Fimela.com, Jakarta Setiap perempuan selalu memiliki kisahnya sendiri. Caranya untuk berjuang tentu tak sama dengan yang lainnya. Perempuan berdaya dan hebat dengan caranya masing-masing. Tiap pengalaman dan kisah pun memiliki inspirasinya sendiri seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba The Power of Women: Perempuan Berdaya dan Hebat adalah Kamu berikut ini.
***
Oleh: Yosi Mutiara Pertiwi
Setelah lulus dari bangku perkuliahan, aku mulai menapaki dunia kerja. Aku menikmati masa-masa melelahkannya bekerja sampai aku bisa menjadi manajer di dunia proyek konstruksi, yang sebagian pekerjanya adalah laki-laki.
Tiga tahun menggeluti perkerjaan, aku kemudian mulai memikirkan dunia yang baru. Dunia yang membutuhkan pertanggungjawaban lebih, dunia pernikahan. Sebagian orang mengatakan bahwa usiaku masih muda, 24 tahun saat itu. Mereka menyayangkan keputusanku karena bagi mereka menikah akan menjadi hambatan bagi jalan karierku ke depannya.
Aku memutuskan untuk salat istikharah, aku berkonsultasi kepada orangtua, kepada ustazah, kepada mereka yang lebih paham. Pernikahanku pun akhirnya berlangsung, aku bahagia tentu saja.
Melepaskan Karier
Tidak lama setelahnya aku hamil dan aku tetap bekerja seperti biasanya. Menjelang cuti melahirkan yang semakin dekat, aku mendapatkan kabar dari pihak SDM kantor tempatku bekerja. Mereka mengatakan bahwa setelah melahirkan nanti, surat tugas baruku akan turun, aku diminta kembali ke kantor pusat di Jakarta yang artinya aku harus menjalani hubungan jarak jauh dengan suamiku.
Mendengar kabar tersebut aku terdiam. Sanggupkah aku hidup hanya berdua saja nantinya di Jakarta dengan bayi kecilku? Suami mengembalikan segala keputusan di tanganku. Dia mendukung apa pun yang menjadi pilihanku dengan segala konsekuensinya. Setelah pertimbangan panjang, akhirnya aku memutuskan untuk resign dari pekerjaanku.
Bulan pertama setelah resign adalah masa yang sulit. Aku terbiasa sibuk dengan segala urusan kantor, kali ini aku hanya sibuk dengan segala urusan rumah tangga.
Bukan aku tidak bersyukur, bukan juga tidak bahagia menjadi seorang ibu, tapi ternyata banyak sekali perubahan mendadak di kehidupanku membuatku kebingungan sendiri. Belum lagi tanggapan miring dari orang sekitar yang beranggapan kalau ibu rumah tangga adalah beban suami.
Aku sadar keputusan menjadi ibu rumah tangga adalah keputusan yang penuh risiko sebab cinta belum tentu selamanya indah tapi bukankah setiap individu, setiap rumah tangga berhak menentukan sendiri pilihan yang paling pas bagi mereka yang menjalaninya?
Suami membaca kegelisahan yang aku alami. Dia mencoba meyakinkanku bahwa sekalipun aku menjadi ibu rumah tangga aku tetap manusia yang berdaya, aku tetap memiliki nilai dan value tinggi. Suami memintaku untuk mencari kegiatan baru.
Menjadi Ibu Rumah Tangga yang Berdaya
Aku pun berusaha lebih fokus pada berbagai kegiatan yang bisa kulakukan. Aku semakin banyak mengikuti kelas parenting baik yang gratis maupun yang berbayar.
Kesimpulan dari kelas parenting dengan para ahlinya tersebut seperti dokter spesialis anak, bidan, apoteker, ahli keuangan dan masih banyak lagi itu lalu aku olah menjadi sebuah info grafis dan aku bagikan di instagram.
Tidak butuh waktu lama kemudian datang berbagai DM dari ibu-ibu baru yang bahkan sebelumnya aku tidak kenali. Kami saling bertukar pikiran, bertukar pengalaman, kami saling menguatkan karena memang menjadi ibu baru bukan sesuatu yang mudah. Aku terharu ketika ada yang mengucapkan terima kasih serta mengirimkan doa-doa yang baik kepadaku.
Aku kembali memikirkan lagi cara agar kontenku lebih luas lagi tersebarnya. Aku pun kemudian memutuskan untuk bergabung di suatu komunitas ibu-ibu.
Kami berkumpul dalam suatu grup, hingga akhirnya aku dan 7 orang ibu lainnya bersama-sama menjadi admin suatu akun parenting untuk menebarkan pengetahuan parenting kami.
Hal ini kami lakukan bukan karena kami menganggap diri kami lebih tahu ataupun lebih bisa dari siapapun. Kami menciptakan akun tersebut murni kami ingin menyebarluaskan ilmu parenting secara gratis demi pengasuhan anak Indonesia yang lebih baik lagi.
Menjadi ibu rumah tangga seringkali menjadi bagian yang rentan terhadap diskriminasi dan beban ganda, kami dipandang remeh sebelah mata begitu saja.
Kini aku bisa tersenyum lebih lepas. Aku merasakan bahwa sekalipun aku hanya seorang ibu rumah tangga, aku juga bisa berdaya. Ibu rumah tangga bisa menjalani peran dengan optimal kepada keluarganya sendiri sambil tetap berusaha memberikan manfaat kepada oranglain.
#WomenforWomen