Fimela.com, Jakarta Sudah hampir tiga tahun Covid-19 menyebar di dunia, melihat itu Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berharap bahwa Covid-19 tidak lagi menjadi darurat kesehatan global untuk tahun mendatang. Dilansir dari liputan6.com dalam konferensi pers yang diadakan di Jenewa, Direktur Jenderal WHO Tedro Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa Komite Darurat Covid-19 WHO akan membahas kriteria untuk menyatakan berakhirnya darurat Covid-19 bulan depan.
"Kami berharap pada suatu saat tahun depan, kami dapat mengatakan bahwa COVID-19 tidak lagi menjadi darurat kesehatan global," kata Tedro Adhanom Ghebreyesus dikutip dari liputan6.com.
Tak hanya itu, ia juga menambahkan bahwa bagaimanapun virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab kehadirkan pandemi Covid-19 tidak akan hilang. Oleh karena itu, ia meminta semua negara belajar mengelola bersama penyakit pernapasan lainnya, termasuk influenza dan Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang saat ini telah beredar di beberapa negara.
Direktur Eksekutif Program Darurat Kesehatan WHO, Mike Ryan mengungkapkan bahwa sampai saat ini dunia masih belum tahu bagaimana virus SARS-CoV-2 akan berkembang di masa depan, sehingga masyarakat perlu waspada untuk risiko yang akan datang.
Masalah Panic Buying yang Dihadapi
Pemerintah China telah longgarkan kebijakan, setelah turunnya kasus Covid-19 di negara tersebut. Namun, masalah baru justru muncul karena banyak masyarakatnya yang menimbun bahan makanan dan obat-obatan.
Adapun, obat-obatan banyak dibeli oleh masyarakat adalah ibuprofen, obat flu, dan alat uji Covid-19 yang hingga saat ini persediaannya masih kurang. Tak hanya itu, untuk pengobatan rumahan sekarang sebagian besar sudah tidak tersedia secara online, termasuk lemon dan buah persik kalengan yang kaya vitamin C, dan air elektrolisis.
Menimbun obat dan makanan menjadi masalah global yang umum terjadi, terutama saat dilonggarkannya lockdown yang membuat banyak masyarakat berlomba-lomba untuk membeli stok makanan dan obat-obatan untuk berjaga-jaga.
Sama seperti negara lain, kurangnya ketersediaan bahan makanan baik offline maupun online merupakan kejadian yang sering terjadi terlebih saat pemerintah menyarankan masyarakat untuk tetap tinggal di rumah.
Namun, setelah aturan tersebut dilonggarkan, hingga masyarakat diminta untuk isolasi mandiri di rumah membuat banyak masyarakat menjadi panic buying terhadap obat-obatan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi gelombang pandemi yang mungkin akan terjadi.
Tak hanya itu, pemerintah juga didesak untuk meningkatkan perawatan medis terutama di unit ICU dengan membuka klinik demam, sebagai antisipasi untuk menghadapi gelombang pandemi yang dapat terjadi di kemudian hari. Di China sendiri, beredar video yang menunjukkan bahwa rumah sakit dan klinik penuh sehingga masyarakat mau tidak mau menggunakan infus dari mobil untuk mendapatkan perawatan.
Meningkatnya Kebutuhan Medis
Melansir dari liputan6.com China Dialy melaporkan bahwa telah terjadi peningkatan permintaan terhadap obat-obatan seperti pereda nyeri, vitamin, dan obat flu. Selain itu, beredar juga gerai apotek yang menunjukkan stok obat-obatan telah kosong. Banyak juga media yang memberitakan perusahaan farmasi bekerja keras untuk memenuhi stok obat-obatan yang mengalami lonjakan permintaan.
Salah satu kota yang mengalami lonjakan kasus Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir adalah Guangzhou, melihat itu surat kabar terkemuka di China mencatat bahwa masyarakat telah mengalami panic buying terhadap kebutuhan medis, sehingga pemerintah meminta masyarakat untuk membeli obat-obatan sesuai kebutuhan.
"Tidak perlu menimbunnya dalam jumlah besar," ungkap perwakilan Pemerintah Kota Guangzhou.
Dari laporan surat kabar Global Times juga mengamati bahwa omzet alat untu mendeteksi Covid-19 telah meningkat lebih dari 300 persen, sejalan dengan kebijakan baru dari pemerintah China yang melonggarkan aturan mengenai Covid-19. Banyak masyarakat yang berlomba-lomba untuk membeli alat pendeteksi Covid-10, sehingga stoknya pun kosong dibeberapa toko online dan offline.
Penulis: Angela Marici
#Women for Women