Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan selalu memiliki kisahnya sendiri. Caranya untuk berjuang tentu tak sama dengan yang lainnya. Perempuan berdaya dan hebat dengan caranya masing-masing. Tiap pengalaman dan kisah pun memiliki inspirasinya sendiri seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba The Power of Women: Perempuan Berdaya dan Hebat adalah Kamu berikut ini.
***
Oleh: Pramudita Kurnia
Sebagai perempuan kita diberi pilihan untuk menjadi apa yang kita mau. Aku memilih menjadi seorang guru karena hal itulah yang aku bisa dan aku mau kembangkan. Merayakan Hari Perempuan Nasional ini, akan kuceritakan bagaimana kiprahku sebagai pengajar dan akan kujadikan sebuah perenungan.
Perjalanan sebagai seorang Guru
Di sekolah aku dikenal dengan anak yang suka belajar, menghafal dan membaca buku. Aku juga sering dapat nilai bagus. Ketika aku memutuskan untuk memilih jurusan Pendidikan Bahasa Jepang di salah satu universitas keguruan, hal itu adalah hal yang tepat bagi siswa yang mudah mendapat nilai bagus. Di kampus pun aku pandai melakukan presentasi ilmiah dan tak jarang disambut pujian dosen. Aku makin percaya diri untuk menjadi seorang guru.
Serasa dibangunkan kenyataan, aku magang di sebuah sekolah berisi anak-anak nakal. Aku tadinya sangat percaya diri jika cara mengajarku akan disukai dan menaklukan mereka. Kenyataan berkata lain. Mereka sangat nakal, susah diatur dan tidak mau belajar. Aku menangis sesunggukan melihat pengalaman mengajarku ini.
Pengalaman buruk tak membuat aku kapok menjadi seorang guru. Untuk pertama kalinya setelah lulus kuliah aku mengajar privat. Aku mengajar murid yang lebih tua dariku dan Bahasa Ibunya adalah Bahasa Inggris. Ia sangat suka budaya Jepang dan belajar. Malah melebihiku. Pernah sekali ia memperbaiki apa yang aku ajarkan. Namun setelahnya ia memutuskan untuk berhenti karena ingin mencari kerja.
Pada saat itu aku merasa ini adalah kesempatanku untuk mencari pekerjaan tetap dengan gaji yang lebih layak. Aku melamar kerja di perusahaan dan diterima.
What's On Fimela
powered by
Pengalaman Mengajar
Setelah tiga bulan bekerja, aku tidak tahan dan berhenti. Kemudian aku melamar menjadi seorang guru privat lagi. Muridku adalah seorang karyawan di sebuah kantor di daerah Jakarta Selatan.
Tidak ada kesempatan untuk belajar mengajar dari awal, tapi aku mengajar dengan penuh semangat dan sering kali memberikan pengetahuan baru untuk muridku. Namun suatu hari, ada lowongan kerja yang permintaan dan lokasinya sama dengan muridku ini.
Aku curiga dan konfirmasi ke pihak les. Mereka berkata bahwa muridku ingin ganti guru. Menurutku muridku itu sangat pengecut. Ia juga bermasalah sebelumnya karena sering ganti guru.
Sempat belajar memandu wisata, aku memutuskan untuk mengajar lagi. Namun muridku ini terlalu banyak les dan selalu kelihatan letih ketika belajar. Ia putuskan lagi untuk berhenti. Aku berganti profesi memandu namun aku menemukan kesulitan di situ dan rehak sejenak.
Salah satu sahabatku menawarkanku mengajar bahasa Indonesia ke ekspatriat Jepang. Menurutku itu pekerjaan yang luar biasa susah dan aku sangat minder akan itu. Karena pekerjaan memandu tak menentu, akhirnya kucoba.
Awalnya aku kagok namun perlahan tapi pasti aku bisa. Tidak hanya orang Jepang saja, muridku bertambah ada yang dari Kanada, Meksiko, Rusia, Belgia dan Basque Spanyol. Aku jadi cinta mengajar sejak saat itu. Rasanya seperti tak bekerja saking bahagianya.
Situasi Pandemi
Sayangnya tahun 2020 pandemi menempa, banyak dari muridku yang meninggalkan Indonesia. Untuk melanjutkan hidup aku harus melawan traumaku untuk mengajar Bahasa Jepang lagi. Murid pertama sangat antusias dan baik hati. Namun sayang aku tak bisa mengimbangi pengetahuannya. Akhirnya ia menghilang.
Seakan diganti dan diberi kesempatan belajar mengajar, aku dapat tawaran mengajar daring. Dari sini aku belajar untuk lebih sistematis dan aktif. Aku juga mengajar muridku dari dasar, jadi aku tidak kagok dalam mengajar. Perlahan muridku semakin bertambah. Kesulitan pasti ada dalam mengajar seperti murid yang enggan belajar, koneksi internet dan situasi Covid yang berubah-ubah. Tapi aku berusaha menikmatinya.
Dan tahun ini memberikan kejutan untukku. Aku kembali mengajar ekspatriat Jepang. Aku bahagia dengan murid-muridku yang berwarna ini. Menurutku menjadi guru itu menyenangkan dan menantang.
Renungan sebagai Guru dan Wanita di Hari Perempuan Internasional
Menjadi guru privat memang banyak risikonya. Aku berusaha tenang, fokus dan tidak memikirkan apa yang aku tidak bisa kendalikan. Aku bangga menjadi seorang wanita yang bekerja sebagai guru.
Aku berdaya dan dengan pekerjaanku ini aku rayakan Hari Perempuan Internasional dengan semangat yang membara. Ini adalah waktuku untuk merenungi agar terus belajar memperbaiki kinerja. Karena sebagai perempuan dan guru aku bisa bekerja dengan baik, menyebarkan ilmu dan hal positif pada sesama. Serta saling mendukung.
Pada Hari Perempuan Internasional ini juga, aku teringat kutipan kata dari Bigham Young, mantan gubernur Utah Amerika Serikat. “You educate a man; you educate a man. You educate a woman; you educate a generation.” Kutipan ini sangat berhubungan dengan perempuan dan guru.
Bagiku setiap perempuan apa pun profesi dan statusnya pasti pernah menjadi guru. Kenapa? Karena perempuan adalah sekolah pertama bagi anaknya.
Seorang ibu yang pertama kali mengajarkan anaknya berjalan, makan bahkan membantu anaknya belajar di rumah dan mengerjakan PR. Dan setiap bidang profesi, perempuan tak segan untuk mengedukasi para rekannya serta mendukung mereka dengan kelembutan, rasa keibuan dan cinta kasih yang laki-laki tak punya. Pekerjaan guru pun didominasi oleh perempuan. Dari seorang perempuan lahir dan turunnya ilmu mereka ke rekan, teman, anak, cucu dan seterusnya.
Begitu mulia dan begitu bermartabat menjadi seorang perempuan. Aku bangga menjadi seorang perempuan dan seorang guru. Selamat Hari Perempuan Internasional!
#WomenforWomen