Fimela.com, Jakarta Kucing menjadi hewan berkaki empat yang populer di seluruh dunia dan dianggap sebagai hewan peliharaan yang menggemaskan. Sifat dan tingkah lakunya yang lucu membuat membuat siapa saja yang melihatnya merasa gemas. Sebagai hewan peliharaan, mengurus kucing tidak sekadar mengajaknya bermain dan memberi makan, tetapi juga rutin membawanya ke dokter untuk memeriksa kesehatannya, memandikannya, hingga membersihkan kandangnya.
Memelihara kucing memerlukan kasih sayang dan komitmen yang tinggi, siap untuk mengurusnya dengan segenap hati. Walaupun kucing dikenal secara alami bisa membersihkan bulunya dirinya sendiri, bukan berarti kita tidak perlu membersihkan bulu kucing dengan rutin. Ini termasuk vaksinasi, perawatan gigi, dan memberikannya suasana lingkungan yang aman dan nyaman.
Pada dasarnya, kucing menyukai bermain di luar rumah, ini membuatnya menjadi kotor jika terkena debu, tanah, ataupun kotoran. Meskipun mereka bisa membersihkan dirinya sendiri, tidak menutup kemungkinan bakteri-bakteri dari lingkungan masih menempel di bulunya. Ini akan membuat si kucing tidak nyaman, serta juga berpengaruh pada kesehatan pemiliknya. Terkait masalah ini, banyak sekali tersebar di media sosial mitos-mitos mengenai bulu kucing. Banyak yang mempercayai mitos tersebut tanpa memeriksa kebenarannya. Bagi kamu yang memelihara kucing, sebaiknya perhatikan beberapa mitos dan fakta mengenai bulu kucing kepada kesehatan di bawah ini, agar kamu dan anabul bisa hidup dengan nyaman.
Mitos: Bulu kucing banyak menyebabkan serangan alergi
Siapa di sini yang merasa dirinya alergi terhadap bulu kucing? Banyak orang yang mengganggap bahwa dirinya alergi terhadap kucing yang membuatnya gatal-gatal, bersin terus-menerus, atau muncul bintik-bintik merah. Nyatanya, bulu kucing pada dasarnya tidak memiliki dampak bagi kesehatan manusia.
Kotoran dan bakteri yang menempel pada bulu kucinglah yang dapat memicu alergi pada orang yang sensitif. Selain itu, sistem kekebalan tubuh manusia akan sensitif jika terkena air liur kucing yang menempel pada bulu kucing. Ini yang menyebabkan bulu kucing membuat banyak orang alergi. Terkadang, hal ini yang membuat mereka tidak berani untuk memeliharanya.
Mitos: Rumah dengan hewan piaraan menjadi tempat yang berbahaya bagi orang yang alergi bulu kucing
Berhubungan dengan mitos sebelumnya, seseorang yang memiliki alergi pada bulu kucing, mungkin akan takut untuk memasuki rumah yang terdapat kucing peliharaan di dalamnya. Segala upaya ia lakukan agar tidak berdekatan atau berada di satu tempat dengan tempat bulu kucing bersebaran. Walaupun menghindari lingkungan yang terdapat banyak kucing bisa mencegah serangan alergi, tidak menutup kemungkinan ia mendapatkannya dari udara yang dihirup. Faktanya, ke mana pun ia pergi, ini semua tergantung pada tingkat keparahan alergi dan sistem kekebalan tubuh seseorang.
Mitos: Kucing menularkan penyakit asma
Asma, salah satu penyakit yang cukup banyak diderita orang. Keadaan radang kronis yang membuat penderitanya sesak napas karena terjadi penyempitan pada saluran pernapasan. Semua orang bisa terkena asma, tetapi tidak melalui penularan langsung atau kontak dengan penderita asma lainnya. Dikutip dari Petable, reaksi alergi pada orang yang rentan terhadap bulu kucing disebabkan karena protein yang disebut Fel D1 yang terdapat pada urin, air liur, dan bulu kucing. Jika orang yang mengidap asma terkena protein ini, tubuh mereka akan merespons dengan mengeluarkan gejala-gejala seperti sesak napas, gatal-gatal, dan hidung meler. Namun, tidak semua orang yang memiliki respons yang sama terhadap bulu kucing. Beberapa orang masih bisa berhadapan langsung dengan kucing tanpa masalah.
Mitos: Ibu hamil harus berhati-hati dengan kucing
Kucing menjadi inang dari parasit Toxoplasma gondii, yang menyebabkan infeksi Toksoplasmosis. Penyakit ini bisa menyerang siapa saja, termasuk pada ibu hamil. Penyakit menular ini bisa menimbulkan akibat yang serius pada ibu hamil, bisa terjadi encephalus atau tidak memiliki tulang tengkorak, hydocephalus atau pembesaran kepala pada janin, bahkan kematian. Pada dasarnya, penyakit ini tertular dari kotoran yang dikeluarkan kucing, berasal dari kucing yang selalu makan makanan mentah dan terkontaminasi bakteri lingkungan luar.
Tetapi, kucing bukanlah satu-satunya binatang yang menularkan penyakit tersebut. Bahkan, tidak semua kucing memiliki parasit Toxoplasma gondii. Kucing rumahan yang dirawat dengan baik, diberi makanan yang berkualitas, dan rutin dimandikan memiliki risiko kecil terhadap Toksoplasmosis. Terlepas dari itu semua, ibu hamil sebaiknya hindari kontak langsung dengan kandang kucing untuk meminimalisir risiko.
*Penulis: Balqis Dhia.
#Breaking Boundaries