Fimela.com, Jakarta Menjadi seorang pengusaha yang bergerak di bidang fashion telah lama menjadi angan-angannya. Sempat mengambil sekolah fashion business, Sarita Farah Sasradipoera terus mempelajari bagaimana sebuah bisnis pakaian berjalan hingga akhirnya berhasil menciptakan bisnisnya sendiri.
SASSH, itulah nama yang Farah sematkan kepada bisnis pakaian yang ia geluti saat ini. Bersama dengan partnernya, Yafi, Farah bertekad mendirikan bisnis pakaian yang menerapkan prinsip slow fashion kala pandemi Covid-19 melanda.
Saat pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, Farah dan Yafi yang berbasis di Jakarta terpaksa terus menjalani berbagai kegiatan dari rumah. Merasa jenuh, mereka lalu memanfaatkan waktu luang dengan mencoba membuat loungewear.
“Waktu pandemi kemarin aku lumayan mengisi waktu luang dan lagi senang-senangnya melukis, jadi coba diaplikasikanlah ke kain,” ujar Farah saat dihubungi Fimela.com via telepon belum lama ini.
Awalnya, mereka berkreasi menciptakan loungewear tersebut untuk kesenangan pribadi semata. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak dari kerabat dan temannya yang ternyata menyukai pakaian yang mereka kreasikan. Sejak saat itulah, Farah dan Yafi bertekad mendirikan SASSH.
Kini, SASSH telah berdiri selama dua tahun dengan menyajikan berbagai pilihan produk apparel berdesain unik dengan paduan bright colors yang berani. Dengan produk andalan berupa apparel, SASSH juga menyediakan aksesoris, seperti tote bag dan masih banyak produk menarik lainnya.
Terapkan slow fashion dengan lawan overproduksi
Nilai utama yang SASSH miliki ialah menerapkan fashion berkelanjutan. Farah melihat, banyak masalah timbul karena industri fast fashion yang menjamur. Setelah banyak mempelajari hal tersebut, Farah bersama partner bisnisnya mengakui ada banyak fakta di lapangan yang pada akhirnya membuka mata mereka.
Tiga perhatian utama yang menjadi landasan SASSH ialah the planet, the people, dan the product. Maksudnya, Farah ingin produk yang ia produksi benar-benar produk yang dibuat sesuai kebutuhan.
“Jadi, memang pada awalnya kita hanya menerima made by order sehingga dengan cara itu kami bisa meminimalisir overproduction. Kami memproduksi produk sesuai demand dan misalnya ada yang bisa ready, kita benar-benar menyediakan limited stock,” papar Farah.
Farah mengatakan, meskipun sudah melimitasi produksi, kehadiran limbah pakaian tak bisa ia hindari. Ia tak menampik, produksi produk-produk SASSH masih kerap menciptakan limbah. Menyiasati hal itu, Farah memanfaatkan limbah produksi menjadi produk layak pakai dan bernilai guna.
“Jadi, sistem ekonomi sirkular ini yang menurut aku dan partner bisa membantu industri fashion jadi lebih baik,” ujarnya.
Selain demi melestarikan bumi, Farah juga memperhatikan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bekerja bersama SASSH. Ia menyebut, slow fashion bukan hanya perihal usaha melestarikan lingkungan, tetapi juga memberdayakan masyarakat sekitar. Selama produksi, SASSH banyak melibatkan UMKM rumahan, seperti pengrajin rajut hingga penjahit rumahan yang terdampak saat pandemi Covid-19.
“Kami terus belajar dan berusaha sepenuhnya menjadi sustainable brand, jadi cara-cara yang kami tempuh untuk ke tahap sana adalah dengan membatasi production, utilise lagi limbah jadi produk bermanfaat, jadi kami memanfaatkan waste tak hanya produk yang baru, tetapi juga jadi packaging,” ucapnya.
Biasanya, setelah tahap produksi pakaian selesai, tim internal SASSH akan mengkurasi limbah berdasarkan warna dan ukuran. Hal tersebut mereka lakukan agar nantinya, limbah bisa lebih mudah dikelola menjadi barang berguna lainnya, termasuk packaging.
Sebelum sampai di tangan pelanggan, produk SASSH dibungkus menggunakan pouch serut dari sisa limbah. Selain itu, Farah juga memanfaatkan sisa limbah pakaian lain untuk ia jadikan sebagai pembungkus sehingga seluruh elemen di dalam produknya tetap ramah lingkungan.
Sukses curi perhatian pasar internasional
Prinsip yang kuat selama membangun clothing line nyatanya membuahkan hasil yang sama sekali tak Farah sangka sebelumnya. Salah satu hal menarik yang sekaligus menjadi pencapaiannya ialah SASSH berhasil menarik perhatian masyarakat lokal dan internasional.
Ia merasa senang saat mengetahui produk yang ia ciptakan mulai diterima di pasar luar negeri, nampak dari pelanggan yang tersebar di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Inggris. Saat ini, SASSH melayani pemesanan dari dalam dan luar negeri.
Farah juga mengungkapkan antusiasmenya kala mengadakan instalasi pop-up pertama SASSH beberapa waktu lalu. Ia menyebut, hadirnya SASSH di tengah pelanggan secara langsung merupakan hal yang menyenangkan. Sebab, saat itu ia bisa berinteraksi langsung sembari menerangkan kesadaran slow fashion kepada para pelanggan.
“Enggak cuma memperkenalkan barang-barang SASSH, tetapi kita juga jadi lebih kenalin SASSH itu apa ke mereka (pelanggan). Jadi pengalaman seperti ini yang membuat kami ingin terus berkembang,” tuturnya.
Kesuksesan SASSH yang mampu mencapai pasar internasional ini tak lain dan tak bukan berkat konsistensi kualitas produknya. Selain terus menjaga kualitas produknya, Farah percaya, pelayanan yang maksimal akan berbuah pada customer loyalty nantinya.
“Kami menerapkan strategi out of the box, tetapi tetap relevan. Jadi, berkarya melalui apa yang kita suka, tapi tetap mempertimbangkan kebutuhan pasar. Dengan menjaga kualitas produk, berinteraksi langsung dengan pelanggan, kami percaya service yang baik akan menarik pelanggan dengan sendirinya,” tutupnya.
Penulis: Ersya Fadhila Damayanti
#Women for Women