Fimela.com, Jakarta Myopia atau mata minus merupakan kelainan refraksi yang membuat penderitanya kesulitan melihat objek di jarak jauh. Saat ini jumlah penderita myopia semakin meningkat, bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi bahwa pada tahun 2050 populasi dunia akan menderita myopia.
Hal ini tentu sangat mempengaruhi aktivitas keseharian dan proses belajar penderitanya. Terlebih terdapat beberapa penelitian di luar negeri yang membuktikan bahwa pasca pandemi Covid-19 angka penderita myopia semakin meningkat.
Peningkatan ini diduga terjadi akibat pembatasan aktivitas luar ruangan selama pandemi, serta meningkatnya aktivitas jarak dekat seperti penggunaan handphone, komputer, dan laptop yang berlebihan.
Myopia yang diderita anak sejak usia dini, memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan myopia yang terjadi pada usia anak yang lebih lanjut. Myopia terjadi ketika bayangan jatuh di depan retina mata. Hal ini terjadi akibat kekuatan optik (optical power) tidak sesuai dengan panjang axial bola mata.
Kesulitan untuk melihat objek dengan jarak yang jauh menjadi gejala utama dari myopia. Bagi anak-anak usia sekolah, kesulitan melihat papan tulis menjadi salah satu cirinya. Selain itu, gejala myopia pada anak juga bisa diperhatikan jika seorang anak kerap mengalami sakit kepala, kelelahan mata, menyipitkan mata, atau bahkan memiliki postur kepala yang tidak normal.
What's On Fimela
powered by
Faktor Penyebab Myopia
Menurut penelitian terdapat dua faktor utama penyebab myopia, yakni faktor genetika dan faktor kebiasaan. Saat ini banyak sekali penelitian terkait gen yang diduga sebagai penyebab myopia yang dilakukan di berbagai pusat penelitian di dunia termasuk di Singapura.
- Faktor Genetika
Penelitian mengenai gen terkait myopia masih terus dikembangkan, dengan harapan suatu hari dapat menjadi salah satu pilihan terapi pencegahan dan pengobatan mata dengan myopia. Dikatakan bahwa anak yang memiliki orang tua dengan myopia memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita myopia. Namun hal tersebut dipengaruhi oleh faktor gizi, lingkungan, kebiasaan, dan faktor eksternal lainnya.
- Faktor Kebiasaan
Faktor kedua yang menyebabkan myopia adalah faktor lingkungan dan kebiasaan anak. Berbagai penelitian terbaru telah membuktikan bahwa kurangnya aktivitas di luar ruangan, membaca buku atau menggunakan perangkat elektronik secara menerus dan kurangnya kadar vitamin D dalam tubuh dapat membuat seseorang beresiko lebih tinggi mengalami myopia.
Mata myopia dengan ukuran rabun jauh yang tinggi memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya katarak dini, glaukoma, kelainan retina seperti retinal detachment dan kelainan makula yang dapat menjadi penyebab kebutaan dikemudian hari. Oleh karena itu, para ahli di seluruh dunia berusaha untuk mencari metode pengendalian myopia (myopia control) untuk dapat mencegah dan menahan laju pertumbuhan myopia.
Myopia Control
Sejauh ini, penelitian membuktikan bahwa terdapat tiga metode yang dapat dijadikan pilihan untuk upaya mengendalikan myopia khususnya pada anak. Adapun pilihan tersebut adalah pemberian obat atropine dosis rendah, lensa kacamata khusus myopia control, dan lensa kontak khusus myopia control.
Secara umum, keberhasilan myopia control dipengaruhi oleh faktor usia, durasi perawatan, dan kepatuhan (compliance) terhadap terapi. Oleh karena itu, pemilihan terapi untuk anak disesuaikan dengan kondisi mata anak, usia, laju pertumbuhan myopianya, dan tetap mempertimbangkan faktor kebiasaan anak, hobi, cara belajar, dan kegemarannya.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah mata myopia pada anak yakni, periksakan mata anak secara rutin, perbanyak aktivitas diluar ruangan, batasi penglihatan jarak dekat seperti penggunaan gawai dan membaca buku, dan konsumsi makanan bergizi.
Serta lakukan pembatasan penglihatan jarak dekat dengan menerapkan rumus 20:20:20, yakni:
- Istirahatkan mata selama 20 detik
- Setelah melihat jarak dekat selama 20 menit
- Dengan melihat objek pada jarak 20 kaki (6 meter)
Jika Sahabat Fimela merasa anak menderita myopia, segera periksakan mata anak ke dokter atau ahlinya untuk mendapat terapi dan perawatan terbaik sesuai kebutuhannya.
Penulis: Angela Marici
#Women for Women