Kuliner Masyarakat Adat, Panganan Sederhana, Kaya Rasa, dan Otentik

Fimela Reporter diperbarui 21 Sep 2022, 17:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Makanan sederhana sering kali tampak menggugah selera. Begitulah yang terjadi pada kuliner komunitas adat. Tanpa perlu boros bumbu atau bahan impor yang mahal, masakan mereka menonjolkan kekayaan rasa yang otentik. 

Hanya saja, menurut Silvy Motoh dari Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), komunitas adat merasa tidak percaya diri akan kekayaan kuliner mereka. “Mereka berpikir bahwa makanan sehari-hari mereka terlalu sederhana untuk disajikan bagi tamu yang datang dari kota. Ketika kami mengadakan acara di kampung mereka, mereka berusaha keras untuk memasak makanan modern bagi kami.

Padahal, kuliner masyarakat adat merupakan pengetahuan berharga yang perlu dilestarikan. Karena itu, AMAN berusaha memastikan mereka tetap memasak makanan yang biasa dimasak di komunitas adat, sehingga mereka merasa dihargai.

Silvy bercerita, ada dua kategori kuliner masyarakat adat, yaitu masakan yang biasa disajikan ketika ritual atau upacara adat (seperti kedukaan, pernikahan, kelahiran), dan masakan untuk konsumsi sehari-hari. Sajian yang dimasak khusus untuk ritual biasanya memiliki makna tersendiri.

Tiga alumni Masterchef Indonesia (MCI) diundang untuk memasak ulang makanan khas masyarakat adat. La Ode (alumni MCI musim 8) memasak manok pansoh dari Kalimantan Barat, Fifin Liefang (alumni MCI musim 6) membuat uta kelo dari Sulawesi Tengah, serta Jordhi Aldyan Latif (alumni MCI musim 6) yang memasak rumpu rampe dari Nusa Tenggara Timur.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Petik Dari Kebun Sendiri

Banyak masyarakat di sana yang bekerja sebagai petani. Mereka biasa memetik hasil kebun sendiri untuk dibuat menjadi satu hidangan. [dok. La Ode]

Jordhi menuturkan bahwa rumpu rampe memiliki arti banyak dan beragam, karena bahan-bahan pembuatnya memang banyak sekali. Pembuatan rumpu rampe juga tidak memerlukan adanya acara khusus. Mama Siti, yang merupakan warga asli NTT, menambahkan apa saja yang ada di kebun boleh dimasak menjadi rumpu rampe. Tapi, yang umum digunakan adalah campuran dari daun pepaya, bunga pepaya, jantung pisang, dan daun ubi atau daun singkong. Semua tinggal direbus, lalu diiris-iris dan diberi bumbu

Fifin yang baru pertama kali memasak uta kelo juga bercerita bahwa bahan masakan tersebut mudah ditemukan dan ramah di kantong. Mirip dengan lodeh, tapi bahannya unik. Sama-sama pakai terong dan santan, tapi uniknya uta kelo juga menggunakan daun kelor dan pisang mentah.

Menurut Silvy, masakan komunitas adat terbilang ramah lingkungan. Sebab, memanfaatkan bahan yang ada di sekitar. Tak perlu minyak goreng. Tak perlu juga peralatan mewah, termasuk kompor. Cukup kayu bakar dan pembungkus alami, seperti bambu dan daun pisang. 

Minim Bumbu, Kaya Akan Rasa

Silvy bercerita rata-rata kuliner masyarakat adat dimasak dengan bumbu minimalis. Tiga bumbu andalan di kampungnya, yaitu garam, daun jeruk purut, dan cabai rawit, termasuk untuk memasak daging sapi. Dulu tak ada yang mengenal bawang. Sekarang lebih banyak yang dimodifikasi dengan tambahan bumbu bawang.

Fifin menyebutkan, uta kelo bumbunya jauh lebih simpel daripada lodeh yang dibubuhi berbagai macam bumbu. Karena hanya bawang merah dan cabai rawit. Cita rasanya cenderung asin gurih dan pedas. Rasa manis alami didapat dari daun kelor. Yang menarik adalah tekstur dan rasa pisang mentah yang ketika matang jadi seperti kentang

Sementara Jordhi bercerita, rumpu rampe menonjolkan kekayaan rasa dari bahan makanan Indonesia. Rasa pahit, asin, manis, dan pedas semuanya menyatu. Bumbu yang digunakan hanya garam, bawang merah, bawang putih, dan cabai yang dihaluskan, lalu ditumis dengan daun jeruk.

Mama Siti bercerita, menu rumpu rampe sering kali disajikan ketika ada acara kumpul-kumpul, seperti kumpul keluarga besar, arisan, atau saat menyambut tahun baru. Rumpu rampe berfungsi sebagai pelengkap makanan saat acara, disajikan dengan berbagai hidangan lain. Kami meyakini makanan ini juga berperan sebagai obat herbal yang dipercaya mencegah malaria.

3 dari 4 halaman

Cara Masak Simpel Tapi Tricky

Menjaga api tetap stabil juga perlu trick. Api harus terus ditiup agar tidak mati. Proses memasak seperti ini membuat kita jadi lebih menghargai nilai sebuah masakan. [dok. La Ode]

Bagi La Ode, manok pansoh sangat unik dan sangat Indonesia, karena memasaknya harus dengan bambu. Aroma bambu bakar yang khas tak bisa digantikan oleh aroma lain. Namun, bagi penduduk urban mungkin agak sulit mereplika masakan ini, karena tidak mudah mendapatkan bambu. Ditambah lagi, bagi yang tidak terbiasa, membuat perapian dari kayu bakar bisa menjadi hal menantang.

Sementara bagi Jordhi, tantangannya adalah mengurangi rasa getir daun dan bunga pepaya, tapi tidak sampai hilang sama sekali. “Kalau pahitnya benar-benar hilang, rasanya justru jadi kurang sedap. Trick saya adalah meremasnya dengan garam agar getahnya jauh berkurang. Setelah itu, di-blanch (rendam dalam air mendidih) selama tiga hingga lima menit."

Silvy dan Fifin juga berbagi tips. Menurut mereka, memasak daun kelor untuk uta kelo perlu benar-benar pas. Kalau terlalu matang, daunnya akan terasa pahit. Ketika santan sudah mendidih, masukkan daun kelor hingga layu. Tidak perlu diaduk, karena malah bisa mengeluarkan rasa pahit.

Sehat Tanpa Penyedap

Masakan yang dibungkus daun, seperti daun jati, daun jagung, dan daun pisang, atau dimasak dengan bambu memberi aroma khas pada masakan, yang tak tergantikan oleh pembungkus makanan lain, sehingga, makanan masyarakat adat tak memerlukan aroma sintetis untuk menggoda selera. 

Begitu juga dengan penggunaan perasa alami. Silvy bercerita, warga di kampungnya kerap menggunakan daun kedondong untuk menambahkan rasa asam pada masakan. Fungsinya berbeda dari daun jeruk purut yang hanya sebagai penambah aroma, tapi tidak menambahkan rasa asam. Daun kedondong terasa segar, karena tak perlu melewati pemrosesan apa pun.

Masyarakat adat cenderung jarang menggunakan minyak, apalagi dalam jumlah banyak. Misalnya, jika memasak dengan bambu, kita tidak perlu menggunakan tambahan minyak. Minyak yang digunakan adalah minyak alami dari bahan protein, misalnya ayam. Air yang digunakan untuk memasak juga dari air bambu itu sendiri.

Memasak dengan cepat juga membuat kandungan vitamin tetap terjaga. Misalnya, memasak manok pansoh tak perlu waktu lama, karena ayamnya sudah dipotong kecil-kecil. Dengan begitu, sari alami ayam tidak hilang, tapi ayam tetap empuk dan lezat. Sementara daun kelor yang mampu memperbaiki kondisi gizi buruk di NTT juga hanya perlu dimasak sebentar saja.

4 dari 4 halaman

Festival Kuliner Hingga Kompetisi Memasak

Ajang yang tepat untuk mempromosikan makanan komunitas adat. [dok. La Ode]

Menurut Silvy, selain melalui festival kuliner, maraknya reality show kompetisi memasak bisa menjadi kendaraan yang tepat untuk mempromosikan makanan komunitas adat. Ketika peserta diminta membuat makanan dari daun kelor. Diharapkan tidak selalu membuat dari bahan impor. Dengan begitu, peserta bisa bantu mempromosikan daun kelor, sekaligus mendorong mereka untuk menggali kembali identitas dirinya yang berasal dari daerah.

Fifin berpendapat, masakan-masakan komunitas adat merupakan warisan dari nenek moyang sejak zaman dahulu. Ia berharap masakan ini tidak berhenti sampai di generasi sekarang dan perlu dilestarikan. Sependapat dengan Fifin, La Ode beranggapan bahwa kuliner masyarakat adat harus tetap ada, walaupun tidak disajikan dalam sebuah ritual adat. Ia berharap makanan tersebut lebih banyak diperjual-belikan di daerahnya sendiri, tanpa mengurangi unsur kulturalnya.

Bagi Jordhi yang mengakui bahwa generasinya merupakan generasi cepat saji, pameran makanan bisa menjadi ajang yang baik untuk memperkenalkan pengunjung pada warisan nusantara. Silvy mengingatkan, makanan komunitas adat boleh saja dikomersialkan. Asalkan, pemilik pengetahuan akan kuliner tersebut, yaitu masyarakat adat, tidak dikesampingkan dan tetap mendapatkan benefit.

 

*Penulis: Sri Widyastuti

#Women For Women