Fimela.com, Jakarta Citayam Fashion Week menjadi headline di media massa dan viral di media sosial yang dimulai pada bulan Juli 2022. Siapa sangka, fenomena tersebut dimotori oleh para remaja dari daerah penyangga ibu kota alias pinggiran Jakarta yang menggempur kawasan Dukuh Atas-Sudirman.
Toh bukan hal baru lagi jika warga yang berdomisili di kawasan suburban seperti Citayam, Bojong Gede, Depok, Bekasi, sampai Tangerang ‘menyerbu’ ibu kota terlebih kawasan Dukuh. Sebab, Dukuh Atas menjadi titik temu beberapa moda transportasi yang mengantarkan para pekerja suburban ke area metropolitan Jakarta.
Namun, para remaja pinggiran Jakarta ini menggebrak dan meninggalkan jejak dengan ekpresi diri lewat gaya jalanan atau street style. Mereka pun memiliki catwalk-nya sendiri dengan menggelar fashion show di zebra cross hingga akhirnya tercetus Citayam Fashion Week.
Kekuatan kolektif yang dibangun lewat fashion juga memunculkan akronim baru dari SCBD yang dikenal dengan Sudirman Central Business District menjadi ‘Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Sampai-sampai, disamakan dengan fashion Harajuku dari Jepang yang juga diplesetkan sebagai Haradukuh (Dukuh Atas).
What's On Fimela
powered by
Apakah Hanya Sebatas Ekspresi Fashion?
Fashion Harajuku yang berasal dari budaya remaja Jepang, pada akhirnya diklaim sebagai simbol semangat pemberontakan. Lantas, apakah klaim yang sama juga diusung oleh subkelompok atau komunitas Haraduku a.k.a Citayam Fashion Week?
Bisa jadi, Citayam Fashion Week tak hanya ekspresi diri lewat pakaian namun kerap dikaitkan sebagai bentuk protes para remaja yang menginginkan ruang publik dan ruang eksistensi yang mumpuni, yang tak ditemukan di sekitar rumah tinggal mereka. Selain menyalurkan kebebasan tampil beda, para anak muda juga menganggap budaya perkotaan menjadi rujukan yang pas dalam pembentukkan jati diri.
Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati pada Liputan6,com mengatakan, jika Jakarta menjadi kiblat pencarian identitas diri para remaja seperti yang dicitrakan dalam era digital. Di mana para remaja memiliki kecenderungan meniru hal-hal yang sifatnya metrosentrik, karena diangga sebagai sesuatu yang paling hebat dan benar, ditambah dengan didukungnya kelonggaran masa transisi Covid-19 dan kemudahan akses transportasi menuju Dukuh Atas.
Hingga akhirnya para pentolan Citayam Fashion Week seperti Bonge, Jeje, Roy, Kurma berhasil viral di media sosial dan mendapat ketenaran dalam waktu seketika. Yang membuat remaja pinggiran Jakarta tenar dan merasa memiliki kesempatan mewarnai budaya di ruang digital yang biasa didominasi oleh remaja kota.
Love-Hate Relationship pada Citayam Fashion Week
Aksi Bonge, Jeje, Roy, Kurma dan kawan-kawan pun disoroti oleh berbagai pihak, termasuk para netizen yang menyayangkan citra kawasan elite Sudirman tercoreng dengan kehadiran mereka. Tak jarang komentar netizen ditujukan untuk mencela gaya para remaja ’SCBD’ yang dinilai alay sampai ‘jamet’, istilah untuk menyebut atribut seseorang yang dianggap norak.
Namun, nyatanya aksi Bonge cs menjadi tren yang diikuti banyak pihak, tak terkecuali para figur publik dan kaum elit. Sampai-sampai mendapat komentar dukungan dari orang nomor satu di negeri ini, Presiden Jokowi.
Menurut Jokowi, selama positif, tidak ada masalah dan harus diberi dukungan dan dorongan. Dan yang terpenting, tidak menabrak dan melanggar aturan yang harus dijadikan prinsip.
Terutama dilakukan di ruang publik yang seharusnya tidak memandang kelas sosial, siapapun berhak mengakses kawasan elit Sudirman tanpa merasa terusik. Meski sudah memahami hal tersebut, namun semakin banyak keluhan atas keberadaan para remaja ’SCBD’ yang semakin membludak hingga berakhir dengan pembubaran.
Kritik Tentang Pembubaran Citayam Fashion Week
Serbuan para remaja ‘SCBD’ awalnya berlangsung saat masa liburan sekolah. Namun saat masa liburan usai, kehadiran mereka makin tak terbendung, dan bisa sampai tengah malam memadati kawasan Dukuh Atas Sudirman yang memicu kecemasan publik.
Hingga akhirnya Citayam Fashion Week dibubarkan oleh petugas gabungan dari kepolisian, Dinas Perhubungan, dan Satpol PP pada 27 Juli 2022. Pembubaran dilakukan karena kerumunan massa di kawasan tersebut sudah mengganggu lalu lintas, termasuk zebra cross yang konsisten beralih fungsi dari tempat menyebrang menjadi lalu lalang peragaan busana.
Hal ini disayangkan banyak pihak karena pemerintah yang lalai dan lambat melakukan pembiaran ‘mengasuh’ mereka yang masih berusia anak. Pemerintah disebut tidak mengambil pendekatan saat fenomena Citayam Fashion Week semakin viral.
Banyak yang mengkritik jika pembubaran dan kehadiran Satpol PP seolah-olah sedang menertibkan gelandangan, pengemis, sampai pedagang kaki lima. Karena ABG ’SCBD’ dilihat sebagai remaja marginal yang menimbulkan keresahan, di balik pencarian eksistensi, jati diri, dan bentuk protes menginginkan ruang publik yang apik di daerah tempat tinggalnya. Rekam jejak ABG 'SCBD' sudah mencetak sejarah dan fenomena Citayam Fashion Week.