Hari Keluarga Nasional: Pola Asuh yang Diterapkan Orangtua di Masa Transisi Pandemi Agar Anak Siap Bersosialisasi dengan Lingkungan Baru

Anisha Saktian Putri diperbarui 29 Jun 2022, 08:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Hari ini tepat tanggal 29 Juni 2022 diperingati dengan Hari Keluarga Nasional. Dalam momen ini diharapkan dapat menumbuhkan kebersamaan antar -anggota keluarga dan saling mendekatkan diri. Apalagi setelah dua tahun terjadi pembatasan fisik dan sosial akibat pandemi.

Situasi ini tidak bisa dianggap anteng apalagi bagi anak-anak karena dapat menyebabkan masalah kesehatan yang mempengaruhi emosional, mental, dan perkembangannya. Padahal, anak-anak usia dini sangat menbutuhkan interaksi bagi perkembangan sosial emosionalnya. 

Kini pandemi pun semakin merendam, si kecil dituntut untuk masuk masa transisi seperti rutinitas baru untuk pergi ke sekolah yang lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sosial menuntut adanya upaya adaptif. 

Tentu situasi ini menuntut anak kembali untuk beradaptasi. Lalu bagaimana pola asuh yang harus diterapkan? Survei BKKBN mengungkapkan bahwa selama pandemi COVID-19, 71,5% pasangan suami istri telah melakukan pola asuh kolaboratif, 21,7% mengatakan istri dominan, dan 5,8% hanya istri saja.

Di sisi lain, data UNICEF menyebutkan bahwa selama pandemi orangtua mengalami tingkat stress dan depresi yang lebih tinggi, serta menilai pengasuhan anak di rumah saja memiliki risiko tersendiri. Kondisi ini sangat mungkin menghambat kemampuan orangtua untuk mengatasi emosi dan kebutuhan psikologis anak.

Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Irma Ardiana, MAPS menerangkan bahwa gaya pengasuhan memengaruhi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. 

Untuk itu, dr. Irma mengatakan di masa transisi ini pola asuh bersama menjadi lebih baik yang menekankan komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif untuk pengambilan keputusan dan pembagian peran keluarga.

“Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak mereka. Peran orangtua yang tepat dalam memberikan dorongan, dukungan, nutrisi, dan akses ke aktivitas untuk membantu anak memenuhi milestone aspek perkembangan merupakan hal yang penting,” ujar dr. Irma dalam acara Danone Indonesia menyelenggarakan kegiatan webinar yang mengangkat tema Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi, (28/6).

dr. Irma menambahkan jika peran Tim Pendamping Keluarga menjadi krusial untuk mendampingi keluarga berisiko stunting dalam pemberian informasi pengasuhan di Bina Keluarga Balita. Pola asuh yang tepat dari orangtua dinilai mampu membentuk anak yang hebat dan berkualitas di masa depan.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Pentingnya orangtua memahami aspek sosial dan emosional anak

Ilustrasi keluarga bahagia. (Shutterstock)

Dokter Spesialis Tumbuh Kembang Anak Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH menjelaskan bahwa aspek sosial dan emosional sangat penting bagi anak untuk mencapai semua aspek kehidupannya dan bersaing di fase kehidupan selanjutnya dimulai dari remaja hingga lanjut usia. 

Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk memiliki pemahaman yang baik mengenai perkembangan sosial emosional anak khususnya di masa transisi pasca pandemi saat ini. 

“Bagi anak-anak, kebingungan menghadapi perubahan ruang dan rutinitas baru saat kembali menjalani kehidupan dan interaksi sosial dapat meningkatkan masalah sosial-emosional yang dampaknya bisa berbeda tergantung dengan usia anak dan dukungan dari lingkungannya. Gangguan perkembangan emosi dan sosial dapat memengaruhi terjadinya masalah kesehatan di masa dewasa, seperti gangguan kognitif, depresi, dan potensi penyakit tidak menular,” ujarnya.

Dokter Bernie juga menjelaskan mengenai fakta bahwa perkembangan emosi dan sosial berkaitan erat dengan kecerdasan otak dan sistem pencernaan yang sehat. Ketiganya saling terkait dan berpengaruh signifikan terhadap tumbuh kembang anak agar anak dapat tumbuh menjadi anak hebat. 

“Agar anak-anak dapat beradaptasi kembali dengan normal, memiliki keterampilan sosial-emosional yang memadai, serta memiliki kemampuan berpikir yang baik, maka orangtua perlu memantau perkembangan sosial emosional anak secara berkala serta memberikan stimulasi dan nutrisi yang tepat.” ungkap dr. Bernie.

Ibu Inspiratif Founder Joyful Parenting 101 Cici Desri pun punya cara mempersiapkan si Kecil menghadapi transisi untuk kembali berinteraksi dengan lingkungan sosial. Untuk menghadapi tantangan si Kecil untuk kembali bersosialisasi dengan dunia luar, ia dan suami mengambil bagian dalam pengasuhan dan memperkuat keterlibatan dengan si Kecil terlebih pada fase transisi saat ini.

“Proses adaptasi pun tidak selalu berjalan dengan mudah, mulai dari kekagetan si Kecil yang bertemu dengan banyak orang baru, beraktivitas dan berinteraksi dengan banyak orang membuat si kecil kadang juga menjadi frustasi,” ujarnya.

Cici mengatakan, ia dan suami, mendorong si Kecil untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara verbal sehingga mereka dapat mengetahui apa yang dirasakan si Kecil secara emosional. Selain itu ia juga menghubungi guru dan staf terkait lainnya di sekolah si Kecil untuk memantau cara si Kecil mengatasi dan mengikuti tugas atau kegiatan.

 Ia juga berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang untuk mengetahui lebih jauh upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang si Kecil.

“Kami memahami bahwa fase membangun hubungan baru merupakan sebuah keterampilan. Si Kecil dapat menguasainya dengan dukungan yang tepat, terutama dari keluarga. Melalui interaksi sosial secara tatap muka langsung, si Kecil mampu menumbuhkan rasa kepercayaan baru dan merasakan kenyamanan berada di lingkungan barunya. Dengan begitu, saya yakin si Kecil bisa tumbuh menjadi anak hebat yang pintar, berani, dan memiliki empati tinggi,” papar Cici.

Corporate Communications Director Danone Indonesia Arif Mujahidin mengatakan, momen transisi menjadi kesempatan baik untuk mengasah dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, utamanya dalam perkembangan sosial emosionalnya. Anak usia dini pada dasarnya rentan karena mereka bergantung pada orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan paling dasarnya. 

“Kami memahami bahwa anak membutuhkan lingkungan terdekatnya untuk merangsang dan memberikan kesempatan tumbuh kembang yang optimalz Sebagai perusahaan yang ramah keluarga, kami juga memberikan dukungan kepada para orangtua agar si Kecil dapat tumbuh optimal melalui pemberian cuti melahirkan bagi karyawan kami yakni cuti 6 bulan bagi ibu dan 10 hari bagi ayah. Kami juga secara aktif memberikan edukasi seputar kesehatan dan nutrisi untuk publik seperti halnya dalam Bicara Gizi hari ini,” tutup Arif. 

Sesi Foto Bersama Webinar Hari Keluarga Indonesia

#women for women