Fimela.com, Jakarta Vaksin malaria terbaru sangat berpotensi "mengubah kondisi dunia". Vaksin tersebut saat ini tengah dikembangkan para ilmuwan di Universitas Oxford. Kabar yang dilansir dari Liputan6.com ini menyebutkan tim pengembang tersebut berharap vaksin ini dapat diluncurkan tahun depan setelah uji coba yang menunjukkan perlindungan hingga 80 persen.
Badan amal Malaria No More mengungkapkan bahwa, kemajuan baru-baru ini bisa memberi harapan pada anak-anak agar tidak meninggal karena malaria. Butuh waktu yang panjang untuk mengembangkan vaksin efektif karena parasit malaria yang disebarkan oleh nyamuk sangat kompleks dan sulit dipahami.
Selain itu, parasit malaria merupakan parasit yang terus berevolusi dan bergerak, mengubah bentuk dalam tubuh sehingga membuatnya sulit diimunisasi. Tahun 2021 menjadi hari bersejarah untuk dunia medis yang mengembangkan vaksin malaria pertama yang diizinkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Vaksin pertama ini dikembangkan oleh raksasa farmasi GSK untuk digunakan di Afrika.
Disisi lain, tim pengembang Oxford mengklaim pendekatan mereka lebih efektif dan dapat di produksi dalam skala yang jauh lebih besar. Hasil uji coba dari 409 anak di Nanoro, Burkina Faso, telah dipublikasikan di Lancet Infectious Diseases. Ini menunjukkan tiga dosis awal vaksin malaria diikuti oleh booster setahun kemudian memberikan perlindungan hingga 80 persen.
Proses Pengantongan Izin Vaksin
Tim ilmuan Oxford akan memulai proses untuk mengantongi izin agar vaksin disetujui dalam beberapa minggu ke depan. Untuk keputusan akhir akan bergantung pada hasil uji coba yang lebih besar pada 4.800 anak sebelum akhir tahun.
Sementara itu, produsen vaksin terbesar di dunia yakni Serum Institute of India, sudah bersiap untuk membuat lebih dari 100 juta dosis per tahun. Prof Hill mengatakan, vaksin, yang dinamakan R21 itu, dapat dibuat dengan harga satuan "beberapa dolar".
Hill menambahkan bahwa timnya berharap vaksin ini bisa dikerahkan dan tersedia untuk menyelamatkan nyawa pada akhir tahun depan. Malaria telah menjadi salah satu momok terbesar bagi umat manusia selama ribuan tahun dan kebanyakan membunuh bayi dan balita.
Penyakit ini masih membunuh lebih dari 400.000 orang per tahun bahkan setelah kemajuan dramatis dengan penggunaan kelambu, insektisida dan obat-obatan.
Parasit Malaria Kebal Obat di Daerah Asia Tenggara
Para peneliti menemukan bahwa parasit penyebab malaria ditemukan kebal yang kebal obat di kawasan Asia Tenggara. Kekebalan atau resistensi ini menyebabkan tingkat kegagalan pengobatan utama (frontline medicine) yang sangat tinggi.
Dalam hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Lancet Infectious Dieseases, peneliti mengungkapkan bahwa di beberapa daerah di Thailand, Vietnam, dan Kamboja, hingga 80 persen dari parasit malaria yang paling umum, saat ini telah kebal terhadap dua obat antimalaria utama.
"Temuan yang mengkhawatirkan ini menunjukkan, masalah resistensi multi-obat di P falciparum telah memburuk secara substansial di Asia Tenggara sejak 2015," kata Olivo Miotto dari Wellcome Sanger Institute dan Universitas Oxford, yang turut memimpin penelitian, seperti dikutip dari the Guardian, Rabu (24/7/2019).
Parasit Malaria Agresif di Thailand, Vietnam, dan Laos
Parasit malaria, Plasmodium falciparum (P falciparum), juga memperoleh resistansi (kebal) pada setengah kasus terkait dengan kegagalan pengobatan salah satu kombinasi obat utama terbaru dan paling ampuh, kata peneliti. Jenis parasit resisten yang sangat 'sukses' ini mampu menginvasi wilayah baru dan memperoleh sifat genetik baru.
Peneliti Robert Amato mengatakan bahwa mereka menemukan jenis parasit ini telah menyebar secara agresif, menggantikan parasit malaria lokal. Parasit ini telah menjadi strain dominan di Vietnam, Laos, dan Thailand utara-timur. Sebelumnya, Kombinasi obat yang dikenal sebagai DHA-PPQ awalnya efektif melawan parasit, sebelum dokter melihat tanda-tanda resistansi pada 2013.
Namun, pada studi terbaru tingkat kegagalan DPA-PPQ menunjukkan bahwa mereka telah mencapai 53% di Vietnam barat daya, dan setinggi 87% di Thailand timur laut. Sementara itu, Olivo Miotto dari Oxford memperingatkan "prospek mengerikan" parasit yang menyebar ke Afrika, tempat sebagian besar kasus malaria terjadi.
Resistansi yang serupa dengan obat malaria utama tipe lama, kloroquine, berkontribusi pada jutaan kematian di seluruh Afrika pada 1980-an. Malaria membunuh lebih dari 400.000 orang per tahun, kebanyakan anak-anak di Afrika. Lebih dari 200 juta orang terinfeksi dengan parasit P. falciparum , yang bertanggung jawab atas sembilan dari 10 kematian malaria secara global.
*Penulis: Tasya Fadila
#Women for Women