Fimela.com, Jakarta Di bulan Juni ini, Fimela mengajakmu untuk berbagi cerita tentang keluarga. Untuk kamu yang seorang ibu, anak, mertua, menantu, kakak, atau adik. Ceritakan apa yang selama ini ingin kamu sampaikan kepada keluarga. Meskipun cerita tak akan mengubah apa pun, tapi dengan bercerita kamu telah membagi bebanmu seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela dalam Lomba My Family Story: Berbagi Cerita tentang Sisi Lain Keluarga berikut ini.
***
Oleh: Wiwid
Saya lahir dari pernikahan kedua orang tua yang sebelumnya mereka memiliki pasangan lain. Namun, suami ibu saya meninggal sakit tetanus lalu ibu menjadi janda dan bapak saya katanya ditinggal istrinya. Jadilah mereka berkenalan, menikah lalu lahir saya dan adik.
Dibilang rumit ya rumit. Saya mempunyai 5 kakak yang salah satu orang tuanya beda dengan saya. Karakter mereka pun cukup membuat saya kaget, kebetulan saya menjadi anak yang lahir belakangan.
Alhamdulillah meski saya tidak selalu dekat dengan mereka, tapi ada saat kami satu kata untuk bapak atau ibu kami. Dua kakak saya yang merupakan anak bapak selalu merawat bapak kami, bahkan ketika bapak kami sakit.
Kakak laki laki saya yang anak bapak ini pernah meminjami bapak motor Ninja RR-nya, betapa bahagianya bapak saya waktu naik motor itu. Sementara kakak perempuan saya anaknya ibu selalu bicara halus, sopan, berbakti pada ibu kami dan suaminya. Seterusnya hingga ibu menetapkan kakak perempuan ini menjadi role model untuk saya.
Meski dalam hati terdalam, apa bisa saya ini meniru dia? Kakak perempuan ini salah satu kebahagiaan bagi ibu saya, salah satu prestasi orang tua Jawa adalah anaknya ngabekti (berbakti) terutama pada suami dan mertuanya, dan itu yang dilakukan kakak perempuan saya.
Saya sendiri memiliki adik kandung, tapi hubungan kami tidak seperti sibling goals lain yang akrab, malah adik memanggil saya langsung nama. Hal yang tidak pernah diajarkan orang tua Jawa ke kami, anak–anaknya, karena salah satu bentuk adab kurang sopan. Tapi tak apalah, saya maklum adik begitu, saya dan dia cuma beda 2 tahun tidak genap. Jadi hubungan kami malah seperti teman, bukan kakak beradik.
Mensyukuri Semuanya
Kalau bicara keluarga cuma pada orang tua saja, saya terbuka dan cerita macam–macam, bertanya aneh juga. Kalau ke saudara, saya tidak terlalu dekat dengan mereka. Perbedaan umur yang jauh dan jarak tempat tinggal ditambah kurangnya komunikasi menjadi sebabnya. Sedih dan sepi juga rasanya tidak bebas bercerita pada saudara sendiri.
Tapi tak apa, sejak berumur 0 hingga 19 tahun, dan aku lulus kuliah bapak selalu meninggalkan tawa dan memori manis. Suatu kali bapak sedang mendoakan keris dengan ubarampe kembang saat itu malam Jumat Kliwon. Dengan polos saya bertanya, "Kenapa pakai kembang pak?" Almarhum bapak menjawab, "Kalau pakai kotoran ayam bau." Seketika kami berdua tertawa terbahak–bahak. Ya, humor kami receh sekali, hihi.
Begitupun dengan ibu, hanya soal kucing yang saya rescue bisa mengubah dan meluluhkan hatinya. Awalnya ibu benci karena bulu rontok, kotoran bau dan lain–lain. Sekitar 5 tahun lalu saya mulai memberi makan kucing yang mampir ke rumah dengan apa saja yang saya punya tidak selalu ayam atau makanan kucing.
Kemudian, ia tumbuh cantik beranak 4 namun 3 anaknya tertabrak mati. Kucing saya ini namanya Totol dan dimaling orang ketika kami mudik. Tersisalah kucing jantan, anaknya Totol yang saya beri nama Ucul, bahasa walikan dari lucu. Makin ke sini ibu selalu mencurahkan perhatiannya ke Ucul, segala digorengin wader. Sampai saya singgung, “Oh jadi sekarang Ucul ini anak ibu yang terakhir ya?” Lalu kami tertawa keras bersama.
Keluarga saya yang kurang hangat antara saya dan kakak adik, tapi selalu hangat antara saya dan bapak ibu selalu saya syukuri. Apa pun kondisinya mereka rezeki besar untuk saya.
#WomenforWomen