibawahnya itu ya mungkin beli cuman 1, cuman kalau yang biasanya beli yang di mall dia bisa beli 5. Jadi, sebenernya sama-sama bisa beli barangnya kita tapi yang 1 lebih cuci kering pakai, yang 1 lebih gonta-ganti kayak gitu sih. Ya, itu yang bikin happy jadi denger waktu mamah-mamah bilang kayak gitu sih, gitu.

Sejauh apa Bohopanna mengubah hidup Anda?

Sebenernya kalau mengubah hidup mungkin menurutku aku kalau bisnis yang lain bakalan mengubah hidup juga kalau financial ya, tapi kadang yang dilihat kan bukan dari sisi financialnya aja. Menurutku, Bohopanna itu kayak ikigai, when your passion bisa menghasilkan uang, tapi bisa juga jadi hobinya kamu kayak gitu. Jadi, walaupun aku ini sebelumnya misalnya punya bisnis lainnya. di Boho kayak mau effort lebih ya karena happy. Jadi kayak misalnya lagi jalan-jalan ke mana dan kepikiran eh Boho diginin kayak gitu, itu kayak kayak nggak mau berhenti, maksudnya aku kok pengen, aku di Boho itu untuk waktu yang lama, soalnya ini bener-bener bisnis yang kayak playgroundku sih, Jadi waktu berangkat kerja itu bukan kayak mau berangkat kerja, kayak mau main aja, sama serunya sama meet up, lunch meet up sama temen gitu, bahkan lebih seru ke kantorku.

Lady Boss: Devy Natalia (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Ada kepuasan lain selain mendengar ibu-ibu senang membelikan anak brand Bohopanna?

Itu iya, itu kan dari sisi customer juga ya, berarti dulu aku waktu pertama bikin brand ini kayak cita-citanya, entar kalau ke mana gitu liat anak pake baju Boho dan sekarang kan udah, yang belum kalau misalnya kita ke Eropa nih belum pernah nih liat orang tiba-tiba pake baju Boho, pengen, itu cita-cita selanjutnya, cita-cita 1 lagi adalah mall itu, jadi sekarang kan rada susah nih masuk mall untuk ya nggak sih susah, susah banget ya nggak, cuman awal dulu kan rada susah kan, pengennya tuh nanti tuh mall itu kayak lumayan jadi kita tuh jadi brand yang diinginkan mall gitu.

Pesan Anda untuk para perempuan yang masih berjuang untuk menggapai mimpinya?

Menurutku, perempuan itu kebanyakan planner yang bagus dan kebanyakan tapi mereka hambatan terbesar itu nggak beraninya. Menurutku itu sih. Sebenernya itu dari kita gimana kita dibesarin, sampai sekarang pun aku ngelihat banyak banget anak yang nggak ngapa-ngapain karena banyak dilarang. Sebenernya itu mungkin hal-hal yang bikin kita tumbuh besar dengan nggak pede sih. Jadi ya biasain buat pede aja, terus orang bilang nggak bakalan jalan misalnya gitu, ya nggak usah percaya sama orang kalau kamu udah itung ya orang lain ngitung nggak? Gitu.

Jadi, ya percayanya tuh percaya sama diri sendiri aja nggak usah terlalu percaya sama orang, liat-liat itu sumber itu bisa didengerin atau nggak, kalau nggak mendingan jangan sih kayak gitu.

Bagaimana pendekatan Anda ke karyawan sampai akhirnya Anda bilang kalau ke kantor itu seperti Playground?

Jadi sebenarnya, kita kerja itu kan, ya cuan itu penting, nomor 1 ya kan? Cuman harus mikirin karyawan, jadi aku itu beneran orang yang kalau, tanya deh sama investorku, Ci Devy itu pelit. Tapi kenapa? Karena waktu mereka pertama masuk, aku itu gak mau kasih, kalau menurutku harusnya segini ya segini, tapi emang agak rendah. Aku mau liat dulu kerjanya kamu kayak gimana, kalau oke, soalnya setiap orang yang masuk di tempatku, aku itu pengen punya, semuanya itu punya jenjang karier, ya kan?

Dan sebenarnya, jadi jangan sampai mereka itu salarynya over di awal, terus aku gak happy sama mereka, jadi malah jadi boomerang juga buat kitanya kayak gitu. Jadi aku lebih suka, jadi kan lebih bisa dari bawah naik, daripada udah di atas diturunin kan? Nah pertama kayak gitu. Terus, sebenarnya, banyak banget karyawan yang nangis sama aku. Kalau di compare aku sama Irene, aku itu kan sales and marketing, Irene itu kan produksi, jadi kita sebenarnya punya divisi masing-masing, divisinya juga beda, orang-orang yang di timku itu beda sama orang-orang di timnya Irene, dan biasanya kalau aku habis marah, mereka biasanya nangis tiap hari, hahaha, tapi makin lama makin baik, dan kayaknya makin lama makin sayang sama aku, hahaha, nggak nggak tahu.

Tapi kalau di Irene gak tau kenapa, Irene yang bilang, “Kenapa ya, kalau di tempatku aku marah, resign orang-orang. Kalau di tempatmu kok orang gak resign gitu.” Bingung juga, padahal sama-sama tajam, dan sama-sama bikin nangis gitu. Aku juga gak ngerti kenapa kok bikin nangis, jadi aku pernah nih (memberikan ruang gitu ya, maksudnya) Kenapa? Memberikan ruang apa, hahaha, nggak nggak, nangisnya itu nangis gara-gara sedih lho, bukan gara-gara lega, abis ngobrol sama aku, itu bukan. Karena aku pernah ngomong kayak gini sama pegawaiku yang baru, bilang “Kalau disini kamu salah, yang nanggung salahmu itu aku,” ya pokoknya itu bikin ruginya perusahaan, “tapi kalau di kuliah kamu salah, yang nanggung ruginya itu kamu, bukan dosenmu.” Aku bilang gitu, “Nilaimu yang jelek. Tapi kalau di sini, itu perusahaan yang rugi.” Aku itu bilang kayak gitu, itukan tajam banget ya, haha, ya itu yang bikin nangis yang kayak gitu-gitu tuh, yang bikin mereka jleb jleb. Cuman ternyata aku lumayan bagus mentoring, ternyata. Jadi aku itu, bisa buat untuk orang baru, aku kayak, dibimbing. Setiap orang itu harus punya kemampuan ngajarin temennya. Daripada langsung hire yang professional apalagi talent di Semarang juga susah, kita lebih suka buat, yang ada yang dipromote, kayak gitu. Soalnya bisnis brand fashion dari Semarang itu jarang, kalau garment mungkin banyak ya, tapikan garment beda banget sama brand, super beda. Jadi, memang gak bisa tiba-tiba hire professional gitu, itu sesuatu yang susah kita lakuin di Semarang. Jadi memang harus caranya memang mentoringnya diperkuat.