Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia 2022: Ada 3 Penyebab Tertinggi Kasus Bunuh Diri

Endah Wijayanti diperbarui 09 Sep 2022, 14:35 WIB

Fimela.com, Jakarta Bunuh diri mungkin masih dianggap sebagai isu yang sensitif. Namun, isu ini juga sangat penting karena menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia yang diperingati pada tanggal 10 September setiap tahunnya, Emotional Health for All Foundation (EHFA), sebuah yayasan kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri berbasis riset terdepan, menemukan bahwa bunuh diri merupakan salah satu isu penting kesehatan publik dunia yang mengakibatkan kematian orang muda terbanyak di berbagai negara.

EHFA menyebutkan bahwa 77% bunuh diri terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah seperti di Indonesia, di mana belum ada strategi nasional, sementara situasi riil bunuh diri masih belum banyak diketahui karena terbatasnya akses terhadap data statistik tersebut.

Ketua EHFA, Dr. Sandersan Onie, mengatakan, “Untuk mengembangkan strategi pencegahan bunuh diri secara nasional di Indonesia, kami bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan RI dan WHO Indonesia sejak 2021, dimana kami menemukan sejumlah data yang cukup mengejutkan.”

Pengembangan program “Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional” yang dimulai pada tahun 2021 dilaksanakan secara kolaboratif antara Direktorat Kesehatan Jiwa dan Pengendalian NAPZA Kementerian Kesehatan RI, WHO Indonesia dan EHFA, dengan panitia yang diketuai oleh Dr. Sandersan Onie dengan Jessica Felisa Nilam, Ashra Daswin, Stephanie Onie dan Kezia Taufik dari EHFA; beserta Prof. Juneman Abraham dari Universitas BINUS, Dr. Diana Setiyawati dari Universitas Gadjah Mada, dan Prof. Erminia Colucci dari Middlesex University.

Studi komprehensif terbesar tentang bunuh diri di Indonesia dilaksanakan, dengan lebih dari 100 jam wawancara mendalam untuk menginvestigasi beragam aspek bunuh diri di Indonesia. “Kami menganalisis data dari pemerintah, termasuk survei desa potensi, dan data kepolisian, di mana hasil dan rekomendasinya kami sampaikan pada kesempatan ini,” ujar Dr. Sandersan.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Penyebab Tertinggi: Tekanan psikologis, Penyakit Kronis, dan Masalah Keuangan

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Hasil temuan menunjukkan bahwa masih banyak angka bunuh diri yang tidak dilaporkan di setiap negara, dan yang tercatat merupakan angka resmi vs. angka perkiraan. Tingkat pelaporan yang kurang sebesar 50% menunjukkan bahwa perkiraan tingkat adalah 150% dari tingkat resmi. Sementara, rata-rata tingkat laporan yang tidak tercatat adalah antara 0 – 50% di dunia.

“Namun, ditemukan bahwa angka kejadian bunuh diri di Indonesia yang tidak dilaporkan diperkirakan lebih dari 300%, atau angka sesungguhnya bisa minimal 4 kali lipat dari yang dilaporkan, dan hal ini merupakan prosentase tertinggi dari jumlah kejadian yang dilaporkan secara nasional di dunia,” ungkap Dr. Sandersan.

Lebih lanjut Dr. Sandersan menjelaskan bahwa tingkat laporan yang tidak tercatat karena beragam alasan termasuk perbedaan standar dan sistem pencatatan bunuh diri di rumah sakit, sementara banyak keluarga masih menyembunyikan kejadian bunuh diri akibat rasa malu dan stigma masyarakat.

Hasil riset menunjukkan bahwa provinsi dengan kejadian bunuh diri tertinggi ditemukan di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Maluku Utara dan Kepulauan Riau, sedangkan provinsi dengan tingkat upaya bunuh diri tertinggi ditemukan di Sulawesi Barat, Gorontalo, Bengkulu, Sulawesi Utara dan Kepulauan Riau.

“Untuk setiap kematian akibat bunuh diri, kemungkinan terdapat 8 hingga 24 kali upaya percobaan bunuh diri, dengan penyebab tertinggi diakibatkan oleh tekanan psikologis, penyakit kronis dan masalah keuangan,” jelas Dr. Sandersan.

Dr. Sandersan menuturkan bahwa faktor risiko bunuh diri termasuk masalah keluarga, masalah keuangan, dan kesepian.  “Meski demikian, terdapat sejumlah faktor protektif yang dapat mencegah terjadinya bunuh diri, meliputi komunitas, akses ke perawatan psikologis, serta agama,” Dr. Sandersan menambahkan.

Penelitian menemukan bahwa terdapat kelompok-kelompok independen yang juga berperan dalam beberapa upaya pencegahan bunuh diri, namun mayoritas upaya tersebut tidak maksimal, tidak terkoordinasi dan seringkali tidak didasarkan pada penelitian kontekstual yang baik.

3 dari 3 halaman

Rekomendasi

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com

Dr. Sandersan menyampaikan bahwa sebagai upaya pengembangan program “Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional”, Tim Peneliti merekomendasikan sejumlah langkah.  

Adapun rekomendasi tersebut meliputi:

  • perlunya kebijakan nasional melalui kerjasama dengan institusi terkait;
  • pengentasan moralisasi bunuh diri dari sisi agama; 
  • peningkatan penelitian akademis secara terlatih dan sistemik;
  • pembentukan asosiasi lintas disiplin sebagai pengawasan upaya pencegahan bunuh diri;
  • melakukan intervensi dengan pembatasan sarana bunuh diri;
  • meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akademis tentang bunuh diri sebagai upaya pencegahan bunuh diri berdasarkan situasi, kondisi dan kearifan lokal setempat.

“Rekomendasi ini dibuat berdasarkan temuan data yang baru,” jelas Dr. Sandersan. 

Tindak Lanjut

Tim Peneliti merumuskan “Strategi Pencegahan Bunuh Diri Nasional” melalui dua langkah utama yaitu membentuk Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri (Indonesian Association for Suicide Prevention - INASP) dan mengangkat tema bunuh diri sebagai stigma berbagai agama.

Saat ini sudah tersedia situs INASP di www.inasp.id. Dr. Sandersan menjelaskan bahwa Asosiasi Indonesia untuk Pencegahan Bunuh Diri akan menjadi sarana membangun jaringan para pemangku kepentingan di seluruh Indonesia, sebagai badan perwakilan nasional untuk Pencegahan Bunuh Diri Indonesia di Panggung Internasional, dan sebagai pusat data tentang bunuh diri yang andal, kini dapat dilihat pada situs Inasp.id, termasuk tingkat bunuh diri dan pencobaan bunuh diri setiap provinsi, dan data krusial lainnya yang belum pernah dibuka untuk umum.

Dr. Sandersan Onie selaku Ketua Strategi Nasional Pencegahan Bunuh Diri akan menjadi Presiden Asosiasi tersebut, dengan wakilnya, dr. Damba Bestari, yang sudah banyak mengerjakan proyek pencegahan bunuh diri nasional maupun internasional.

“Asosiasi ini akan menjadi kumpulan peneliti, dokter, orang-orang dengan pengalaman langsung, pemimpin teknologi, jurnalis, dan banyak lagi, dimana para anggota akan berkumpul dalam konferensi nasional tahunan guna menyajikan penelitian, data baru, dan pendekatan untuk pencegahan bunuh diri,” jelas Dr. Sandersan.

Lebih lanjut Dr. Sandersan menguraikan, ”Untuk mengatasi stigma agama tentang bunuh diri, kami mengadakan acara pada tanggal 29 Oktober, di mana kami akan menandatangani dan membaca pernyataan tentang kesehatan dari kacamata agama, yang menguraikan bagaimana setiap agama di Indonesia memandang bunuh diri dan kesehatan mental. Kegiatan ini merupakan yang pertama kali di dunia”.  

Tentang EHFA

Emotional Health for all Foundation (EHFA) adalah sebuah organisasi kesehatan mental berbasis riset terdepan yang terdiri dari berbagai pemimpin industri yang didirikan dengan satu keyakinan, yaitu bahwa kesehatan emosional adalah hak setiap orang dan kalangan.

Oleh karena itu, EHFA terus menciptakan solusi inovatif dalam mengatasi isu besar seperti upaya bunuh diri dan gangguan kesehatan mental di Indonesia. Dilengkapi dengan keahlian dalam inovasi penelitian, implementasi strategis, dan misi untuk menjangkau setiap orang – EHFA menggunakan metode berbasis riset dan sains yang kreatif untuk mencapai perubahan yang berjangka panjang dan memiliki dampak berskala besar.

Lebih lanjut tentang EHFA atau jika Anda mengalami krisis ingin bunuh diri, kunjungi situs ehfa.id untuk sumber dan informasi terkait.

#WomenforWomen