Sisi Lain Dari RUU KIA, Dinilai Berpotensi Munculkan Diskriminasi Terhadap Pekerja Perempuan

Fimela Reporter diperbarui 30 Jun 2022, 17:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu memutuskan untuk membahas Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), disambut beragam tanggapan. Tanggapan bernada kekhawatiran datang dari perempuan pengusaha yang menilai salah satu isi dari RUU KIA ini berpotensi jadi pedang bermata dua.

Rinawati Prihatiningsih, seorang pegiat kesetaraan gender yang juga merupakan COO PT Infinite Berkah Energi sekaligus WKU Bidang Litbang dan Ketenagakerjaan DPP IWAPI, mengungkapkan kebijakan cuti 6 bulan dalam RUU KIA bisa menjadi pedang bermata dua bagi pekerja perempuan.

RUU KIA ini merupakan kebijakan untuk melindungi pekerjaan perempuan berserta hak-hak reproduksinya. Namun, disisi lain kebijakan ini berdampak menimbulkan anggapan bahwa kehamilan sebagai suatu beban organisasi atau perusahaan.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

Kemungkinan Perusahaan Cenderung Sikap Diskriminatif Pada Perempuan

Ilustrasi perempuan mengalami diskriminasi di kantor. (Sumber foto:Pexels.com).

kebijakan ini bisa menimbulkan sikap diskriminatif perusahaan terhadap pekerja perempuan. Perusahaan akan cenderung merekrut perempuan berdasarkan usia dan status perkawinannya dan tidak merekrut perempuan yang memiliki atau berencana untuk memiliki anak dalam waktu dekat. Karena, khawatir peran reproduksi akan mempengaruhi biaya dan kinerja perusahaan.

"Sebab, tidak semua perusahaan mampu menjalankan kebijakan ini. Hal ini bisa mendorong sikap diskriminatif dalam perekrutan dan promosi perempuan di tempat kerja," ungkap Rinawati, Senin (27/6).

Solusi dari hal ini menurut Rinawati adalah perusahaan memberikan cuti melahirkan 3 bulan berbayar sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan. "Hanya saja cuti 3 bulan berikutnya untuk merawat bayi baru lahir atau anak adopsi tidak berbayar, namun izinkan perempuan pekerja untuk kembali ke pekerjaan, gaji dan tunjangan yang sama atau setara," tuturnya.

3 dari 4 halaman

Perlu Kajian Serius Terhadap Pros dan Cons RUU KIA

Ilustrasi penandatanganan keputusan. (Sumber foto: Pexels.com).

Dukungan akan mengalir terhadap RUU KIA ini bila dibuat sepanjang mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan ibu dan anak, serta tidak kontra dengan produktivitas perempuan. Makanya, perlu kajian yang lebih serius terkait kebijakan cuti melahirkan 6 bulan dan skema jaminan sosial, di mana beban dari cuti ini, tidak hanya ditanggung oleh pemberi kerja saja, namun ditanggung bersama oleh pengusaha, karyawan dan pemerintah disesuaikan dengan tingkatannya.

4 dari 4 halaman

Cuti Untuk Ayah

Ilustrasi ayah dan anak. (Sumber foto: Pez

Risna berpendapat bahwa fokus dari RUU KIA lebih diperhatikan pada waktu cuti ayah. Sebab, dimaknai secara simbolis menghargai pentingnya kehidupan keluarga, ikatan ayah-anak, dan peran ayah yang penuh perhatian. Selain itu, Selain itu, 'bonus berbagi' dan jenis dorongan lain untuk cuti ayah dapat membantu mempercepat perubahan perilaku sosial.

"Cuti wajib bagi ayah juga dapat menjadi jalan untuk mengesampingkan norma-norma sosial yang menghambat pengambilan cuti ayah, yang sangat relevan terutama ketika data mengungkapkan bahwa keinginan individu untuk cuti lebih tinggi daripada cuti efektif karena hambatan yang ditimbulkan oleh norma-norma sosial," kata Rinawati. Flexible working hours sementara ini jadi hal paling krusial. Kemudian penyediaan tempat penitipan anak yang dekat, terjangkau, dan digratiskan oleh negara. Pengambilan cuti oleh ayah dapat mengurangi hukuman sebagai ibu “the motherhood penalty” dengan memungkinkan ibu untuk kembali ke pasar tenaga kerja.

Perlindungan pekerja perempuan di sektor informal, di ranah privat rumah tangga juga harus dijamin perlindungannya. Salah satunya saat ini yang sangat mendesak dan penting adalah segera disahkannya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta ratifikasi Konvensi ILO 189, Situasi Kerja Layak PRT. "Bila pembahasannya hanya sekedar waktu cuti, sebenarnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur hak perempuan pekerja dari cuti haid, melahirkan, perlindungan dari kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan Indonesia telah mengesahkan beberapa konvensi ILO terkait perlindungan perempuan pekerja," tutur ibu dua anak yang juga menjabat sebagai Co-Chair G20 EMPOWER itu.

Serta, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) baru disahkan sebagai payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.

Penulis: Tasya Fadila

#Women for Women