Fimela.com, Jakarta Setiap tahunnya pada tanggal 7 Maret, Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan diluncurkan untuk menyambut Hari Perempuan Internasional. Tajuk CATAHU setiap tahunnya berbeda-beda seturut jumlah, jenis, ragam, ranah dan tren kekerasan berbasis gender terhadap perempuan serta penanganannya.
Untuk tahun 2022, Komnas Perempuan mencantumkan tajuk CATAHU yang memberikan gambaran umum mengenai dinamika jumlah, ragam jenis, bentuk, ranah, serta hambatan hambatan struktural, kultural maupun substansi hukum dalam penanganan Kekerasan Berbasis Perempuan, berbunyi “Bayang-bayang Stagnansi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan".
What's On Fimela
powered by
Data Pengaduan ke Komnas Perempuan Meningkat secara Signifikan Sebesar 80%
CATAHU 2022 mencatat dinamika pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badilag. Terkumpul sebanyak 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan dengan rincian, pengaduan ke Komnas Perempuan 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG 327.629 kasus.
Angka-angka ini menggambarkan peningkatan signifikan 50% KBG terhadap perempuan yaitu 338.496 kasus pada 2021 (dari 226.062 kasus pada 2020). Lonjakan tajam terjadi pada data BADILAG sebesar 52%, yakni 327.629 kasus (dari 215.694 pada 2020).
Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga meningkat secara signifikan sebesar 80%, dari 2.134 kasus pada 2020 menjadi 3.838 kasus pada 2021. Sebaliknya, data dari lembaga layanan menurun 15%, terutama disebabkan sejumlah lembaga layanan sudah tidak beroperasi selama pandemi Covid-19, sistem pendokumentasian kasus yang belum memadai dan terbatasnya sumber daya.
CATAHU 2022 Merekam Isu-Isu Khusus
Secara khusus, CATAHU 2022 merekam isu-isu khusus yang muncul dari kasus-kasus yang ditangani Komnas Perempuan. Di antaranya, pertama, KBG terhadap perempuan oleh pejabat publik, ASN, tenaga medis, anggota TNI, dan anggota Polri. Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang dilakukan oleh kelompok yang seharusnya jadi pelindung, tauladan dan pihak yang dihormati ini sekitar 9% dari jumlah total pelaku.
Pejabat publik, aparatur sipil negara (ASN), tenaga medis, anggota TNI dan Anggota Polri menjadi sorotan karena memiliki kekhasan terkait kekuasaan berlapis baik kekuasaan patriarkis termasuk relasi kekeluargaan, ekonomi maupun kekuasaan jabatan dan pengaruh yang dimiliki oleh pelaku. Terjadi impunitas, korban tidak mendapatkan dukungan penyelesaian kasus pada sistem peradilan pidana, kebenaran kekerasan yang dialaminya disangkal yang mengakibatkan korban bungkam dan meminta mutasi ke kota lain.
Kedua, kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) yang diidentifikasi telah mengalami penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dalam proses pemeriksaan. Bentuk penyiksaan seksual seperti penelanjangan, pemerkosaan, kekerasan verbal termasuk pelecehan seksual dan kekerasan fisik.
Pelaksanaan Qanun Jinayat juga memberlakukan salah satu jenis penghukuman yang tidak manusiawi. Sebanyak 23 PBH yang dinyatakan melakukan pelanggaran Qanun Jinayat, hampir sebagian besar didakwa dengan pasal mengenai zina, khalwat, ikhtilat (bermesraan) dan 11 PBH mendapatkan hukum 100 kali cambuk dengan tuduhan berzina, 9 PBH dicambuk antara 17-20 dengan tuduhan ikhtilat, dan 2 orang ditambahkan 3 tahun penjara karena dianggap melakukan prostitusi. Tercatat pula pidana mati sebagai puncak tertinggi diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang penantian panjang eksekusi mati menjadi penyiksaan tersendiri.
Kendala dalam Penyelesaian Kasus-Kasus Kekerasan Berbasis Gender
Ketiga, kekerasan terhadap PPHAM pada 2021 memperlihatkan pendamping korban KBG merupakan yang paling rentan mengalami serangan. Para pendamping pada lembaga layanan berbasis pemerintah seperti UPTD dan P2TP2A mulai melaporkan serangan yang berkaitan
Keempat, konflik di Papua dan pandemi Covid-19 yang telah mengakibatkan menurunnya kualitas hidup perempuan Papua. Angka kekerasan terhadap perempuan Papua dengan HIV/AIDS di Provinsi Papua dan Papua Barat tercatat tinggi pada masa pandemi Covid-19, situasi mereka juga nyaris tak terpantau. Situasi disabilitas mental, yang salah satunya disebabkan KDRT, juga masih mengalami tantangan. Minimnya layanan terintegrasi antara isu HIV/AIDS dan kekerasan terhadap perempuan atau disabilitas mental dan kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu penyebab.
Dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus, Komnas Perempuan mencatat hanya sedikit informasi yang tersedia atau sekitar 15% dari total kasus yang dicatatkan oleh lembaga layanan dan Komnas Perempuan. Upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum (12%) dibandingkan dengan cara non hukum (3%). Bahkan banyak kasus tidak ada informasi penyelesaiannya (85%).
Ada berbagai hal jadi kendala dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk dalam substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis hukum dan pasalnya.
Persoalan keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan untuk penyelesaian kasus, termasuk SDM, fasilitas dan anggaran berulang-ulang dikeluhkan oleh lembaga layanan untuk dapat menjalankan layanan secara optimal.
Peningkatan jumlah kasus yang diterima oleh Komnas Perempuan (16 kasus/hari) yang tidak dibarengi dengan sumber daya kelembagaan yang memadai menjadikan penyelesaian kasus tidak optimal.
Di tengah peningkatan pelaporan kasus KBG terhadap perempuan yang juga semakin kompleks, daya penanganan kasus yang sangat terbatas ini dikuatirkan akan menyebabkan stagnansi dalam hal kapasitas penanganan kasus.
Demikian info yang bisa dirangkum dari Peluncuran Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022. Semoga bermanfaat untuk kita semua.
#WomenforWomen