Hidup dengan Mengikuti Kata Hati, Ada Perjuangan yang Menguatkan Jiwaku

Endah Wijayanti diperbarui 28 Mar 2022, 11:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan selalu memiliki kisahnya sendiri. Caranya untuk berjuang tentu tak sama dengan yang lainnya. Perempuan berdaya dan hebat dengan caranya masing-masing. Tiap pengalaman dan kisah pun memiliki inspirasinya sendiri seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba The Power of Women: Perempuan Berdaya dan Hebat adalah Kamu berikut ini.

***

Oleh: Pramudya Utari

Sebuah video timelapse muncul di beranda media sosial saya. Video berdurasi 4 menit itu berisi wajah seorang bayi perempuan yang diambil satu minggu sekali oleh ayahnya yang seorang filmmaker di Belanda, dari ia berusia 0 sampai 22 tahun dengan latar belakang selimut bulu warna putih.

Saya ikut terisak dan terharu. Melihat tawa sang bayi yang rambutnya masih gundul menuju kanak-kanak dengan emosi bermacam-macam: menangis, tertawa, marah, cemberut, sampai ia dewasa muda 22 tahun dengan rambut panjang sebahu. Mata yang dulu jernih dan cemerlang kini lebih banyak dipenuhi air mata.

Dalam video singkat itu sang bayi perempuan telah menuju dewasa dan tersirat beban di balik bola matanya yang memantul. Hidungnya sesekali merah dan matanya sembab meski ia kerap tersenyum. Binar seorang bayi lambat-laun menghilang dari wajahnya. Saya baca komentar orang-orang di video itu. Respons mereka hampir pasti sama seperti yang saya rasakan. Terharu, sedih dan bahagia sekaligus.

Seperti yang kita tahu, kehidupan orang dewasa begitu rumit dan menjadikan kita begitu sensitif terhadap perasaan. Banyak hal yang ketika masih kecil lewat begitu saja, tetapi ketika sesuatu itu datang di usia yang sudah dewasa, kita pun mudah dibuatnya bersedih.

Ditinggal orang terkasih, dikhianati, dibohongi, dan bentuk-bentuk penolakan lain yang dulu ketika masih kecil tidak pernah kita ambil hati tetapi ketika dewasa tak luput dari hati. Begitulah hidup. Semua orang merasakannya dan mau tak mau akan melewatinya.  

2 dari 3 halaman

Menjadi Guru Honorer

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/mangpor2004

Ketika saya memutuskan untuk menjadi guru honorer di sebuah pulau yang tidak mudah diakses, hati kecil saya saat itu hanya berucap kalimat sederhana, "Mengabdilah! Jadilah bermanfaat untuk anak-anak yang membutuhkanmu!" Saya menuruti kata hati. Saya abaikan beberapa tawaran pekerjaan di kota besar untuk bergabung sebagai bagian dari salah satu media berita yang populer di Indonesia.

Sekolah itu dulu dibangun dengan darah dan harta kakek buyut saya, dan di situlah saya selalu merasa tertuntut untuk memberikan sumbangsih. Tanpa banyak babibu, meski saya anak perempuan satu-satunya dan belum menikah, saya punya kepercayaan bahwa saya bisa melakukan perubahan kecil di lingkungan saya tinggal dari aspek pendidikan.

Saya siap dengan honor yang tak seberapa itu dengan tuntutan kerja yang tinggi dengan tidak banyak mengeluh. Hingga lima tahun berjalan saya masih terus menikmati mengajar anak-anak. Bahagia bisa mengantarkan mereka meraih prestasi gemilang dan menjadi obor bagi jalan cita mereka. 

Ada satu kenangan yang takkan terlupakan. Pahit sekaligus manis.

3 dari 3 halaman

Perjuangan dan Kebahagiaan

Ilustrasi./Credit: unsplash.com/Jerry

Suatu ketika saya bertugas mengantarkan lomba cerdas cermat anak-anak di kota. Saya bonceng seorang murid di tengah sisa hujan pagi itu. Kami harus membelah jalan pintas karena jalanan umum tergerus banjir.

Rupanya, jalan pintas itu sama hancurnya dan lebih berbahaya. Saya tidak mau seragam murid saya kotor. Jalan pintas ini mengharuskan kami menyeberang sungai Bengawan Solo.

Sebelum tiba di pinggir bengawan, motor saya terpeleset genangan lumpur. Saya banting setir ke kiri dan sebisa mungkin menopang badan motor dengan kaki kanan supaya murid saya bisa langsung  berdiri tanpa ikut terjatuh. Rupanya ide saya berhasil.

Murid saya tidak ikut terjatuh dan seragamnya masih bersih tanpa cipratan lumpur. Saya menelan ludah. Jaket yang saya kenakan penuh lumpur dan lutut saya terluka. Apa kata teman-teman guru di sana nanti sementara saya belum kenal mereka?

Dengan sigap saya menumpang kamar mandi salah satu penduduk pinggir bengawan untuk bersih diri di tengah mengantre giliran menyeberang dengan perahu. Kondisi saya saat itu sedikit memprihatinkan, tetapi saya bahagia bisa mengantarkan murid saya lomba dengan selamat.

Kini ia sudah menjadi salah satu murid berprestasi di sekolah barunya di jenjang menengah pertama dan badannya sudah jauh lebih besar. Bisa jadi giliran saya minta bonceng suatu saat nanti. Sebuah kebahagiaan bagi seorang guru menyaksikan muridnya tumbuh menjadi orang yang lebih baik dari dirinya sendiri.  

 

#WomenforWomen