Memahami Toxic Masculinity yang Melarang Pria untuk Ekspresikan Emosi hingga Identik dengan Kekerasan

Vinsensia Dianawanti diperbarui 11 Okt 2022, 12:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Dalam budaya patriarki, pria selalu menjadi pusat dari segalanya. Sehingga kerap dituntut untuk menjadi seseorang yang tangguh dan kuat. Dalam sejumlah konteks budaya, laki-laki bahkan dilarang untuk mengekspresikan emosinya dan hanya ada kekerasan di dalam dirinya.

Selama beberapa dekade, perilaku ini disebut dengan istilah Macho untuk menggambarkan jenis maskulinitas pada tingkat tertentu pada pria, mengutip dari New York Times

Namun kini berkembang menjadi istilah Toxic Masculinity yang mengacu pada sebuah ekspresi yang membentuk laki-laki untuk tampil maskulin dengan standar tertentu. Para peneliti menunjukkan beberapa definisi dari Toxic Masculinity itu sendiri. Seperti menekan emosi, mempertahankan penampilan kekerasan, dan kekerasan sebagai indikator kekuasaan.

Dengan kata lain, toxic masculinity adalah apa yang bisa terjadi dengan mengajari anak laki-laki bahwa mereka tidak bisa mengekspresikan emosi secara terbuka. Mereka harus tangguh dan kuat sepanjang waktu atau mereka akan dianggap lemah.

 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Identik dengan kekerasan

ilustrasi pria maskulin/photo created by drobotdean - www.freepik.com

Dikutip dari The Atlantis, Toxic Masculinity ini menjadi penjelasan umum dari tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki dna seksisme. Sifat toxic yang ada di dalamnya menjauhkan definisi maskulin dari makna yang sebenarnya. Cenderung melebih-lebihkan standar dari maskulinitas itu sendiri.

Dalam pedoman yang dirilis American Psychological Association memperingatkan bahwa bentuk ekstrem dari ciri-ciri maskulin tradisional terkait dengan agresi, kebencian terhadap wanita, dan hasil kesehatan yang negatif. Sehingga Toxic Masculinity sering dikaitkan dengan pelaku tindakan kriminal.

Sosiolog Raewyn Connell memiliki pemikiran gender merupakan produk hubungan dan perilaku. Bukan identitas atau atribut yang tetap. Maskulinitas versi Connell banyak digambarkan melalui kelas, ras, budaya, dan faktor lainnya.

 

3 dari 3 halaman

Maskulin versi masing-masing

Dalam pandangan ini, pemahaman ilmiah soal maskulinita menjadi standar yang digunakan untuk mendefinisikan "pria sejati" dapat bervariasi secara dramatis di seluruh waktu dan tempat.

Sementara itu, menurut Wade Davis yang merupakan mantan pemain NFL menyebut pria secara individu pada akhirnya haus berada di titik untuk memutuskan bagaimana mendefinisikan kejantanan dan maskulinitas untuk dirinya sendiri.