Fimela.com, Jakarta Di bulan Juni ini, Fimela mengajakmu untuk berbagi cerita tentang keluarga. Untuk kamu yang seorang ibu, anak, mertua, menantu, kakak, atau adik. Ceritakan apa yang selama ini ingin kamu sampaikan kepada keluarga. Meskipun cerita tak akan mengubah apa pun, tapi dengan bercerita kamu telah membagi bebanmu seperti tulisan kiriman Sahabat Fimela dalam Lomba My Family Story: Berbagi Cerita tentang Sisi Lain Keluarga berikut ini.
***
Oleh: Martya Putri
Beberapa orang beruntung tumbuh dalam keluarga yang harmonis, sedang yang lainnya beruntung bertahan dan berjuang dalam keluarga yang kurang harmonis. Sebagian berhasil mengatasi luka masa lalunya dan setelah dewasa membangun keluarga yang penuh cinta meski sebagian lainnya terjerumus dalam kekosongan-kekosongan cinta masa kecilnya.
Setiap pribadi punya cara untuk menjalani hidup, tak ada satupun yang berhak merampas kebebasan itu. Meski masyarakat punya standar, tapi kita berhak menentukan standar kita sendiri. Mengikuti setiap standar dalam masyarakat hanya akan membuat hati kita terasa berat.
Misalnya saja dalam hal pernikahan, masyarakat kita cenderung mempunyai standar bahwa jika kita menikah maka kita harus bersama dalam satu rumah untuk membangun sebuah keluarga bahagia. Tapi keadaan terkadang memaksa kita untuk berjauhan dan menjalani Long Distance Marriage (LDM).
Seperti yang terjadi padaku, 4 tahun pertama pernikahan, aku masih tinggal bersama dengan suami menjalani hari-hari bahagia dengan buah hati kami. Tapi sekarang sudah tiga tahun kami menjalani LDM. Karena tugas, aku pindah kerja di kabupaten tetangga yang jaraknya kira-kira 3 jam dari tempat tinggal kami dulu.
Hidup Berjauhan dari Suami
Perjalanan keluarga kami yang saat itu sudah cukup tertata akhirnya harus mengalami perubahan. Beberapa hal harus kami atur kembali demi kenyamanan bersama. Keadaan yang baru membuat kami harus menambah komitmen dalam rumah tangga kami.
Sejak awal pernikahan, kami selalu memegang prinsip bahwa suami dan istri mempunyai kedudukan yang sama dalam rumah tangga, dalam arti kami punya hak dan kewajiban masing-masing yang harus kami penuhi. Karena sudah memutuskan untuk menikah maka keluarga inti kami adalah suami, istri, dan juga anak.
Meski keluarga inti adalah prioritas tapi kami selalu saling mengingatkan bahwa kami masih punya kewajiban pada keluarga besar. Iya, masing-masing dari kami sudah tidak punya ayah, mama adalah satu-satunya keluarga yang kami punya. Setelah menikah kami masing-masing jadi punya dua mama.
Menjalani LDM saja sudah cukup menguras energi untuk suami istri, apalagi kami dikaruniai anak yang harus kami penuhi haknya. Belum lagi omongan orang yang luar biasa beragam. Dari mulai “Kok tega sih ninggalin anak sama ayahnya? Harusnya kan anak sama ibunya." Sampai ucapan “Awas lhoo nanti suaminya di ambil orang?” Oh God! How do I survive?
Awalnya sih sempat sebel kalau ada yang bicara begitu, dalam hati mikir, “Kok tega sih orang-orang itu ngomong gitu? Apa nggak ada kata-kata yang bagus." Kadang kalau jengkel sempat juga dalam hati bilang “Jelek amat omongannya, mudah-mudahan dia nanti LDR juga terus suaminya diambil orang.” Tapi buru-buru ingat bahwa Tuhan itu Maha Adil dan kita harus berprasangka baik.
Tiap Anggota Keluarga Punya Peran Penting
Sekarang sudah ada di level terserah orang mau ngomong apa jangan sampai aku jengkel dan berdoa yang buruk, Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Aku hanya perlu mengusahakan yang terbaik untuk keharmonisan keluarga kami.
Dalam perjalanan keluarga kami yang baru memasuki usia 7 tahun pernikahan, banyak hal yang terjadi. Bersyukur bisa bertahan dalam setiap naik dan turunnya.
Terima kasih pada suamiku. Meski tidak seganteng Yang Yang (Chinese drama actor), tapi selalu menjaga dan menghormatiku sebagai istri. Meski tak sekaya suami Kim Tae Hee tapi sama-sama mau berbagi tugas menjaga anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Meski tak seimut BTS tapi tak pernah rewel dan selalu mendukungku. Meski bukan ketua DPR tapi selalu menjadi pemimpin yang baik dalam keluarga kami.
Terima kasih pada buah hati kami, yang tumbuh menjadi anak yang sholihah dan sehat. Terima kasih karena sudah mengerti bahwa ayah dan ibunya kerja sehingga tidak rewel. Terima kasih karena dari lahir sampai saat ini sekolah TK telah menyadarkan kami ayah dan ibumu akan banyak hal. Semoga aku bisa menjadi ibu yang semakin baik kedepannya.
Tak hanya suami dan anak, kurasa keluarga kami tak akan harmonis tanpa doa dari kedua mama kami. Yang pertama terima kasih untuk mamaku yang tidak pernah protes karena anak perempuannya tinggal jauh di lain pulau dan jarang pulang. Anak mana yang tidak ingin tinggal dekat dengan orang tuanya? Tapi manusia hanya bisa berencana bukan? Tuhan menulis takdir kita.
Terima kasih telah mendoakan kami dalam setiap langkah. Yang kedua untuk mama mertuaku, terima kasih telah membantu menjaga buah hati kami. Tanpa mama, kami tidak akan tenang bekerja. Karena ada mama yang menjaga buah hati kami dirumah, maka kami bisa berangkat kerja dengan nyaman.
Terima kasih karena meskipun tinggal dengan mertua, aku tidak pernah harus bangun lebih pagi, mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, ataupun menyediakan semua keperluan dalam rumah.
My family won’t run well if I don’t have them. Thanks a bunch! Setiap keluarga punya kisahnya sendiri dan kita tidak akan benar-benar tahu bagaimana rasanya berada dalam situasi dan kondisi orang lain.
Dalam bahasa Jawa ada ungkapan sawang sinawang, dalam Bahasa Indonesia ada ungkapan "rumput tetangga memang lebih indah", intinya sama, tak perlu merasa hidup orang lain lebih baik dari hidup kita, pun sebaliknya.
#WomenforWomen