4 Alasan Seseorang Bisa Terjebak dalam Hubungan Perselingkuhan Setelah Menikah

Vinsensia Dianawanti diperbarui 10 Okt 2022, 07:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Belakangan isu perselingkuhan makin santer terdengar dari sejumlah selebriti tanah air. Yang tadinya memiliki rumah tangga harmonis namun ternyata ada beragam kasus perselingkuhan di dalamnya.

Selingkuh dalam pernikahan memang sebuah masalah yang tak akan pernah lekang dimakan waktu. Banyak orang menganggap bahwa pria selingkuh dan meninggalkan istrinya demi wanita yang lebih seksi atau cantik. Sementara wanita akan meninggalkan suaminya demi pria yang lebih mapan.

Padahal, bukan itu alasan sebenarnya seseorang berselingkuh. Ternyata, seseorang bisa selingkuh karena kondisi otaknya. Pasalnya, perselingkuhan, kesehatan otak, dan kondisi mental seseorang memiliki hubungan yang saling berkesinambungan.

Mengutip dari siaran pers Stress Management Indonesia, berikut beberapa alasan seseorang bisa selingkuh setelah menikah.

 

2 dari 5 halaman

1. Kecanduan Euforia Cinta

Ilustrasi Perselingkuhan Credit: pexels.com/pixabay

Pengalaman indah jatuh cinta dan tergila-gila dengan seseorang tidak bertahan selamanya. Ahli saraf menemukan bahwa setelah 6 bulan hingga 2 tahun, rasa cinta yang menggebu-gebu berubah menjadi cinta dan komitmen yang lebih dalam atau keputusan untuk berpisah dan melepaskan diri. Banyak terapis pasangan mengatakan bahwa perselingkuhan terjadi karena orang salah mengira kurangnya intensitas dan euforia sebagai tanda bahwa mereka telah putus cinta.

Kurangnya euforia ini dapat mendorong seseorang untuk mencari pasangan lain untuk mencoba menciptakan kembali intensitas cinta yang tinggi. Bagi sebagian orang, kebutuhan untuk merasakan aliran cinta baru membuat mereka terus mencari hubungan di luar nikah.

 

3 dari 5 halaman

2. Kehilangan Sirkuit Kontrol Diri

Sirkuit kontrol diri adalah sistem penyeimbang antara bagian otak limbik yang memotivasi untuk mencari aktivitas yang menyenangkan dan bagian otak korteks prefrontal (PFC) yang membuat seseorang berpikir dua kali sebelum terlibat dalam perilaku berisiko, seperti perselingkuhan.

Ketika sirkuit kontrol diri seimbang, kontrol impuls memadai menghentikan seseorang dari berselingkuh. Namun, ketika aktivitas PFC rendah, terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan seseorang menyerah pada keinginan impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya. Studi pencitraan otak menunjukkan bahwa orang dengan aktivitas rendah di PFC lebih mungkin untuk bercerai.

 

4 dari 5 halaman

3. Faktor Testosteron

Sebuah studi tahun 2019 menemukan bahwa pria dengan kadar testosteron tinggi lebih mungkin untuk melakukan perselingkuhan daripada pria dengan kadar testosteron yang lebih rendah. Testosteron terlibat dalam suasana hati, motivasi, dan seksualitas. Tingkat testosteron yang tinggi dikaitkan dengan empati yang lebih rendah dan hawa nafsu yang tinggi, yang bisa menjadi resep untuk berselingkuh.

 

5 dari 5 halaman

4. Otak yang Tidak Setia Itu Berbeda

Studi pencitraan otak telah menemukan bahwa otak seseorang yang setia berbeda dari yang selingkuh. Ketika seseorang melihat gambar romantis — pasangan berpegangan tangan atau menatap mata satu sama lain, misalnya — aktivasi otak berbeda antara yang setia dan tidak setia. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang setia menunjukkan lebih banyak aktivitas saraf terkait hadiah saat melihat gambar romantis dibandingkan dengan orang yang tidak setia.

Untuk mencegah terjadinya perselingkuhan, sebaiknya pasangan saling mengenal kondisi satu sama lain sebelum menikah sehingga bisa memahami kondisi pasangannya dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memperbaiki kondisi.

Pasangan yang sehat akan membentuk anak yang sehat, kemudian mempengaruhi lingkungan sekitar menjadi lebih sehat juga. Untuk mencapai revolusi mental di Indonesia, bisa dimulai dari memperbaiki kondisi unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga.