Lady Boss: 3 Perempuan di Balik Warna-Warni Kreatif K.A.L.A Studio

Nizar Zulmi diperbarui 28 Jun 2022, 10:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Di tengah padatnya pemain di dunia fesyen, kualitas dan ciri khas bisa jadi pembeda utama. Sebuah brand ditantang untuk bisa menghasilkan 'karya' yang unik sehingga bisa dilirik. Satu nama yang cukup ramai dibahas karena karakternya adalah K.A.L.A Studio.

Terbentuk di tahun 2018, K.A.L.A Studio lahir dari cita-cita ketiga founder-nya untuk memiliki brand fashion sendiri. Berawal dari sahabat, Vina Ameilya, Adinda Tri Wardhani dan Karina Mahendra akhirnya berkomitmen untuk merintis brand yang sesuai dengan ide dan visi mereka.

Busana yang dimilikinya identik dengan warna-warni dan motif yang unik. Terdapat koleksi How Are You? dan Cuitan memancar kilau warna cerah, hingga Enchanted dengan corak yang penuh imaji.

Jenama yang satu ini merupakan produk lokal yang punya nilai jual tinggi. K.A.L.A Studio menentukan identitas dan positioning mereka di industri dengan mengandalkan eksklusivitas print busananya. Hal itu diraih dari kolaborasi dengan para seniman Tanah Air yang karyanya perlu diapresiasi lebih.

K.A.L.A Studio punya misi menjadikan produk mereka layaknya kanvas bagi para seniman untuk berkreasi. Jika selama ini karya seni umumnya dinikmati di museum atau galeri, K.A.L.A Studio membuatnya bisa dikenakan sehari-hari. Mereka berharap bisa mempercantik tapi tak mempersulit para perempuan lewat koleksi-koleksinya.

What's On Fimela
Lady Boss: K.A.L.A Studio (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

"Kita ada misi khusus dari semua desain dan print yang kita tampilkan, yakni ingin every woman feels good about herself tanpa perlu repot. Mau ke supermarket, ketemu client atau zoom meeting di rumah langsung ngerasa oke banget, bisa percaya diri tanpa perlu ribet," kata Adinda selaku Co-Founder dalam sesi wawancara eksklusif dengan FIMELA.

Beberapa koleksi K.A.L.A Studio sudah menggunakan eco-fabric yang ramah lingkungan. Perlahan tapi pasti, koleksi yang menggunakan bahan eco-friendly diperbanyak demi mengurangi dampak buruk terhadap bumi.

"Kita juga masuk ke pasar slow fashion yang sustainable. Pertama kali kita sama mas Mulyana kita mempromosikan sustainable fabrics yang eco-friendly, compostable, biodegradable dan semua bahan kita bisa terurai. Ternyata banyak peminatnya yang apresiasi bahan-bahan tersebut," urai Vina, CEO K.A.L.A Studio.

Banyak cerita menarik terungkap dalam sesi wawancara bersama ketiga founders K.A.L.A Studio, mulai dari visi dalam pemgembangan bisnis, cerita kolaborasi dengan seniman kelas internasional, sampai apa yang mereka kagumi dari satu sama lain. Berikut cerita Vina, Dinda dan Karina selengkapnya.

2 dari 3 halaman

Awal Mula, Konsep, Proses Kolaborasi

Lady Boss: K.A.L.A Studio (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Bagaimana mulanya bisa diskusi dan sepakat untuk merntis K.A.L.A Studio?

Vina: Kita berdiri tahun 2018. Kebetulan aku memang tinggal di Melbourne, dan Dinda sama Karina ini dua-duanya sahabat aku. Tahun 2018 itu aku notice di Melbourne banyak banget brand yang punya print dan bahan sendiri. Akhirnya aku ajak Dinda dan Karina bikin brand. "Kita bikin yuk brand yang ngeprint bahan sendiri". Dinda nambahin gimana kalau kita kolaborasi dengan seniman. Trus Karina nambahin gimana kalau misalnya koleksi busananya itu sesuatu yang kita pakai sehari-hari. Makanya kita ada yang namanya everyday shirt. Akhirnya berdirilah K.A.L.A Studio, kita sebenarnya brand dengan platform kolaborasi dengan seniman, dan print kita itu eksklusif

Dinda: Dulu memang aku punya mimpi ketika pulang dari Kuala Lumpur kita pengen buat sesuatu. Tapi nggak mungkin langsung ya, karena modal kita hanya selembar ijazah. Akhirnya di 2018 itulah kita memiliki modal untuk memulai sebuah brand. Itu impian aku yang tertunda sekitar 8 tahun.

Karina: Aku dari dulu pengen punya brand fashion sendiri. Pas dengar konsepnya menarik banget, beda dari brand fashion yang kita dengar. Makanya aku jadi tertarik juga untuk join.

Di awal memulai bisnis ini bagaimana Anda membaca market fashion saat itu? Ingin mengisi ceruk pasar yang seperti apa?

Dinda: Waktu itu di 2018 local brand udah mulai bikin beragam konsep dan bagus-bagus juga. Cuman aku melihat ada satu konsep yang belum begitu banyak, yaitu kolaborasi bersama seniman. Akhirnya kita mencoba berkolaborasi dengan satu sahabat kita, fotografer namanya Shadtoto Prasetio. Trus ngobrol-ngobrol juga karena sahabat kita pas di Kuala Lumpur. Akhirnya pertama kita pakai karya fotonya dia, dan terbitlah 5 produk yang habisnya dalam 3 hari. Karena pasarnya ada, responnya bagus, jadi kita lanjutin dan rutin kolaborasi dengan seniman.

Sejauh mana K.A.L.A menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan, apa tanggapan konsumen?

Vina: Kita juga masuk ke pasar slow fashion yang sustainable. Pertama kali kita sama mas Mulyana kita mempromosikan sustainable fabrics yang eco-friendly, compostable, biodegradable dan semua bahan kita bisa terurai. Ternyata banyak peminatnya yang apresiasi bahan-bahan tersebut.

Dinda: Kita usahakan sih. Walaupun nggak semua bahannya pakai eco-fabric, tapi di setiap koleksi kita sisipkan ada beberapa items yang eco-fabric. Dengan harapan kita nantinya, pelan-pelan semua (bahannya) eco-fabric walau memang belum 100 persen.

Karina: Sekarang peminat eco-fabric udah banyak sih. Brand-brand fashion pakai eco-fabric, dan kita ikutin trend juga untuk pakai eco-fabric itu.

Apa saja kesulitan menggunakan bahan eco-friendly?

Karina: Kalau untuk bahan ramah lingkungan itu prosesnya lebih lama, ada proses coating, dan bahannya delicate jadi agak risky dalam penyimpanan. Kalo untuk harga mungkin sama aja, kesulitannya lebih ke timeline, karena prosesnya lama sekitar 1-3 bulan untuk printingnya. Kalau bahan polyester sekitar 1-2 minggu.

Apa produk signature yang mewakili spirit brand ini?

Vina: Kita punya everyday shirt yang udah kita mention, which is idenya Karina, itu customer kita bener-bener suka banget, bisa dipake tiap hari untuk formal atau casual juga.

Karina: Pengennya karena udah 4 tahun sekarang, setiap koleksi kita punya everyday shirt yang evolve. Ada yang mungkin kerah atau lengannya kita ganti. Intinya adalah shirt yang kita pakai sehari-hari.

Lady Boss: K.A.L.A Studio (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

 

Bagaimana proses kolaborasi dengan para seniman terjadi? Adakah kriteria terkait seniman atau aliran tertentu?

Vina: Di kolaborasi ini kita biasanya brainstorming, bertukar ide dan pikiran dari mulai pertama sebelum produksi kita bikin konsep, color palette itu kita diskusi. Dan kita seneng banget dengan teamwork itu, seperti perkawinannya K.A.L.A Studio dengan seniman itu. Di setiap koleksi itu selalu ada message-nya, jadi K.A.L.A Studio dan seniman ngobrolin itu juga.

Dinda: Jadi kita nggak yang kita order sesuatu gitu tipenya. The canvas is blank, jadi kita fill in bareng-bareng.

Bagaimana cara K.A.L.A mengawinkan ide campaign untuk koleksi yang berbeda-beda, tapi tetap in line dengan karakter brand?

Dinda: Kita jatuh cinta banget sama karyanya mas Mulyana di Artjog 2018, Sea Remembers. Kita kan belum kenal sama Mas Mulyana, jadi kita beranikan diri kenalan dan dari situ kita telponan, diskusi, dan prosesnya dari situ panjang ya. Jadi nggak kita langsung bikin sesuatu bareng. Dari temenan dulu, cari waktu yang pas karena dia banyak exhibition di luar negeri. 2019 aku sama Karina sempat ketemu sama dia, diskusi lagi dan kemudian berjodoh itu di 2020. Tapi karena pandemi jadi kita ngga bisa kietemu. Dia ngehubungin kita di akhir Oktober 2020, waktu lagi mempersiapkan instalasi Unity in Diversity di Singapura dan dia butuh sesuatu yang lain karena selama pandemi kemungkinan orang datang ke gallery itu kecil sekali. Waktu itu dia mikir gimana caranya orang di Indonesia bisa menikmati karyanya. Akhirnya kerja sama dengan kita, dia foto karyanya yang di Jogja, kita foto dan olah jadi print, dan diolah jadi koleksi sampai 16 busana dengan teknik berbeda-beda.

Di situ akhirnya penggemar Mas Mulyana di Jakarta yang ngga bisa datang ke Singapura tetep bisa menikmati karya Unity in Diversity itu melalui busana kita. Pelanggan dia di Malaysia, Singapura, Hong Kong dan negara-negara lain jadi bisa beli karya dia di baju-baju kita.

Vina: So far kita nggak pernah ada perbedaan pendapat yang signifikan sih. Senimannya seneng banget mendengar ide kita, begitu pun sebaliknya. Jadi memang detail kayak nama produk, koleksi, messsage-nya apa, kita diskusi bareng-bareng.

Menginjak tahun keempat K.A.L.A Studio, apa saja dinamika bisnis yang dirasakan?

Karina: Kita harus cepat dan sigap untuk mengikuti trend market karena kita harus bisa adaptasi terutama pas pandemi.

Dinda: Jadi di 2020 Maret-April itu kita bahkan cancel 1 show kita, walaupun koleksi udah jadi. Akhirnya tetep kita launching secara digital. At that time website kita belum ready, jadi kita berjualan di Instagram dan WhatsApp. Trus akhirnya kita nambahin product berupa face mask, dalam 2 minggu kita tidur sampe jam 4 pagi ngerekap order kewalahan karena per hari kita bisa jual 1000-2000 masker. Akhirnya kita telpon web developer untuk segera launching. Dan penjualan naik 150 persen karena adanya website itu. Aku sama Karina juga lebih cepet rekap order sama tim di kantor.

Selain menambah jumlah koleksi tiap tahunnya, seberapa cepat K.A.L.A Studio ingin mengembangkan skala bisnis?

Vina: Kita bertiga sebenernya punya visi misi yang sama. Kita mengembangkan bisnis ini baby steps, nggak neko-neko. Kalau toko (offline) pasti pengen punya, tapi dengan kondisi yang seperti ini kita ingin mengembangkan distribusi channel kita, sama eksistensi kita dengan partner dan consignment. Jadi kita ingin developnya ke situ dulu.

Menurut Anda, seberapa perlu untuk mengikuti trend fashion?

Vina: Kita balance sih, biasanya kita ikutin trend itu untuk color palette-nya aja. Sementara untuk siluet clothing dan print-nya sendiri dari K.A.L.A dan senimannya sendiri.

Karina: Kita juga mungkin lebih mementingkan comfort and style gitu, jadi cuttingan-nya lebih bisa dipake sehari-hari yang casual dan wearable. Jadi pas orang mau beli nggak banyak mikir karena bajunya bisa dipakai terus-terusan.

Dinda: Kita juga ada misi khusus dari semua desain dan print yang kita tampilkan itu ada satu. Pengen bikin every woman feels good about herself tanpa perlu repot. Mau ke supermarket, ketemu client atau zoom meeting di rumah langsung ngerasa oke banget, bisa pede tanpa perlu ribet-ribet.

3 dari 3 halaman

Koleksi Berkesan dan Pesan untuk Perempuan

Lady Boss: K.A.L.A Studio (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Bicara soal koleksi, apa yang paling berkesan dari masing-masing founder?

Dinda: Waktu mengejar jadwal Mas Mulyana, karena saat itu memang dia sedang sibuk eksibisi di luar negeri. Bahkan kita sempet meeting pada saat dia sedang merangkai instalasi dia di Korea. Saat itu memang di tengah pandemi dan impossible buat ketemu. Akhirnya terwujud setelah penantian 1,5 tahun kita dapat jadwal yang pas. Pengerjaannya cukup cepet sih, tiga bulan sampai kita launching akhir tahun, dan durasi peak sale-nya lama banget sampai sepanjang tahun. Ada beberapa SKU yang sudah tidak diproduksi lagi karena bahannya sulit, jadi kita buat lagi dengan bahan yang bukan eco-fabric dan masih diproduksi terus sampai sekarang.

Kita juga sering ngobrol dengan rekan media, dan banyak yang berkesan dengan How Are You? Kita baru menyadari penting banget untuk say hello and say how are you? Bahkan untuk sekedar nanya kabar aja penting banget. Kita ada satu produk yang Thinking of You itu yang orang akhirnya kirim ke temannya. Karena nama print-nya Thinking of You, jadi kalau ada kerabat atau saudaranya ngirim Thinking of You itu bisa menyentuh.

Karina: Kalo aku sebenernya paling seneng kalo ngerjain desain dari in-house studio kita sendiri, di mana aku tuh pengen nunjukkin K.A.L.A Studio itu 'something', bahwa kita juga bisa kasih koleksi yang fresh ke consumer. Kalau specific collection aku suka yang Enchanted, dari awal tahun sampai sekarang ada produk baru, dan kali ini kita ngeluarin one-size fit all dan ternyata banyak yang tertarik. Jadi misalnya kalau kita kolaborasi dengan seniman, kita bisa bikin siluet yang seperti itu.

Vina: Yang pasti aku suka semua koleksi K.A.L.A Studio, dari Metamorphosis sampai Enchanted. Tapi untuk message yang paling 'deg' di aku itu The Earth Universe and Everything in Between. Dari namanya aja aku udah suka banget. Pas pandemi, it hits us banget. Kita tuh take it for granted sama alam di sekitar kita. Jadi koleksi itu adalah bentuk kita mengapresiasi alam dan bumi kita, jadi kena banget di aku. Sebenernya pada saat koleksi itu awal mula kita berpikir untuk going eco-friendly.

Ada tiga kepala dalam satu bisnis, apa biasanya yang memicu perdebatan? Bagaimana cara mengatasinya?

Karina: Kalau disagreement itu pasti ada lah, kita bertiga personalitynya beda-beda. Cuman so far selama kita bisnis bersama, setiap ada perdebatan langsung kita selesaiin saat itu juga. Sampai kalau kita butuh voting ya kita voting untuk mendapat jawaban yang kita sepakat. Setelah itu udah kayak normal lagi, nggak ada hard feeling. Pokonya kita selalu bicarain, di WA atau video call kita selalu ngobrol setiap hari.

Dinda: Karena kita semua vokal, jadi nada tinggi atau gimana dalam 30-45 menit selesai, habis itu kayak nggak ada apa-apa.

Sebagai sahabat, apakah ada waktu tertentu yang diluangkan untuk kumpul bersama?

Vina: Kita bertiga nyebutnya Kala Sisters, jadi udah kaya keluarga sih.

Dinda: Kita lebih ke menjalani kehidupan bareng-bareng aja. Kalau dulu sebelum pandemi kita agendakan trip bareng setahun sekali. Karena Vina tinggalnya di Melbourne setahun sekali kita traveling bareng. Suami-suami kita juga jadi deket satu sama lain.

Lady Boss: K.A.L.A Studio (Foto: Bambang E Ros, Digital Imaging: Nurman Abdul Hakim/Fimela.com)

Sama-sama sibuk dengan karier, bisnis dan keluarga, bagaimana cara membagi waktunya?

Karina: Aku mencoba mendekatkan pekerjaanku dengan keluargaku karena support itu penting banget. Kebetulan kantor K.A.L.A sama kantor suamiku searah ya, jadi berangkat dan pulang bisa bareng. Jadi kalau buat aku support dari keluarga itu nomor satu.

Dinda: Ya membelah diri aja sebanyak mungkin, multitasking lah intinya. Kalau buat Dinda kerja 12-18 jam itu biasa. Dinda juga minta pengertian dari Karina dan Vina. Jadi jam 6-7 khusus buat K.A.L.A, habis itu fokus di kantor. Bisa connect lagi pas lunch time, dan after dinner kita bisa bicara lagi. Kalau untuk anak-anak Dinda udah punya support system yang sudah dibentuk dari 2011 ya. Jadi anak-anak juga ada orang rumah yang bisa dipercaya, juga punya suami yang pengertian. Vina juga jadinya harus meluangkan waktu, karena waktu kita beda 4 jam, jadi meeting kita di sini jam 6 atau jam 7, di sana udah tengah malam.

Vina: Karena aku tinggal di Melbourne, time management dan being realistic itu penting banget. Di 2015 aku sempat kerja kantoran, dan susah lah untuk membagi waktu untuk K.A.L.A Studio, kerjaan, anak dan suami. Saat K.A.L.A Studio berkembang, aku dan suami sepakat kalo udah ga bisa kerja jadi auditor dan fokus di K.A.L.A. Aku tuh punya kalender jadi dari pagi sampe malem aku tau harus ngapain untuk keluarga dan K.A.L.A Studio.

Apa yang ingin disampaikan kepada satu sama lain?

Vina: Aku merasa mereka berdua kayak Yin dan Yang aku. Jadi aku ngerasa balance kalau ada mereka berdua, soal apapun. Karena setiap aku ada masalah personal atau bisnis, aku selalu ke mereka.

Dinda: Buat Dinda, Vina itu kayak motor untuk kegigihan kita. Saat kita udah ngerasa lelah, dia itu enerjik banget. Kalau dia masih On, kita juga harus tetep On. Walaupun kita terengah-engah harus mengimbangi kegigihan dia. Kalau untuk Karina karena dia paling muda, dia masih punya semangat bersosialisasi. Dan untuk bisnis kita itu kan sangat penting ya, sedangkan kalau Dinda tuh di kantor udah capek, ketemu orang di acara-acara media juga kadang melelahkan, kita punya Karina yang punya energi dari siang, sore dan malam hari.

Karina: Kalau buat aku sendiri, mereka berdua ini udah kayak kakak kandung aku sendiri. Beneran Kala Sisters itu mendefinisikan mereka berdua dalam hidup aku. Jadi kita saling melengkapi satu sama lain.

Apa pesan yang ingin disampaikan kepada para perempuan yang ingin mengejar mimpinya?

Vina: Kalau aku percaya banget bahwa usaha itu butuh hard work. Nggak ada yang instan. Kita bertiga ngelakuin semua bener-bener baby steps. Modal dari 20 juta each, sekrang jadi miliaran untuk omset kita. Jadi harus bekerja keras sih.

Dinda: Karena semua awalnya dari mimpi Dinda sendiri untuk punya brand, jadi kadang ngebatin ternyata bisa ya pakai keringat sendiri kita bisa menghasilkan sekian M. Ternyata itu kan mimpi yang bisa jadi kenyataan. Jadi menurut aku jangan takut kalo kita punya mimpi ya mimpiin aja terus sampai ada saatnya kita berusaha mewujudkan, kita bertemu partner yang tepat dan dananya terkumpul, just do it. Sebenernya kita ngga tau sampai kaya sekarang, tapi at least kita berani nyoba.

Karina: Do something that you love. Kalau kamu ngerjain sesuatu yang kamu suka, pasti ngerjainnya lebih gampang dan ngejalaninnya juga lebih enak.