Fimela.com, Jakarta Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia dari agen infeksi tunggal, Mycobacterium Tuberculosis (MTB) dengan peringkat di atas HIV/AIDS. Diperkirakan sekitar 2 miliar manusia atau 25% dari populasi dunia terinfeksi MTB, dan 5-10% orang yang terinfeksi memiliki risiko seumur hidup dari infeksi menjadi penyakit TB.
dr. Endang Lukitosari, MPH dari Kementerian Kesehatan melalui sambutannya dalam acara Recent Strategies in TB-HIV Management mengatakan HIV dan TBC merupakan dua penyakit yang kasusnya masih terbilang tinggi, penguatan program masih kami lakukan hingga akhir 2030. Indonesia terhitung masih penyumbang kedua setelah india dalam kasus ini.
“Jadi, kami melakukan kolaborasi untuk mengatasi pencegahan dan mengurangi potensi penularan,” ujarnya.
dr. Endang menjelaskan, 25% kematian dari Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) disebabkan oleh TBC karena ODHA 30x lebih berisiko untuk sakit TBC dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV.
“Untuk itu, jika ODHA dengan TBC tidak segera diobati dengan cepat, kematian akan lebih cepat. Supaya bisa diobati dengan cepat, maka perlu diagnosa dini,” ujarnya dalam acara yang dilaksanakan pada Sabtu (18/03) secara hybrid di Hotel Gran Melia, Jakarta.
What's On Fimela
powered by
Uji LF-LAM Bagi Penderita TB-HIV
Sejalan dengan pernyataan dr. Endang, President Director Abbott Rapid Diagnostics (ARDx), Indonesia Benny George menyatakan, Tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian ODHA karena bertanggung jawab atas satu dari tiga kasus kematian terkait AIDS.
“Dengan persentase 60%, kemungkinan orang dewasa yang terjangkit HIV-positif akan tertular TB dalam dua tahun pertama setelah diagnosis dan sebanyak 50% kemungkinan anak yang hidup dengan HIV akan tertular TB dalam dua tahun pertama setelah diagnosis,” jelasnya.
Menurut Benny, selain itu, terdapat kasus pada 2020 lalu, beban Tuberkulosis pada ODHA mengalami peningkatan pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade karena Covid-19. Maka, sebagai solusi dari permasalahan tersebut, kami mendukung WHO yang telah membuat pedoman global dengan merekomendasikan diagnosis dini dan pengobatan pasien TB dengan HIV.
“Abbott, sebagai perusahaan peralatan medis dan perawatan kesehatan asal Amerika meluncurkan alat deteksi antigen bernama Uji Lipoarabinomannan Urin Aliran Lateral (LF-LAM) bagi penderita tuberkulosis aktif pada pasien yang terjangkit HIV,” imbuh Benny.
Di Indonesia, Uji LF-LAM bagi ODHA telah diatur dalam PNPK KEMENKES Tahun 2020 sesuai anjuran WHO. World Health Organization (WHO) menyatakan, tes dengan Uji LF-LAM melalui urin ini telah muncul sebagai tes point-of-care yang potensial untuk TB.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Jakarta Raya (PAPDI Jaya) yang diwakili oleh dr. Asep Saepul Rohmat, SpPD, K-GEH, FINASIM juga menyampaikan bahwa sebagai dokter, kita perlu memiliki ketepatan dalam mengidentifikasi pasien, lokasi, penentuan prosedur dan tepat dalam menentukan tindakan operasi untuk pasien.
Sebelumnya, tes Tuberkulosis bagi pasien yang terjangkit HIV bernama Tes GeneXpert, namun, biaya mesin, dan alat pendukung lainnya merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan diagnosis TB dini di banyak rangkaian dengan sumber daya terbatas.
Selain membutuhkan biaya yang tinggi, sistem ini juga membutuhkan sumber listrik berkelanjutan yang andal dan tidak selalu tersedia di daerah pedesaan. Banyak negara berkembang yang menggunakan metode konvensional untuk diagnosa TB yaitu BTA Sputum, namun sistem ini memiliki negatif palsu 50-75%.