Fimela.com, Jakarta Munculnya COVID-19 subvarian XBB di Indonesia menimbulkan keresahan di masyarakat. Pasalnya, virus ini diketahui menjadi ancaman bagi masyarakat kelompok lanjut usia (lansia) dan orang dengan komorbid. Ketua Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Erlina Burhan mengatakan bahwa kelompok lansia memiliki risiko tinggi terpapar COVID-19 termasuk subvariant XBB.
"Orang-orang lansia, itu yang berisiko tinggi. Risiko mereka dirawat kalau terinfeksi itu besar bahkan ada risiko meninggal juga," ujar Erlina mengutip dari Liputan6.com.
Selain lansia, orang-orang dengan komorbid atau penyakit penyerta juga masuk ke dalam golongan yang rentan. Erlina mengatakan bahwa kelompok usia muda juga bisa terinfeksi subvarian XBB. Seperti di Singapura contohnya, banyak kelompok usia muda dari 20 hingga 39 tahun yang dilaporkan terinfeksi subvarian ini. Meski begitu, kelompok usia muda yang terserang XBB tidak memerlukan perawatan.
"Di Singapura, XBB banyak menyerang kelompok usia muda 20 hingga 39 tahun. Namun, yang dirawat adalah orang-orang dari kelompok usia di atas 70 tahun atau lanjut usia. Jadi yang muda-muda walaupun banyak terserang dengan XBB, tapi mereka lebih aman dan tidak perlu perawatan. Yang dirawat adalah yang di atas 70 tahun karena mungkin memang imunitasnya turun atau juga banyak komorbid," ujar Erlina.
Kasus COVID-19 subvarian XBB secara umum tergolong ringan, namun jika menyerang lansia maka perawatan di rumah sakit sangat diperlukan. Gejala XBB juga tergolong ringan pada orang yang memiliki stamina baik dan penanganannya cukup hanya dengan mengonsumsi vitamin dan obat pereda gejala serta isolasi mandiri.
What's On Fimela
powered by
Penanganan Gejala Ringan XBB pada Lansia
Jika gejala ringan COVID-19 subvarian XBB muncul pada lansia, maka penanganan seperti yang disebutkan di atas tidaklah cukup. Terutama jika gejala muncul pada orang yang memiliki komorbid dan belum divaksinasi.
"Orang tua, apalagi ada komorbid, apalagi belum divaksinasi, walaupun ringan sebaiknya dirawat kalau menurut saya. Jangan isolasi mandiri di rumah, tapi bawalah ke rumah sakit untuk dirawat. Kalaupun staminanya masih bagus, kalau bergejala sebaiknya minum obat antivirus," kata Erlina mengutip dari Liputan6.com.
Erlina juga berpesan kepada masyarakat untuk tetap menjaga protokol kesehatan jika beraktivitas di luar dan segera periksakan diri jika merasakan gejala agar status penyakit bisa diketahui dan bisa menentukan sikap untuk saling melindungi. Masyarakat dengan komorbid juga disarankan untuk berhati-hati bila berinteraksi dengan orang di keramaian, segera lakukan vaksinasi booster, dan selalu terapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Melansir dari Liputan6.com, berikut merupakan rekomendasi IDI kepada pemerintah dan tenaga kesehatan:
- Antisipasi tendensi kenaikan kasus, terutama menjelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).
- Meningkatkan cakupan vaksinasi booster.
- Memperbaiki distribusi atau logistik untuk obat dan vaksin.
- Menggalakkan program PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat).
Sedangkan untuk nakes, rekomendasinya adalah:
- Lakukan edukasi yang terus menerus tentang pencegahan COVID-19.
- Menjaga Kesehatan pribadi agar tidak terinfeksi COVID-19 agar tetap bisa memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana biasanya.
Subvarian XBB dan Gejalanya
Mengutip dari Liputan6.com, XBB adalah rekombinan subturunan Omicron BA.2.10.1 dan BA.2.75 dengan mutase S1 dan 14 mutase tambahan di protein spike BA.2. Bukti laboratorium menunjukkan XBB adalah varian dengan kemampuan tertinggi untuk mneghindari antibodi hingga saat ini. Omicron subvarian XBB pertama kali ditemukan di India pada Agustus 2022. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), XBB sudah dilaporkan ada di 26 negara seperti Australia, Bangladesh, Denmark, India, Jepang, dan US sejak 17 Oktober 2022.
Menurut observasi dari negara yang sudah mendeteksi XBB, penularan XBB dianggap sama dengan varian lain yang ada. XBB merupakan subvarian yang predominan di Singapura karena mengalami peningkatan kasus hingga 54 persen pada minggu kedua Oktober 2022 dari yang sebelumnya hanya 22 persen kasus.
Erlina mengatakan gejala subvarian XBB cenderung mirip dengan gejala COVID-19 varian Omicron secara umum. Gejalanya seperti demam, batuk, lemas, sesak, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, pilek, mual, muntah, dan diare. Sejauh ini, masih belum ada laporan resmi terkait XBB menyebabkan COVID dengan gejala yang lebih berat.
Meski munculnya XBB nyaris bersamaan dengan lonjakan kasus baru COVID-19 di Indonesia, tapi subvarian ini tidak bisa disebut sebagai penyebabnya karena kasus yang dilaporkan masih sedikit yakni di bawah 20 kasus. Namun, Erlina juga menambahkan bawah data di Indonesia masih menunjukkan bahwa varian BA.5 merupakan varian COVID-19 yang masih dominan di Indonesia.
Penulis: Frida Anggi Pratasya
#Women for Women