Nicholas Saputra dan Happy Salma Tebarkan Senyum Usai Pementasan Sudamala

Sutikno diperbarui 10 Sep 2022, 21:00 WIB
Derasnya hujan pada sore hari dan turunnya gerimis di tengah pertunjukan yang berlangsung di area terbuka Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia tidak membuat pementasan yang dimulai sekitar pukul 21.30 WIB terhenti. (Bambang E Ros/Fimela.com)
Suara gamelan terus mengiringi lakon demi lakon yang dimainkan, membius para penonton yang memadati area pertunjukan untuk tidak beranjak dari tempat duduknya, meski harus mengenakan jas hujan yang diberikan panitia. (Bambang E Ros/Fimela.com)
Pementasan yang terinspirasi dari pentas tradisi Bali yang berakar dari sastra ini dipersembahakan Titimangsa bersama www.indonesiakaya.com pada 10-11 September 2022 di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta. (Bambang E Ros/Fimela.com)
Terbagi dalam empat babak, pertunjukan yang diproduseri oleh Nicholas Saputra dan Happy Salma ini menciptakan formula baru pentas dengan durasi yang jauh lebih singkat sekitar 2 jam dari biasanya seni tradisi berlangsung 6-8 jam. (Bambang E Ros/Fimela.com)
Pertunjukan babak pertama berkisah tentang Walu Nateng Dirah dari Kerajaan Dirah yang Bahagia karena putri satu-satunya, Ratna Diah Manggali telah menikah dengan Mpu Bahula, putra dari Mpu Bharada, seorang Brahmana. (Bambang E Ros/Fimela.com)
Pada babak kedua, Walu Nateng Dirah murka mengetahui Pustaka miliknya dicuri oleh Mpu Bahula. Ia memanggil semua muridnya untuk membalaskan dendam serta menjalankan rasa amarahnya. (Bambang E Ros/Fimela.com)
Babak ketiga menceritakan Mpu Bahula yang datang menghadap Mpu Bharada dan memberikan Pustaka milik Walu Nateng Dirah. Setelah dibaca, barulah Mpu Bharada mengetahui ajaran kesaktian Walu Nateng Dirah. (Bambang E Ros/Fimela.com)
Kisah berakhir dibabak keempat, ketika terjadi peperangan antara Mpu Bharada dan Walu Nateng Dirah dengan Taru Wandira (pohon beringin) sebagai sarana untuk menunjukkan kesaktian dari keduanya. (Bambang E Ros/Fimela.com)
Peristiwa pertunjukan teater Sudamala: Dari Epilog Calonarang ini tidak lain adalah untuk membangkitkan kesadaran, terbebas dari kekotoran batin, lara, dan petaka. (Bambang E Ros/Fimela.com)