Fimela.com, Jakarta Malang-melintang di industri fashion sejak tahun 2009 menempa duo co-founder Needle Works Studios Ricky dan Maul. Dua sahabat asal Semarang tersebut, memiliki kesamaan visi dan misi punya manufaktur sendiri, yang akhirnya terealisasi lewat jenama baru yang didirikan dengan personel baru pula bernama Maya di tahun 2016.
Sebelum menjadi brand seperti sekarang, Needle Works Studios mengawali perjalanannya dengan menawarkan reparasi celana pada tahun 2016. Mereka memberikan tampilan baru dan memperpanjang umur celana jeans dengan gaya tambal sulam boro atau Japanese boro.
Tak disangka, orang-orang menyukai estetika gaya boro dengan patchwork dan jahitan sashiko yang ditawarkan Needle Works Studios. Di balik filosofi boro atau boromoro yang berarti kain dalam bahasa Jepang yang dipakai berulang kali untuk menambal dan memperbaiki kain, ada peluang yang bisa diambil dan dikembangkan untuk menjadi produk fashion kekinian.
Baca :
Maskawin Kaesang Pangarep untuk Erina Gudono
“Saat itu sashiko sedang jadi tren yang dibahas di forum Darahku Biru, dan dari situkami ambil peluang jasa untuk remake dan repair celana bolong. Dari awal mendirikan kiblat kami memang ke Jepang, sampai akhirnya Japanese boro menjadi DNA Needle Works Studio,” ujar Ricky saat ngobrol dengan Fimela usai memberikan workshop di booth Levi’s di Wall of Fades, akhir pekan lalu.
What's On Fimela
powered by
Dari Jasa jadi Merek
Ricky Cs pun mengembangkan pattern sashiko yang tak hanya menjadi aksen dekoratif, melainkan memolesnya menjadi sebuah fabric atau material baru. Berbagai elemen baru ditambahkan untuk membuat bentuk baru dengan pendekatan eksperimental.
Terutama saat akhirnya Needle Works Studios menjadi sebuah merek dan merilis koleksi ready-to-wear pada tahun 2018. Mereka pun mematenkan kekhasan lain pada produknya dengan menggunakan chain stitch embroidery machine yang menambah ciri keunikan dan kerumitan tersendiri.
“Setelah bermain dengan patchwork dan sashiko, kami menambahkan elemen dari chain stitch embroidery machine dari tahun 40an. Jadi mengombinasikan hand stitching dan mesin yang menjadikan kami sebagai brand artisan,” lanjut Ricky.
Salah satu hasilnya bisa terlihat dalam produk tas yang diberi nama ‘Hobo’. Dengan metode pembuatan by order, menjadikan produk Needle Works Studio sebagai 1 of 1.
“Satu produk dengan lainnya enggak bakalan sama, jadi 1 of 1 dan itu yang bakalan dicari sama customer. Selain itu, kami memfasilitasi personalisasi juga, misalnya mau strap-nya kulit, based sampai lining pakai kain warna apa, semua bisa,” jelas Ricky lagi.
Ada Harga Ada Kualitas
Untuk mendapatkan tas tersebut, kita harus merogoh kocek mulai dari Rp1 juta sampai Rp5,5 juta. Tergantung ukuran dan tingkat kesulitan.
Namun, harga bukan masalah bagi loyalis Needle of Works yang sudah kadung jatuh hati dengan karya trio Ricky, Maul, dan Maya ini. Terbukti saat mereka membuat masker seharga Rp500 ribuan yang juga ludes dalam sekejap.
Ya, di masa awal pandemi, Needle Works Studios juga tak ketinggalan berjualan masker yang berfungsi ganda sebagai aksesori. Selama dua tahun, mereka berjualan masker dan menuai cuan, dengan tetap menyediakan masker seharga Rp100 ribuan dari fabric bermotif bandana yang juga menjadi signature Needle of Works.
“Kenapa enggak takut matok harga mahal? Awalnya along the way, kami tes pasar jual masker Rp500 ribu, lalu tas seharga sejutaan dan berangsung naik harganya dengan penambahan elemen dan kualitasnya,” imbuh Ricky.