Fimela.com, Jakarta Tok! RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) resmi disahkan menjadi undang-undang melalui sidang paripurna DPR pada Selasa, (12/4/2022).
Pengesahan RUU TPKS disambut baik dari publik yang telah menanti-nanti sejak lama. Betapa tidak, pengesahan RUU tersebut menempuh perjalanan panjang yang berliku-liku sejak digagas 10 tahun yang lalu.
Bahkan, tidak jarang RUU TPKS tersebut disambut dengan pertentangan dari berbagai pihak. RUU ini sendiri awalnya bernama RUU Pencegahan Kekerasan Seksual atau RUU PKS, namun seiring berjalannya waktu berubah nama menjadi RUU TPKS.
Lantas, seperti apa perjalanan yang ditempuh banyak pihak dalam pengesahan RUU TPKS ini? Simak kilas balik perjalanan panjang RUU TPKS selama 10 tahun berikut ini hingga disahkan pada Selasa, 12 April 2022.
Perjalanan RUU TPKS Selama 10 Tahun
2012
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggagas RUU PKS sejak 2012 menyusul kondisi Indonesia yang darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Kehadiran RUU itu dinilai mereka mampu memberikan perlindungan terhadap korban sekaligus mencegah kekerasan seksual.
2014
Komnas Perempuan bersama LBH Apik Jakarta dan Forum Pengada Layanan (FPL) mulai menyusun draf RUU PKS.
2016
DPR baru meminta Komnas Perempuan untuk menyerahkan naskah akademik RUU PKS. Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap masalah tertentu dalam suatu RUU.
RUU PKS direncanakan terdiri atas 12 bab yang meliputi pencegahan, penanganan korban, penindakan, dan rehabilitasi. Sebanyak 70 anggota DPR mengusulkan agar RUU PKS ini dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2016. Namun 2016 berlalu tanpa pengesahan RUU P-KS.
2017
DPR menyepakati RUU PKS sebagai usulan inisiatif DPR.
Sempat Dicabut dari Prolegnas
2018
Pembahasan RUU PKS mulai menemui jalan berliku. Beberapa anggota parlemen mulai mempermasalahkan beberapa hal di dalam RUU, seperti pemuatan marital rape sebagai kekerasan dan perlindungan terhadap lesbian, gay, bisexual, transgender dan queer (LGBTQ) yang dianggap bertentangan dengan agama.
Bahkan, ada yang menganggap kehadiran RUU PKS justru memberi celah masyarakat melakukan zina dan seks bebas. Kebuntuan soal RUU PKS terus bertahan hingga akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019.
2019–2020
RUU PKS pada (2/7/2020) dicabut dari Prolegnas Prioritas sampai batas yang tidak ditentukan dan belum ada pembahasan satu kali pun soal RUU PKS di periode baru DPR.
2021
Setelah keluar dari prolegnas, RUU PKS kembali masuk Prolegnas Prioritas 2021 pada 16 Januari 2021.
Kembali Masuk Prolegnas hingga Disahkan
9 September 2021
Hingga pada bulan September 2021, RUU PKS kembali dibahas dan diputuskan berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Alasan pergantian nama ini disebut Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya agar lebih membumi.
8-17 Desember 2021
Pada 8 Desember 2021, Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi usulan inisiatif DPR. Ada tujuh fraksi yang setuju, 1 fraksi meminta menunda, dan 1 fraksi menolak.
Adapun fraksi yang setuju adalah PDIP, PKB, NasDem, PPP, Gerindra, PAN, Partai Demokrat. Fraksi yang minta menunda adalah partai Golkar, dan yang menolak adalah partai PKS. Karena belum adanya kesepakatan, pada 17 Desember 2021, RUU TPKS gagal masuk paripurna.
4-18 Januari 2022
Presiden Jokowi berharap RUU TPKS segera disahkan dengan meminta substansi dalam UU tersebut fokus pada perlindungan korban kekerasan seksual. Hingga pada rapat paripurna ke-13, Selasa (18/1/2022) RUU TPKS resmi disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.
12 April 2022
RUU TPKS akhirnya disahkan menjadi UU TPKS pada sidang paripurna DPR RI ke-19, Selasa (12/4/2022). Sidang ini menjadi sidang bersejarah lantaran berbuah pengesahan UU TPKS yang menempuh bertahun-tahun perjalanan.
“Pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang menjadi hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia. Ini juga hadiah bagi seluruh rakyat Indonesia dan kemajuan bangsa kita, karena UU TPKS adalah hasil kerja sama bersama sekaligus komitmen bersama kita,” kata Puan Maharani yang menjadi pimpinan sidang di Rapat Paripurna DPR RI ke-19, dikutip Liputan6.com.
#Women for Women