Review Buku When Breath Becomes Air

Endah Wijayanti diperbarui 20 Nov 2022, 07:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Dalam hidup, kadang kita dihadapkan pada realitas yang sangat jauh dari harapan dan keinginan. Bahkan setelah memperjuangkan sesuatu dengan sekuat mungkin, tak ada jaminan masa depan yang hadir akan sepadan dengan perjuangan yang sudah dilakukan. Walaupun begitu, kehidupan yang ada tetap perlu dijalani dengan sebaik-baiknya. Terlebih ketika kematian sudah menunjukkan kehadirannya dalam waktu dekat.

Paul Kalanithi, hidupnya berubah 180 derajat saat dirinya didiagnosis mengalami kanker paru-paru stadium IV. Diagnosis itu mengubah hidupnya dengan cukup drastis dari yang sebelumnya sebagai dokter kini sebagai pasien. Sebagai seorang dokter, sudah menjadi kesehariannya merawat dan menyembuhkan pasien. Ketika dirinya kini menjadi pasien, ada banyak perubahan yang cukup membuatnya kewalahan. Terlebih dirinya sudah menempuh pendidikan dan berjuang sekuat tenaga untuk ahli bedah saraf terbaik.

 

 

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Buku When Breath Becomes Air

When Breath Becomes Air./Copyright Endah

Judul: Buku When Breath Becomes Air

Penulis: Paul Kalanithi

Penerbit: Random House

At the age of thirty-six, on the verge of completing a decade's worth of training as a neurosurgeon, Paul Kalanithi was diagnosed with stage IV lung cancer. One day he was a doctor treating the dying, and the next he was a patient struggling to live. And just like that, the future he and his wife had imagined evaporated.

When Breath Becomes Air is an unforgettable, life-affirming reflection on the challenge of facing death and on the relationship between doctor and patient, from a brilliant writer who became both.

***

"What makes life meaningful enough to go on living?" (pg. 71)

"Maybe, in the absence of any certainty, we should just assume that we are going to live a long time." (pg. 162)

Mengetahui harapan hidup yang tidak banyak, Paul tetap berjuang mengisi waktu dan kesehariannya dengan sebaik. Berbagai macam pengobatan ia jalani. Dia rutin menjalani pemeriksaan dan melakukan semua upaya terbaik untuk bisa memiliki sedikit waktu lebih banyak mengerjakan hal-hal yang sudah lama menjadi impiannya.

Kanker menjadi penyakit yang jelas menjadi momok tersendiri bagi banyak orang. Tak terkecuali bagi Paul, yang tadinya dia sudah yakin akan memiliki masa depan yang indah dan menjanjikan, kini harus lebih kuat menghadapi realitas yang tak bisa ia tolak.

Di tengah perjuangannya saat mengidap kanker, Paul masih berusaha untuk menjalankan tugasnya sebagai dokter. Masih melakukan operasi untuk pasien dan berusaha menyelesaikan residensinya. Selain itu, dia juga berusaha untuk menjadi suami dan ayah yang baik untuk putrinya. Putri tunggalnya lahir di tengah perjuangannya melawan kanker. Walau pada akhirnya, Paul harus pergi untuk selamanya, tetapi perjuangan hidupnya dan kasih sayangnya yang luar biasa untuk keluarganya sangat luar biasa.

Melalui rasa cintanya terhadap sastra, filosofi, dan sains, Paul menuangkan kepingan-kepingan pengalaman dan perjalanan hidupnya yang diimbangi dengan caranya memaknai kematian. Di satu sisi, dia bisa mengkalkulasi harapan hidupnya dari pengetahuan dan kemampuannya sebagai dokter. Namun, di satu sisi, dia menyadari ada hal-hal yang berada di luar jangkauannya. Kehidupannya mungkin tragis, tapi perjuangannya mengisi hari-hari terbaiknya bukanlah sebuah tragedi.

Membaca When Breath Becomes Air kembali mengingatkan kita betapa hidup tetap layak diperjuangkan dengan sebaik-baiknya. Tak ada yang sia-sia dari semua yang sudah kita perjuangkan dengan sebaik mungkin. Melalui kisah Paul, kita akan diajak menyelami perjalanan hidupnya serta semangatnya untuk melakukan semua yang terbaik dalam hidup.

#WomenforWomen