Kehilangan 7 Kerabat karena Corona, Berkumpul dengan Keluarga Kini Terasa Berbeda

Endah Wijayanti diperbarui 24 Jun 2022, 11:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Di bulan Juni ini, Fimela mengajakmu untuk berbagi cerita tentang keluarga. Untuk kamu yang seorang ibu, anak, mertua, menantu, kakak, atau adik. Ceritakan apa yang selama ini ingin kamu sampaikan kepada keluarga. Meskipun cerita tak akan mengubah apa pun, tapi dengan bercerita kamu telah membagi bebanmu seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela dalam Lomba My Family Story: Berbagi Cerita tentang Sisi Lain Keluarga berikut ini.

***

Oleh: Ika Susanti

Pagi itu, tepat di bulan Juni setahun yang lalu, entah mengapa perasaan saya tidak menentu. Malam sebelumnya saya mendapat berita tentang kondisi tante dan sepupu saya yang drop di Surabaya. Berita itu sebetulnya sangat mengejutkan, karena saya mengenal tante saya itu sebagai sosok ibu yang kuat dan sangat energik.

Selama ini saya tidak pernah mendengar kabar mereka sakit.  Dan benar saja, tak lama kemudian saya mendengar berita duka. Pk. 09.40 tante saya meninggal di Surabaya karena Covid, dan pk. 12.20 menyusul sepupu saya karena sakit yang sama.

Innalillahi wainna ilaihi roji'un.

Awal Kisah Sedih

Tante saya tinggal berdua bersama suaminya di salah satu kota kecil di Jawa Timur. Ketiga anak lelaki mereka sudah bekerja, dan tinggal di kota yang berbeda. Kepergian mereka ke Surabaya, bertujuan untuk tindak lanjut pengobatan suaminya. Karena om saya ini perokok berat selama bertahun-tahun, hingga paru-parunya bermasalah.

Ditemukan tumor (mungkin malah sudah tergolong kanker) di paru-parunya yang juga sudah menyebar ke hati dan lambung. Rumah sakit daerah di kota kecil tempat tinggalnya sudah tidak mampu mengatasi kondisi tersebut. Sehingga om saya dirujuk ke salah satu rumah sakit pemerintah di Surabaya.

Pergilah mereka ke Surabaya didampingi salah satu anak lelakinya. Tante saya waktu itu bahkan sempat berpamitan via telepon, minta didoakan untuk kesembuhan suaminya.  Saya pun memberikan dukungan dan berpesan padanya untuk menjaga kesehatan. Kami saling berjanji untuk bertemu lagi setelah pandemi berakhir.  Berharap kondisi om saya segera membaik, dengan penanganan medis yang lebih baik di Surabaya.

 

 

 

 

 

 

2 dari 4 halaman

Serangan Badai Covid

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/photographeeeu

Sesampainya di Surabaya om saya langsung menjalani rawat inap di rumah sakit, karena kondisinya memang sudah cukup parah. Tante saya dan dua anak lelakinya bergantian jaga di rumah sakit. Selama di Surabaya mereka tinggal di rumah sepupu saya, anak dari tante yang lain.

Saat itu kasus Covid di Surabaya sedang tinggi hingga benar-benar meledak. Setelah seminggu om saya sempat menjalani rawat inap, kemudian diminta dokter rawat jalan tiga hari sekali. Selain karena occupancy rumah sakit yang penuh, juga untuk menjaga keselamatan om saya agar tidak terpapar  Covid. 

Aktivitas bolak balik ke rumah sakit dalam kondisi ledakan Covid membuat saya sungguh khawatir. Tapi apa boleh buat, keadaan om saya mengharuskan demikian.  Selama di Surabaya, om saya tidak bisa lepas dari tabung oksigen. Dua anak lelakinya yang bergantian menemani ayah ibunya bolak balik ke rumah sakit selama dua minggu.

Dan benar saja kekhawatiran saya, tante dan sepupu saya terpapar Covid hingga meninggal. Selama proses evakuasi pada hari nahas itu, saya hanya bisa mengikuti berita dari whatsapp grup keluarga. Dan esoknya saya baru bisa menghubungi anak pertama untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa.

3 dari 4 halaman

Perjuangan Melawan Badai Covid

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Chankowet

Sembari mengucapkan bela sungkawa, saya mendengarkan ceritanya tentang kronologi peristiwa memilukan itu. Pagi itu dia pergi ke Surabaya berniat menjemput ibunya, membawanya pulang untuk berobat di kota kecil tempat tinggalnya. Kondisi ibunya demam dan sesak napas, tapi rumah sakit Surabaya tidak bisa menampungnya karena penuh. 

Sesampainya di Surabaya dia justru menemukan kondisi ibunya yang sudah meninggal. Sementara sepupunya dalam kondisi tidak sadarkan diri. Mereka bertiga saling berbagi tugas. Anak pertama bertugas mencari ambulan dan pertolongan petugas nakes. Anak bungsu menghubungi aparat RT dan satgas Covid setempat.  Sementara anak tengah menjaga jenazah ibu dan sepupunya yang sakit parah, ditemani saudara ibunya.

Perjuangan mencari ambulan dan petugas nakes tidaklah mudah. Sepupu saya bercerita betapa sulit upayanya keliling Surabaya dari rumah sakit ke rumah sakit tanpa mendapatkan hasil. Hingga akhirnya mendapat pertolongan dari sebuah rumah sakit swasta, artinya harus ada konsekuensi biaya yang dikeluarkan. Dan karena dalam kondisi terdesak opsi itupun diterimanya.

Sesampainya di rumah duka, dia menemukan kondisi sepupunya juga sudah meninggal. Atas saran petugas nakes dan tim satgas Covid, diputuskan membawa ayahnya dan jenazah ibunya pulang secara terpisah. Jenazah ibunya dibawa pulang oleh anak pertama dengan ambulan, untuk dimakamkan di kota kecil tempat tinggalnya. Sedangkan jenazah sepupunya akan dimakamkan di Surabaya diurus saudara ibunya.

Sementara anak tengah dan bungsu bertugas menemani ayahnya pulang. Selama di perjalanan om saya tidak berhenti menanyakan kemana istrinya. Rupanya selama tante saya sakit mereka menempatkannya di kamar terpisah, hingga om saya tidak mengetahui kondisi istrinya.  Kedua anaknya menjelaskan bahwa ibunya sakit dan sedang dirawat di rumah sakit ditemani kakaknya.

Pemakaman tante saya dengan prokes dilakukan malam itu juga, hanya disaksikan anak pertama dan perangkat desa. Dan sampai di rumah setelah pemakaman, sepupu saya pun terpaksa bersembunyi dari ayahnya agar tidak ditanya-tanya ibunya kemana.

4 dari 4 halaman

Pasca Badai Covid

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/GBALLGIGGS

Masalah selanjutnya mereka bingung bagaimana memberitahu ayahnya, bahwa ibunya sudah tiada. Keluarga memberi saran agar meminta pertolongan ulama setempat untuk menyampaikan ke ayahnya. Karena masalah itu sangat sensitif tidak bisa disampaikan melalui telepon. Apalagi ditambah stok oksigen yang mulai habis. Oksigen sedang langka dimana-mana, tabung barunya sangat mahal. Mereka hanya punya dua tabung kecil pinjaman untuk diisi ulang.

Sepupu saya berupaya mencari oksigen dulu sebelum memberitahukan perihal ibunya, kuatir om saya shock dan drop.  Saya ikut membantu mencarikan oksigen melalui teman-teman saya di kota kecil tersebut. Saya sungguh bersyukur upaya mencari tabung oksigen akhirnya berhasil. Paling tidak ada tambahan satu tabung lagi untuk mensupport om saya, agar bisa bertahan lebih lama.

Seperti yang sudah diperkirakan, setelah om saya tahu keadaan yang sesungguhnya kondisinya makin menurun dan tidak punya semangat hidup. Beliau meninggal menyusul istrinya seminggu kemudian. Meninggalkan ketiga anak laki-lakinya yang hebat, sangat kompak dan kuat berjuang mendampingi orang tuanya melawan badai Covid.

Badai Pasti Berlalu

Badai Covid Delta tahun lalu memang luar biasa. Dalam waktu kurang dari dua bulan, telah membuat saya kehilangan tujuh kerabat, dua sahabat dan entah berapa banyak teman. Covid telah mengajarkan kepada kita, betapa berharganya waktu dan kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai. Kita tidak tahu sampai kapan kita bisa bersama mereka, dan dengan cara apa kita akan dipisahkan.

Lebaran tahun ini menjadi momen berkumpul pertama bagi keluarga tanpa kehadiran mereka. Suasana terasa sangat berbeda, ada yang hilang dan menyisakan kesedihan mendalam. Tapi juga ada rasa syukur dapat melewati badai Covid dengan selamat. Seperti sepenggal lirik lagu Alm. Chrisye, "Kini semua bukan milikku, musim itu telah berlalu, matahari segera berganti, dan....badai pasti berlalu". 

 

#WomenforWomen