Fimela.com, Jakarta Tepat setiap tanggal 1 Juni diperingingati dengan Hari Susu Dunia. Untuk memeringatinya ada baiknya kita berefleksi sejenak, mengenai permasalahan stunting di Indonesia.
Hal ini dikarenakan, salah satu penyebab stunting yaitu kekurangan nutrisi, khususnya protein hewani. Menurut dr. Kurniawan Satria Denta, M.Sc. Sp.A, Penyebab stunting ada dua. Pertama karena malnutrisi berkelanjutan, dan kedua karena sakit kronis. Ia melanjutkan, protein hewani penting dalam mencegah stunting.
“Sayangnya, konsumsi protein hewani di Indonesia masih rendah,” ujar dr. Kurniawan.
Dwi Listyawardani, Penyuluh KB Ahli Utama BKKBN pun mengungkapnya berdasarkan Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) 2021, konsumsi protein hewani hanya 21,5 gr/kapita/hari. Ini berarti hanya sekitar 1/3 dari konsumsi protein keseluruhan yang mencapai 62,28 gr/kapita/hari.
“Angka tersebut sesungguhnya melebihi standar kecukupan konsumsi protein nasional yaitu 57 gr/kapita/hari,” paparnya.
Padahal, proteinn hewani tidak harus mahal. Dwi menyarakan untuk mengonsumsi bahan pangan lokal seperti telur dan ikan. Apalagi, ini bisa diproduksi lokal.
“Misalnya dengan membuat kolam-kolam lele dan memelihara ayam petelur di desa setempat,” terangnya.
Adapun susu, tentu saja merupakan salah satu sumber protein hewani yang penting. Susu dibutuhkan sepanjang usia. Dalam pencegahan stunting, susu menjadi bagian penting dalam pencegahan stunting di hulu, yaitu dalam pemenuhan nutrisi remaja putri dan calon pengantin.
Susu juga bisa dikonsumsi sebagai salah satu sumber protein hewani. Dari masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, susu bisa menjadi bagian dari pemenuhan zat gizi.
“Susu sangat diperlukan oleh remaja (putri) dan ibu hamil. Kalau ibu mau sukses memberi ASI, harus minum susu,” imbuh Dwi.
Protein Hewani untuk Tumbuh Kembang Anak
Rendahnya asupan protein hewani menjadi masalah besar bila terjadi pada masa kanak-kanak, khususnya 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Baik protein hewani maupun nabati, sama-sama dibutuhkan oleh anak. Namun dalam hal tumbuh kembang, protein hewani lebih utama ketimbang protein nabati.
Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, Guru Besar Tetap FKM UI Bidang ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat memaparkan jika protein hewani mengandung asam amino esensial lengkap. Tubuh memerlukan sekitar 20 jenis asam amino. Dari jumlah tersebut, 9 di antaranya adalah asam amino esensial, yang hanya bisa didapatkan dari makanan.
Asam amino esensial inilah yang berperan penting dalam mendukung pertumbuhan anak, serta perkembangan sel-sel otaknya. Protein nabati sebenarnya juga memiliki asam amino esensial, tapi tidak lengkap. Hanya protein hewani yang mengandung kesembilan asam amino lengkap.
Bila anak terus menerus kekurangan asam amino, lambat laun pertumbuhannya terganggu, dan sel-sel otaknya kekurangan nutrisi sehingga perkembangannya pun terhambat. Akhirnya, risiko stunting mengintai. Memang, penyebab stunting tidaklah tunggal. Banyak sekali faktor yang berperan dalam munculnya stunting.
“Namun, kurangnya protein hewani merupakan salah satu penyebab stunting. Anak harus cukup mendapat protein hewani,” tegas Prof. Fika, begitu ia biasa disapa.
Stunting adalah kondisi kurang gizi kronis, bukan sekadar gangguan pertumbuhan. Selain anak menjadi pendek, fungsi kognitif otaknya pun ikut terdampak, dan ini sulit dipulihkan lagi.
Bayi baru lahir pun bisa stunting, bila sejak dalam kandungan tidak mendapat asupan gizi yang baik, lantaran ibu kurang gizi selama hamil. Bila asupan gizi ibu selama hamil baik, tentu bayi akan terhindar dari stunting. Apalagi jika bayi mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan. Selepas masa ASI eksklusif 6 bulan, bayi perlu mendapat MPASI.
“Nah, di tahap ini bisanya terjadi masa kritis, atau risiko kekurangan gizi,” ucap dr. Denta.
Ia melanjutkan, MPASI adalah waktu yang tepat untuk memperkenalkan protein, baik hewani maupun nabati. Tentunya, prinsip pemberian MPASI adalah makanan dengan gizi lengkap dan seimbang. Artinya, juga harus mengandung juga karbohidrat, lemak dan vitamin serta mineral. Yang pasti, MPASI tidak bisa menu tunggal, misalnya hanya sayur atau buah saja.
Pentingnya Edukasi untuk Calon Ibu
Usaha pencegahan stunting harus dimulai dari hulu, jauh sejak sebelum masa konsepsi. Yaitu sejak masa calon pengantin, bahkan remaja.
“Bila calon pengantin menikah dalam kondisi anemia dan kurang gizi lalu hamil, ini akan menjadi awal dari masalah kurang gizi pada bayi dan baduta kita,” tandas Dani.
Ia menjelaskan, 40% calon pengantin perempuan mengalami anemia. Ini sejalan dengan data RISKESDAS 2018 yang menyatakan, angka anemia pada wanita usia subur (WUS) mencapai 48,9%. Gawatnya lagi, 35% calon pengantin perempuan mengalami kurang energi kronis (KEK) alias sangat kurus. Sementara itu, intervensi untuk mengatasi KEK membutuhkan waktu lebih lama.
“Kalau anemia, bisa membaik dalam beberapa bulan setelah diberi tablet penambah darah. Sedangkan untuk membuat tubuh lebih berisi, akan lebih lama,” imbuhnya.
Dwi melanjutkan, calon pengantin diharapkan untuk mendaftarkan pernikahan tiga bulan sebelumnya. Sebabnya, calon pengantin perlu diukur IMT dan lingkar lengan atas, serta diperiksa kadar Hb-nya.
“Dengan demikian seandainya kurang masih ada waktu untuk perbaikan,” ujar Dwi.
Menilik berbagai persoalan di atas, edukasi gizi untuk calon ibu pun menjadi hal yang mutlak, bila kita ingin mencegah stunting, dan memutus mata rantainya. Remaja putri harus sadar dan paham untuk mengasup zat gizi makro (karbohidrat, protein, lemak) dan mikro (vitamin, mineral) dalam jumlah yang cukup setiap hari.