Fimela.com, Jakarta "Saat itu, Ishtar hanya ingin membunuh dirinya sendiri, bukan membunuh Riri. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa dia bisa menjebak dirinya dalam keadaan menyakitkan ini? Dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Entah sampai kapan," serangkaian kalimat dalam novel Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori ini tampaknya mewakili perasaan dan pergumulan yang dirasakan oleh para penyintas kekerasan dalam hubungan. Sosok Ishtar yang berjuang untuk sembuh dan pulih setelah menjadi korban hubungan yang toxic mewakili kisah para perempuan di luar sana yang juga sama-sama berjuang sama kerasnya.
Setelah mengakhiri hubungan dengan Riri dan di tengah perjuangan mencari jalan keluar terbaik dengan hubungannya bersama Jeff, Ishtar mencoba membuka lembaran baru. Bersama Mike, pria yang baru dikenalnya, dia seakan menemukan dunia baru. Hanya saja untuk terus melangkah ke depan dan mencoba untuk menjalin hubungan yang baru tidaklah mudah bagi Ishtar. Begitu banyak trauma bahkan mimpi buruk yang masih menghantuinya dan membuatnya tidak bisa benar-benar yakin ketika ingin sepenuhnya membuka hati yang baru untuk seseorang.
Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori adalah Bagian Pertama dari Trilogi Semesta
Judul: Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori
Penulis: Ega Mpokgaga
Editor: Fajariah Syahfitri
Cover Design: Morin Pardede
Layout: Hamdi Alfansuri
Cetakan Pertama, Februari 2022
Penerbit: Aksaraku Media
“Hidup adalah tentang bagaimana kamu menghadapi kegagalan dari sekian banyak rencana yang telah kamu susun sedemikian rupa.
Hidup adalah tentang bagaimana kamu menghadapi ketakutan tentang segala ketidakpastian dan berbagai macam kemungkinan-kemungkinan yang bisa kapan saja terjadi.”
Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori adalah bagian pertama dari trilogi semesta Amigdala, yang menceritakan tentang perjalanan dan pengalaman hidup seorang penyintas kekerasan dalam rumah tangga bernama Ishtar.
Kisah dimulai saat Ishtar harus kembali menjalani kegagalan dalam hubungan dan berusaha keras untuk dapat keluar dari situasi yang membuatnya terpaksa mengingat sesi terapi yang telah dijalani saat dia resmi bercerai. Ishtar bergelut dengan segala macam kesulitan untuk bisa memaafkan masa lalu, dan berdamai dengan dirinya sendiri.
Sepanjang bagian pertama Amigdala, Ishtar dan teman-teman terdekatnya memperlihatkan bagaimana hidup yang senantiasa memberikan berbagai macam pilihan, membuat kita terlalu takut untuk menjadi manusia yang serba spontan, dan mengikuti kata hati. Karena kadang hati juga dapat menyesatkan.
Amigdala bagian pertama akan membawa kita menyusuri ruang dan waktu yang mungkin tak pernah terpikirkan sama sekali bisa terjadi di dunia nyata. Menabrakkan logika dan membuat dada sesak di setiap momennya.
***
"Bukan manusia namanya kalau tak sering berekspektasi tinggi, padahal pengalaman tak pernah kurang memberikan pelajaran." (hlm. 26)
"Ada beberapa hal yang senantiasa tak pernah masuk ke logika manusia. Cinta salah satunya. Banyak dari kita yang menyerah dan merengkuhnya, dalam keadaan waras maupun tidak. Beberapa di antaranya memilih untuk mencintai dengan membabi buta. Ketika itu terjadi, yang sering kali terjadi malah menyakiti satu sama lain sedemikian rupa." (hlm. 127)
"Tuhan tidak pernah memberikan sedikit pun petunjuk, kapan hamba-Nya akan bertemu dengan belahan jiwanya, kapan hamba-Nya akan terlahir kembali dalam wujud seorang anak bayi, dan kapan hamba-Nya akan merangkul kawan lama bernama kematian." (hlm. 166)
"Kadang kala, tunduk dan menyerah adalah hal paling terakhir yang bisa dilakukan. Berserah dan pasrah, meletakkan keyakinan di tempat yang tepat, paling tidak mampu mengulur waktu yang senantiasa makin kejam membabi buta. Manusai seharusnya dapat beristirahat sejenak apabila sedang terjatuh, lantas mengambil napas serta mengatur strategi untuk mengumpulkan energi untuk bangkit kembali." (hlm. 201)
Saat Ishtar seakan sudah menemukan sosok yang tepat, ada saja hal-hal yang seakan menahannya. Menjalani berbagai sesi terapi dengan psikiater, psikolog, dan hipnoterapis seakan menjadi pergumulan yang tak ada habisnya. Untuk bisa bangkit lagi sepenuhnya dan seutuhnya tidak mudah bagi Ishtar. Dia pun masih kerap menghabiskan hari-harinya dengan menghabiskan berbotol-botol minuman keras, merokok, dan menyetel musik kencang.
Beruntung Ishtar punya sahabat seperti Renjana yang selalu ada untuknya. Meski masih ada banyak konflik yang berkelindan di sekitar lingkaran pertemanan Ishtar, Ishtar mencoba untuk kembali menemukan secercah harapan baru.
Beberapa bagian di novel ini ada yang dinarasikan dengan sudut pandang berbeda. Hanya saja agak disayangkan ketika ada sejumlah adegan bahkan kalimat yang diulang sama persis ketika menggunakan sudut pandang berbeda. Beberapa teman Ishtar pun punya porsi cerita yang cukup banyak dalam novel ini. Sehingga, konflik yang dihadirkan terasa bercabang-cabang.
Bagian paling favorit dalam novel ini adalah paragraf-paragraf yang berisi semacam refleksi diri dan kontemplasi diri, yang sebagian besar dihadirkan di awal bab. Banyak kutipan yang begitu menghangatkan hati dan menguatkan diri.
Karena novel ini adalah bagian pertama dari trilogi semesta Amigdala, maka masih belum terasa ada penyelesaian yang utuh untuk kisah Ishtar di novel ini. Semoga buku kedua dan ketiga bisa segera terbit agar kita bisa tahu kelanjutan kisah Ishtar sebagai seorang penyintas kekerasan dalam hubungan.
#WomenforWomen