Eksistensi kain tenun dikenal sejak masa kerajaan tradisional. Salah satunya terlihat pada relief Candi Borobudur, yang menggambarkan seorang penenun dengan alat tenun gendong. Kain tenun juga terdapat di Pulau Sumba. Foto: Document/Edward Hutabarat.
Kain tenun ikat Sumba adalah bentuk kekayaan budaya Provinsi NTT. Tenun ikat ini merupakan kain Nusantara yang eksotis yang diciptakan oleh para seniman tenun dari Sumba Timur. Foto: Document/Edward Hutabarat.
Kain tenun ikat Sumba tidak bisa dikerjakan sembarangan. Edward Hutabarat menghadirkan fashion show di pelataran Candi Borobudur, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang aktif mengkampanyekan "Tenun Nusantara: Menjaga Tradisi untuk Bumi Lestari." Foto: Document/Edward Hutabarat.
Ratusan hasil karya dan koleksi ini juga hasil kerja sama dengan para seniman lokal. Edward Hutabarat sangat terinspirasi oleh para seniman lokal, sejak ia melakukan perjalanan ke tanah Sumba, sekitar 20 tahun lalu. Foto: Document/Edward Hutabarat.
Kain tenun Sumba diciptakan untuk melengkapi seremoni, Edward Hutabarat juga menghadirkan Rumah Sumba. Di sini, dihadirkan serangkaian proses panjang yang tidak mudah dari kesabaran penenun lokal dalam membuat kain tenun. Foto: Document/Edward Hutabarat.
Kabakil sendiri adalah teknik akhir dalam menyelesaikan sehelai kain Sumba. Kabakil dikerjakan dengan arah tenunan berlawanan dan dipelintir. Proses ini berfungsi melindungi benang-benang agar tidak terlepas dari kain dan hasilnya rapi. Foto: Document/Edward Hutabarat.
Kabakil menjadi nilai istimewa dari kain tenun Sumba karena tidak semua penenun bisa membuatnya. Foto: Document/Edward Hutabarat.
Kabakil diangkat menjadi judul dari fashion show Edward Hutabarat kali ini. Tujuannya adalah menyuarakan perlindungan eksistensi kain Nusantara, agar keindahannya tidak lepas dari identitas budaya bangsa. Foto: Document/Edward Hutabarat.
Setiap tahunnya, Edward Hutabarat berusaha konsisten menghadirkan karya-karya bernapaskan kebudayaan. Foto: Document/Edward Hutabarat.