Ada Peningkatan Kasus COVID-19 Varian BA.4 dan BA.5 di Indonesia, akankah Upaya Endemi Terhambat?

Fimela Reporter diperbarui 18 Jun 2022, 16:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Sejak dua varian COVID-19 BA.4 dan BA.5 terkonfirmasi masuk ke Indonesia pada Kamis lalu, telah terjadi peningkatan kasus meskipun tidak signifikan. Peningkatan kasus ini memicu kekhawatiran upaya menuju endemi yang diperkirakan bisa dicapai akhir tahun 2022.

Sekretaris Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi angkat bicara mengenai kekhawatiran ini. Berdasarkan observasinya, peningkatan kasus COVID-19 ini bisa dibilang sedikit dengan positivity rate di angka 1,4 hingga 1,5 persen.

Nadia melihat penyebab kenaikan kasus ini tidak hanya disebabkan oleh dua sub varian COVID-19, tapi juga mobilitas masyarakat yang tinggi setelah liburan Lebaran. Sekitar 80 juta masyarakat yang melakukan mobilitas mudik. Jumlah ini tinggi dan setiap pergerakan selalu menyumbang penambahan kasus, walaupun sejauh ini belum muncul klaster baru secara luas.

Atas dasar penilaian ini, peningkatan kasus seperti ini adalah wajar dan masih di jumlah yang rendah sehingga tidak mengganggu upaya menuju endemi.

“Jadi pandemi yang terkendali ini dengan adanya jumlah kasus yang sedikit meningkat itu sebenarnya merupakan sebuah dinamika dari penularan tapi tetap dalam koridor bahwa pandemi ini masih terkendali,” ujar Nadia.

Selama empat minggu terakhir laju angka penularan cenderung diangka satu, bahkan sempat masih di bawah angka satu, 0,96.

2 dari 4 halaman

Mungkinkah endemi tercapai pada Agustus?

Ilustrasi kejenuhan masyarakat dengan pandemi dan berharap endemi segera tercapai. (Sumber foto: Pexels.com).

Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Merves) menyarankan kepada Presiden Jokowi untuk tidak gegabah dalam mencabut status COVID-19 dari pandemi jadi endemi. Situasi yang sepenuhnya belum terkendali, terutama peningkatan kasus harian sebanyak 500 beberapa hari belakangan, sehingga Luhut merekomendasikan Presiden untuk tetap sabar.

Mengutip dari Liputan6, berkaca pada beberapa negara lain yang juga mengalami peningkatan kasus, seperti Amerika Serikat salah satunya. Menurut pandangan Luhut, agak sulit untuk mengubah status menjadi endemi.

"Sebabnya kita tidak buru-buru masuk di endemi. Dan itu saya sarankan pada Presiden minggu lalu, kita tunggu dulu dua bulan ini," kata Luhut saat rapat Banggar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/6).

3 dari 4 halaman

Pandemi terkendali butuh validasi

Kesibukan di rumah sakit. (Sumber foto: Pexels.com).

Epidemilog Dicky Budiman berpendapat bahwa pandemi di Indonesia masih belum terkendali. Indikator dari ‘terkendali’ dilihat dari tren penurunan dan penurunan indikator saat ini mampu bertahan.

“Kalau bicara terkendali, kita harus sabar. Karena terkendali itu bukan hanya melihat indikator kasus infeksi yang menurun atau tidak terdeteksi, bukan hanya melihat dari sisi kematian atau keparahan atau angka reproduksi dan test positivity rate saja,” jelas Dicky.

Untuk mengukur indikator ini paling cepat kita bisa mengatakan bahwa ini benar terkendali jika semua tren dan indikator bertahan selama tiga bulan berturut-turut, tidak naik turun.

Pendeteksian perlu disertai deteksi dini, tes, dan telusur yang memadai. Masalahnya deteksi dini masih menjadi kelemahan Indonesia. Terkendali atau tidak perlu dilihat perkembangan selama 3 hingga 6 bulan ke depan.

“Kita tunggu sampai Agustus lah, kalau Agustus situasinya sama seperti ini, saya kira kita punya kepercayaan diri bahwa pandemi akan terkendali. Dari saat ini sampai Agustus kita harus berupaya menjaga bahkan meningkatkan cakupan level PPKM,” kata Dicky.

4 dari 4 halaman

Pandemi terkendali butuh validasi

Ilustrasi Ibukota DKI Jakarta. (Sumber foto: Pexels.com)

“Status pandemi dapat dicabut ketika sepertiga negara di dunia berada dalam level endemi atau terkendali (sporadis). Jika mayoritas negara masih epidemi maka pandeminya masih berjalan lama,” kata Dicky pada Senin (21/3).

Endemi berarti negara masuk ke dalam indikator di mana angka reproduksinya paling tinggi di angka satu, dengan test positivity rate di bawah 5%. Kasus kematian juga tidak dalam tren meningkat, semakin menurun atau dalam angka yang rendah. Dicky menjelaskan, indikator tersebut yang menjadi kondisi yang memadai untuk perubahan ke status endemi

Di sisi lain, untuk kondisi terkendali, Dicky menerangkan bahwa hal ini dapat ditandai dengan tidak adanya kasus penularan dan kematian selama berbulan-bulan atau berminggu-minggu. Penetapan dan pencabutan status pandemi sendiri adalah kewenangan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Hal ini diatur dalam konvensi International Health Regulation.

“Jadi apapun yang terjadi, sebelum WHO mencabut status pandemi ya secara hukum global COVID ini tetap pandemi. Di sisi lain, pencabutan status pandemi memerlukan upaya bersama yang dimulai dari masing-masing negara," pungkasnya.

 

*Penulis: Tasya Fadila.