Kampanye Peduli Paru OK oleh GSK, PDPI, dan Kemenkes Atasi PPOK di Indonesia

Fimela Reporter diperbarui 30 Mei 2023, 11:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Penyakit Paru Obstruktif (PPOK) merupakan penyakit yang biasanya ditemukan pada orang berusia di atas 40 tahun dengan ditandai peradangan dalam jangka panjang seperti batuk berkepanjangan, sesak nafas, produksi dahak yang berlebihan, hingga rasa kelelahan yang membatasi aktivitas sehari-hari dan menyebabkan terjadinya obstruksi aliran udara di paru.

Sampai saat ini, PPOK masih menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia dengan beban ekonomi dan sosial yang substansial dan semakin meningkat. Oleh karena itu, PPOK penting untuk diatasi melalui pengedukasian masyarakat akan risiko PPOK, inovasi dalam mendeteksi dini, dan pengoptimalan tatalaksana PPOK. 

Sejak 29 Mei 2023, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI) dan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PP PDPI) berkomitmen bersama untuk meningkatkan literasi kesehatan masyarakat dan melengkapi kompetensi tenaga kesehatan melalui platform pendidikan kesehatan paru berbasis digital dalam mendukung program prioritas dari Kementrian Kesehatan RI untuk mengatasi PPOK.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Mengatasi PPOK di Indonesia

Mengatasi PPOK di Indonesia. document/GSK.

“PPOK sejatinya dapat dicegah dan diobati, namun saat ini masih menjadi masalah utama pada kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia, karena sebagian besar pasien tidak menyadari gejalanya, belum terdiagnosis dengan tepat, atau mendapatkan pengobatan yang belum optimal. Untuk itu diperlukan deteksi PPOK lebih dini bagi masyarakat serta optimalisasi terapi untuk mencegah eksaserbasi dan rawat inap. Upaya ini dapat dilakukan melalui kegiatan skrining dan diagnosis PPOK secara terintegrasi. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI berkomitmen untuk memperluas akses skrining, dan pembaruan edukasi PPOK bagi nakes dan awam. Saat ini, skrining PPOK sudah menjadi program prioritas Kementerian Kesehatan RI, dimana keterbatasan modalitas spirometri merupakan salah satu kendala skrining dan diagnosis PPOK. Momen berbagi pengalaman ilmiah dari Prof. Paul Jones, MD, Ph.D terutama berhubungan dengan penerapan aplikasi kuesioner CAT, SGRQ, dan CERT dalam praktik klinis sehari-hari dapat menambah pengetahuan para nakes mengenai skrining dan penilaian pasien PPOK. Kami mengapresiasi inisiatif pihak GSK dan PDPI dalam mendukung cita-cita pemerintah memperkuat edukasi kesehatan di masyarakat dan nakes, sehingga penguatan ekosistem kesehatan bisa segera terwujud, salah satunya terkait upaya pencegahan dan pengendalian PPOK di Indonesia” ujar Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH.

Prof. Paul Jones, MD, Ph.D, salah satu ahli kesehatan paru dunia dari Universitas London St. George, Inggris hadir dalam acara ini telah mengembangkan beberapa modalitas penilaian PPOK seperti St. George's Respiratory Questionnaire (SGRQ), COPD Assessment Test (CAT), Exacerbations of Chronic Pulmonary Disease Tool (EXACT), dan COPD Exacerbation Recognition Tools (CERT) yang dapat mendukung ketepatan penilaian awal dan eksaserbasi pasien PPOK. Selain itu, Prof. Paul ini juga berperan aktif dalam banyak studi mengenai PPOK dan selama 10 tahun terakhir ini telah menjadi salah satu anggota komite ilmiah Inisiatif Global untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronis (GOLD).

3 dari 4 halaman

PPOK Indonesia

Ilustrasi PPOK Indonesia. Foto: pixabay/kalhh.

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit pernapasan kronis yang disebabkan oleh paparan jangka panjang zat-zat berbahaya seperti asap rokok, polusi udara, hingga paparan asap dan zat berbahaya di lingkungan sekitar. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi PPOK mencapai 3,7%, sedangkan data dari Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK PDPI Edisi 2016 menyebutkan prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 5,6% atau setara dengan 8,5 juta jiwa. Inisiatif Global untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronis (GOLD) 2023 telah memperkirakan prevalensi PPOK hingga 2060 akan terus meningkat karena dilihat dari peningkatan jumlah orang yang merokok semakin banyak. Selain berdampak pada kesehatan, PPOK juga mempunyai dampak signifikan terhadap ekonomi karena biaya perawatan atau hilangnya produktivitas pasien dalam bekerja. 

“Perburukan PPOK umumnya berkembang secara bertahap dan sering kali tidak terdiagnosis atau tertangani dengan optimal. Untuk mencegah perburukan dan eksaserbasi, serta mencapai hasil pengobatan PPOK sesuai yang diharapkan, diperlukan kesadaran bersama untuk memahami sifat dan perjalanan PPOK, juga untuk mengawali pengobatan PPOK yang tepat lebih dini. Disamping itu, kepatuhan pengobatan pasien ikut mengambil peran penting”.dr. Triya Damayanti, Sp.P(K), Ph.D menambahkan bahwa “Kerjasama platform edukasi berbasis digital EducAIR antara PDPI dan GSK harapannya dapat terus membarui pemahaman PPOK pada dokter umum dan dokter paru. Harapannya, kerjasama lintas stakeholder mampu bersama-sama menciptakan ekosistem penatalaksanaan PPOK yang lebih baik, melalui perluasan akses informasi dan edukasi, pendekatan diagnosis yang lebih tepat, dan pengobatan yang lebih optimal,” ujar Perwakilan Kelompok Kerja Asma dan PPOK, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr. Triya Damayanti, Sp.P(K), Ph.D. 

“Eksaserbasi mempercepat penurunan fungsi paru yang menjadi ciri utama perburukan PPOK, serta mengakibatkan berkurangnya aktivitas fisik, kualitas hidup yang lebih buruk, dan peningkatan risiko kematian pada kasus yang lebih berat. Setiap kali eksaserbasi PPOK terjadi, mungkin meninggalkan kerusakan paru permanen dan ireversibel, sehingga lebih sulit bagi pasien untuk bernapas dan meningkatkan perkembangan gejala yang lebih buruk kedepannya. Ditambah lagi, pasien PPOK umumnya enggan mengunjungi fasilitas kesehatan, sehingga keadaan ini sukar ditangani akibat kondisi pasien yang terlanjur memburuk,” ujar Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, Sp.P (K).

4 dari 4 halaman

Penandatanganan kerja sama PDPI dan GSK

Penandatanganan Kerja Sama PDPI dan GSK. document/GSK.

Penandatanganan Kerja Sama PDPI dan GSK untuk platform EducAIR dan pelaksanaan kampanye Peduli Paru OK bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang PPOK dapat membantu awam memahami risiko dari penyakit tersebut. Penandatanganan ini juga telah disaksikan dan didukung oleh perwakilan Direktorat Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan dan perwakilan dari Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan RI. 

“Data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa saat ini PPOK menjadi penyebab kematian ketiga terbanyak di dunia, dengan jumlah kematian lebih dari 3 juta jiwa, yang tentunya menjadi tantangan bersama untuk semakin memperkuat pelayanan kesehatan dalam mengatasi PPOK. Platform EducAIR adalah platform e-learning atau continuous medical education (CME) berbasis digital yang telah dimulai sejak September 2021 dan ditujukan bagi dokter umum dan dokter paru, untuk melengkapi pemahaman seputar Asma dan PPOK dengan harapan dapat mendukung tatalaksana Asma dan PPOK yang optimal. Program ini merupakan bentuk kemitraan antara GSK dan PDPI,” ujar Country Medical Director GSK Indonesia, dr. Calvin Kwan.

 

*Penulis: Fani Varensia.